HUKUM

KONTRAS: Brutalitas Polisi Meluas Ancaman Kredibilitas Kapolri Komjen Sutarman

Palopo, Lagaligopos.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali merilis siaran pers terkait kinerja Kepolisian di beberapa daerah di Indonesia, termasuk menyoroti dugaan brutalitas Polisi dalam menangani aksi demonstrasi di Luwu yang mengerahkan kekuatan berlebihan.

Dalam rilis KontraS via email yang diterima Lagaligopos, KontraS menyebutkan, dugaan kebrutalan Polisi tersebut mengakibatkan 1 korban meninggal dunia, akibat tertembus peluru tajam di bagian dada sebelah kiri tembus ke punggung, dan 3 orang lainnya, yakni Wahyudi, Sabtari, Rahman, luka parah akibat terkena tembakan di bagian lutut dan tangan. Menurut keterangan korban, jarak mereka dengan polisi saat itu sekitar 50- 75 meter.

Pun selain itu, terjadi penangkapan dan penahanan secara sewenang – wenang dan tindakan tak manusiawi  lainnya, Tercatat 27 orang ditangkap; 18 orang diantaranya telah dipulangkan, dan 9 orang ditetapkan jadi tersangka, dan hingga tadi malam aparat kepolisian masih melakukan razia di Belopa, 5 mahasiswa ditangkap, dan di Maros, 15 mahasiswa diamankan. Hal ini bertentangan dengan Pernyataan Kapolda dan Dirintel Polda Sulawesi Selatan yang menyatakan tidak ada penyisiran atau penangkapan paska peristiwa. Sebelumnya, penyisiran dilakukan hingga 500 meter dari lokasi awal penembakan hingga ke daerah kelurahan Bulo. Sehingga warga dan mahasiswa memilih melarikan diri, karena khawatir dengan penyisiran dan tindakan represif kepolisian.

Berikut isi lengkap siaran pers KontraS.

Update LUWU dan BAUBAU
Brutalitas Polisi Meluas; Ancaman Kredibilitas Kapolri Komjen Sutarman

KontraS, dari hasil pemantauan dilapangan, menemukan bukti dan keterangan yang cukup bahwa Kapolres Baubau, Sulawesi Tenggara dan anak buahnya telah melakukan kejahatan serius berupa penyiksaan dan tindakan kejam lainnya terhadap Aslin Zalim [korban], dengan cara memerintahkan dan merendam korban bersama tahanan lainnya di kolam ikan, dan tindakan kejam lainnya yang menyebabkan luka berat [lebam dan memar dibagian tubuh, patah tulang di bagian rusuk kanan], setelah sebelumnya korban ditangkap oleh anggota Polres Baubau pada 29 Oktober 2013. Penangkapan dan penahanan korban juga tidak disertai surat penangkapan [pasal 59, Pasal 16 ayat 3 KUHP]

Kami juga menemukan fakta-fakta bahwa pihak Kepolisian Sulawesi Tenggara tidak mengambil tindakan yang cepat dan efektif untuk mencegah penanganan hukum yang buruk dan brutal terhadap para tahanan atau tidak ada penindakan terhadap polisi pelaku penyiksaan.

Penyiksaan dan tindakan kejam yang tak manusiawi adalah tindakan yang dilarang dilakukan dalam keadaan apapun. Tidak ada satu alasan pembenar untuk mempraktekan penyiksaan ataupun tindakan keji lainnya. Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan sejak 1998. Demikian pula larangan melakukan penyiksaan dan tindakan kejam sudah masuk diberbagai aturan lainnya seperti UUD 1945 Amandemen kedua (2000), UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Khusus bagi Polri, jaminan untuk tidak boleh melakukan penyiksaan dan tindakan kejam bisa didapati dalam Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Locus lainnya, di Luwu, Sulawesi Selatan, KontraS juga menemukan dugaan brutalitas Polisi dalam menangani aksi demonstrasi di Luwu, dengan menggunakan kekuatan berlebihan, yang menyebabkan 1 korban meninggal dunia [Chandra], akibat tembakan peluru tajam di bagian dada sebelah kiri tembus ke punggung, dan 3 orang lainnya [Wahyudi, Sabtari, Rahman] luka parah akibat terkena tembakan di bagian lutut dan tangan. Menurut keterangan korban, jarak mereka dengan polisi saat itu sekitar 50- 75 meter.

Selain itu, terjadi penangkapan dan penahanan secara sewenang – wenang dan tindakan manusiawi  lainnya [Tercatat 27 orang ditangkap; 18 orang diantaranya telah dipulangkan, dan 9 orang ditetapkan jadi tersangka], dan hingga tadi malam aparat kepolisian masih melakukan razia di Belopa [5 mahasiswa ditangkap], dan di Maros [15 mahasiswa diamankan]. Hal ini bertentangan dengan Pernyataan Kapolda dan Dirintel Polda Sulawesi Selatan yang menyatakan tidak ada penyisiran [baca: penangkapan] paska peristiwa. Sebelumnya, penyisiran dilakukan hingga 500 meter dari lokasi awal penembakan hingga ke daerah kelurahan Bulo. Sehingga warga dan mahasiswa memilih melarikan diri, karena khawatir dengan penyisiran dan tindakan represif kepolisian.

Situasi seperti digambarkan diatas makin menambah panjang daftar hitam Polri dalam praktek Penyiksaan di Indonesia dan penggunaan kekuatan secara berlebihan. Sungguh merupakan buruk muka yang serius. Sebagaimana dalam 3 laporan KontraS, dalam 3 tahun terakhir mengenai penyiksaan  menunjukan bahwa aparat kepolisian masih menempati peringkat pertama dalam melakukan praktik penyiksaan. Salah satu penyebab utama dari situasi ini karena Polri tidak pernah melakukan penghukuman bagi pelaku penyiksaan dan juga aparat kepolisian yang menggunakan kekuatan berlebihan tanpa mengikuti aturan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 47 ayat [1], ayat dan [2], Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Pasal 8 ayat [1], ayat [2], Pasal 15, Pasal 14 ayat [2]

Terkait dengan kejahatan penyiksaan dan penggunaan kekuatan secara berlebihan [baca; brulitalitas] tersebut diatas terdapat sejumlah mekanisme hukum patut dilakukan:

1.  Memastikan proses pidana bagi anggota kepolisian yang terlibat dalam penyiksaan dan penganiayaan berat yang mengakibatkan meninggalnya Aslim Saman. Termasuk berbagai tindakan lainnya seperti penembakan dan penahanan secara sewenang-wenang.

 2.  Komnas HAM harus memeriksa dugaan pertanggung jawaban komando dalam hal ini komandan dan pengendali pasukan Polisi yang melakukan pengamanan, komandan dari polisi yang melakukan penyiksaan, dengan dugaan, seminimal-minimalnya gagal mencegah rangkaian kejahatan tersebut dilakukan.

3.  Mekanisme Internal [mekanisme sidang etik] bisa dilakukan namun bersifat complementer [melengkapi saja!] bukan meniadakan mekanisme pidana.

4.  Untuk menjaga independensi, Kapolri patut mencopot Kapolres Luwu dan Kapolres Baubau sesegera mungkin dan menon aktifkan semua polisi yang diduga melakukan rangkaian kejahatan dan kekerasan sebagaimana disebutkan diatas.

 

Jakarta, 15 Nopember 2013
Badan Pekerja KontraS
Yati Andriyani (Kepala Divisi Advokasi Hukum dan HAM), Arif Nur Fikri (Staf Divisi Advokasi Hukum dan HAM), Nasrum

(Fz) 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top