EDITORIAL

Banjir Luwu Utara jadi Panggung Politik Pilkada

EDITORIAL, LAGALIGOPOS.COM – Kemanusian tanpa syarat adalah satu hal dan kepetingan politik adalah hal lain. Dua hal ini sama-sama tampil terlibat dalam penanganan bancana banjir bandang di Kabupaten Luwu Utara.

Bagaimana cara membedakan kedua hal tersebut? Keduanya sama-sama tampil di sosial media, tapi pada yang pertama, kerja-kerja kemanusian jelas memperlihatkan respon yang presisi, terukur, dan hasil dengan kemanfaatan yang nyata. Sedangkan pada yang kedua lebih kepada penonjolan individu atau aktor tertentu ketimbang keefektifan dan kemanfaatan. Dengan kata lain, kerja kemanusian jauh lebih menyentu persoalan mendasar sedangkan motif politik lebih memburu citra diri.

Ukuran sederhana ini dapat menjadi standar publik dan khusunya korban bencana banjir bandang Luwu Utara untuk menilai siapa yang benar-benar hadir menolong, menguatkan, dan memberikan solusi nyata dalam penanganan derita korban pasca bencana.

Misalnya, relawan kemanusian memperlihatkan fakta adanya endapan lumpur dan kayu dengan volume jutaan kubik di sepanjang bantara sungai yang berpotensi akan menyapu perkampungan jika volume air sungai kembali membesar. Atau bagaimana mengurus pengungsi dan mempersiapkan kembali ke kehidupan normal jika semua relawan telah pulang. Motif politik buta terhadap semua hal itu, mereka hanya bekerja keras mengerahkan buzzer dan tagar disertai kata-kata motivasi yang penuh ilusi.

Masyarakat dibuat waswas setiap malam, tidak bisa tidur nyenyak. Pemuda Salassa harus bergiliran ronda di malam hari jika terjadi hujan deras, takut banjir susulan kembali datang menerjang. Masyarakat hidup dalam perasaan tidak aman yang berkepanjangan karena pemerintah tidak membuat sistem peringatan dini bencana.

Percayalah! Solidaritas kemanusian jauh lebih banyak membantu di saat-saat genting, ketimbang perhatian yang bermodus politik. Buktinya, gelombang bantuan dan perhatian yang datang dalam jumlah sangat besar tak mampu dikelolah secara bertahap untuk mempersiapkan korban kembali ke kehidupan normal.

Baca Juga: Masamba Alami Banjir Terparah Sepajang Sejarah

Perdebatan tentang penyebab banjir bandang sedikitpun tak mengarah ke pokok persoalan, isu ini hanya digunakan sebagai senjata untuk menaikkan elektoral politik atau saling menyerang di sosial media, sesuatu yang tak dimengerti anak petani di Masamba. Mereka hanya tahu bahwa selama ratusan tahun mereka mendiami kampung, belum pernah ada bencana sebesar ini. Mereka hanya tahu ada yang susut dari lingkungan mereka.

Gejala susutnya daya dukung ekologis terlihat jelas dari tahun ke tahun, air sungai semakin meluap. Tapi lihat bagaimana politik merespon ini?! Bagi-bagi indomie dan air kemasan sambil foto-foto, kemudian dihamburkan ke sosial media. Ini rutinitas tahunan yang buktinya banyak bertebaran di facebook.

Baca Juga: Serahkan Bantuan Pengungsi Meli, Polres Polman Berpesan Jaga Kelestarian Hutan

Hari ini pun respon yang kurang lebih sama kembali diperlihatkan, bedanya kali ini dari skala yang lebih besar. Narsisme politik tetap dirayakan di atas derita korban. Foto bupati yang menangis sama sekali tak ada artinya dibanding foto seorang ibu dan anak yang tidur beralaskan daun kelapa sawit di pengungsian.  

Penyebab bencana diumumkan, “semua ini terjadi karena murni fenomena alam”. Sebuah pernyataan yang sangat tidak bertanggung jawab. Menyalahkan alam sama dengan pasrah dan melupakan tanggung jawab.

Berjilid-jilid hasil penelitian ilmiah yang sudah lama menumpuk dalam laci di keluarkan sebagai tameng jawaban terhadap penyebab bencana. Tapi tak pernah menjadikan hasil penelitian ilmiah itu membuat kebijakan meminimalisir risiko bencana.

Baca Juga: Tersangkut di Pohon Pisang, Bocah 4 Tahun ini Selamat dari Amuk Banjir

Tak ada yang salah dari bagi-bagi indomie dan air kemasan, yang salah adalah ketika itu yang terus dilakukan setiap tahun tanpa ada tindakan preventif berbasis data dalam bingkai kebijakan mitigasi bencana yang lebih komprehensif.

Banjir dan Kemiskinan

Direktur Bidang Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Abdi Akbar menyatakan bahwa rutinitas banjir yang terjadi setiap tahun di Luwu Utara berkorelasi dengan tingginya angka kemiskinan.

Beberapa waktu lalu Bappeda Sulawesi Selatan merilis data bahwa Kabupaten Luwu Utara berada di peringkat ketiga tertinggi jumlah masyarakat miskinnya di Sulsel.

Kerusakan lingkungan yang menyebabkan intensitas banjir tahunan semakin meningkat disebut Abdi sebagai salah satu penyumbang kemiskinan.

Bagaimana tidak, kata Abdi, banjir yang terjadi setiap tahun merusak kebun, sawah, dan area produktif warga. Banjir mengikis kebun dan sawah di sepanjang bantaran sungai sampai benar-benar hilang. Artinya sumber ekonomi warga pun hilang.

Baca Juga: Viral, Pasangan ini Menikah di tenda Pengungsi Korban Banjir Luwu Utara

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa daerah-daerah yang rawan bencana akan sulit berkembang karena masyarakat hidup dalam perasaan tidak aman terus menerus, sehingga membawa asetnya menjauh dari daerah itu.

Abdi memperingatkan pemerintah agar tidak main-main dengan krisis ekologis karena dampak kerugian yang ditimbulkan sangat mahal.

“Pemimpin jangan hanya sibuk foto-foto di Facebook, banjir kemarin itu tidak hanya di Masamba, tetapi merata di banyak kecamatan, Artinya luas area terdampak juga memperluas kemungkinan bertambahnya angka kemiskinan baru,” terangnya.

Banjir dan Politik

Banjir bandang yang melanda Luwu Utara telah surut, namun derita para korban belum akan berakhir, masih panjang proses dan sangat besar biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan para korban kembali ke kehidupan normal.

Belum hilang luka akibat banjir bandang, tiba-tiba mulai muncul satu “banjir” baru yang mengintip publik dan tidak kalah dahsyatnya, yaitu “banjir janji politik” lima tahunan.

Banjir janji politik juga memiliki daya rusak yang tak kalah dahsyatnya, karena dapat menghancurkan sendi-sendi moralitas, kemanusian, dan keadaban sebuah kebudayaan.

Aroma politik Pilkada dalam penanganan bencana banjir bandang Luwu Utara mulai terasa menyengat. Hal ini terlihat jelas dalam respon tanggap darurat pasca bencana. Tak ada koordinasi yang apik, bupati jalan kekanan, wakil bupati jalan kekiri, dan bakal calon lain memilih jalan meliuk-liuk.

Bantuan kemanusian dibungkus dengan citra politik. Semua berlomba-loba mengatakan “ini yang aku sumbangkan”. Yang terpenting adalah diri sendiri.

Padahal hujan deras masih mengguyur hampir setiap malam, jutaan kubik endapan lumpur dan kayu di sepanjang bantaran sungai berpotensi kembali menyapu perkampungan jika banjir datang lagi. Namun sirene peringatan dini tak jua disiapkan, peta, rute, dan jalur evakuasi tetap tak jelas; informasi simpang siur, ucapan pejabat tidak karuan, dan arahan membingungkan.

Kerja politik yang baik mestinya menyiapkan semua kebutuhan-kebutuhan mendasar korban, termasuk rasa aman.

Rentetan banjir yang datang silih berganti semoga mampu memberikan pelajaran dan membuka mata masyarakat bahwa visi politik calon pemimpin yang berpihak pada lingkungan harus mendapat tempat dalam kesadaran kolektif publik. (As)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top