lagaligopos.com – Ramadhan adalah sebuah moment istimewa bagi umat Islam. Inilah bulan yang diyakini akan memberi segala berkah, terutama berkah pengampunan dosa. Barangsiapa menjalankannya dengan benar, di ujung ritual ia akan kembali menjadi suci: sebagai bayi dengan mata telaga.
Seluruh ummat Islam mengetahui hal itu, bahkan mereka yang tidak pernah beribadah dan tidak mengetahui rukun Islam sekalipun. Berkah Ramadhan telah menjadi topik yang terus-menerus diucapkan dalam berbagai “medan wacana”. Perbincangannya bahkan menembus keluar ranah keislaman. Ramadhan, dalam banyak hal, menjadi topik kebudayaan. Dan di sini, beranalogi pada Roland Barthes (1976), Ramadhan telah menjadi mitos.
Konsekuensi dari situasi demikian adalah hiruk-pikuk yang takterelakkan pada setiap pelaksanaan ibadah tersebut. Ramadhan menjadi semacam kebisingan yang berlangsung sebulan dalam setahun. Ketika era reformasi membuka katup euforia demokrasi sebagaimana terjadi sekarang, keriuhan Ramadhan bahkan dimulai sejak ritual itu akan dimulai, yakni pada penentuan datangnya bulan (rukyatul hilal). Di televisi dapat kita lihat bagaimana para pemangku agama berdebat melesakkan keyakinannya masing-masing, ditimpali oleh negara (departemen agama) yang telah kehilangan wibawa. Sidang rukyat selalu menunjukkan bagaimana Ramadhan menjadi medan tempat berbagai kepentingan dan posisi kuasa diperebutkan.
Dari situ segera ditemukan paradoks. Puasa yang sejatinya “menutup segala katup” justru malah “membuka semua pintu”. Dalam perspektif semiotika Pierce (1997), perintah puasa yang meminta ummat jeda dari aktivitas makan-minum sepanjang kurang lebih 12 jam mestinya dibaca sebagai indeks bahwa kita harus menyetop, atau setidaknya mengurangi, pemakaian “energi duniawi”. Orang harus masuk ke dalam ruang reflektif dan dengan begitu lebih banyak menggunakan “energi ukhrawi”. Kita harus pergi dari kebisingan menuju pada kesunyian.
Itulah sebabnya, salah satu ritual yang dianjurkan untuk mendampingi ibadah puasa adalah itikap, suatu istilah yang sering diterjemahkan ke dalam prilaku “mengurung diri di mesjid”, tidak melakukan apapun kecuali beribadah. Kiranya tafsir ini terlalu “kamuistik”, lebih jauh itikap sebenarnya bisa dimaknai sebagai “menahan diri, diam dalam refleksi”. Hanya dengan terus berefleksi seseorang akan memahami dan menginsyafi segala kekhilafan diri, dan hanya dengan kesadaran demikian yang kemudian diikuti pertaubatan, dosa niscaya diampuni.
Puasa dan Kelisanan
Akan tetapi, sebagaimana telah disinggung di awal, alih-alih khusu dalam situasi demikian, puasa kita justru lebih banyak dilaksanakan dalam kebisingan. Bagi saya, fakta ini juga bisa dikaitkan dengan tradisi kelisanan Islam yang gayung bersambut dengan kelisanan masyarakat kita. Sebagaimana diketahui, Islam lebih banyak disebarkan melalui mimbar, melalui dakwah di berbagai forum. Meskipun Nabi Muhammad menerima wahyu pertama dalam kesunyian Hira, agama ini lantas berkembang dengan pesat dalam keramaian. Pada masyarakat lisan, tentu saja segala hal bisa dengan efektif disebarkan melalui pranata lisan itu sendiri. Barangkali atas dasar itu para ulama Islam dari dulu hingga kini cenderung memilih mimbar.
Hanya, kiranya ada yang dilupakan oleh para pemangku agama Islam modern, khususnya di negeri ini. Dakwah lisan membutuhkan satu faktor pendukung utama yang menentukan, yakni sikap tauladan pendakwah. Kekuatan dakwah Muhammad bukan serta-merta terletak pada berbagai sabdanya, melainkan pada bagaimana sabda itu menyatu dalam gerak langkah keseharian. Sebagaimana populer diketahui, sejak kanak-kanak Muhammad bahkan telah mendapat julukan terpercaya (al-amin). Dalam lingkup lebih kecil, sikap itu juga dicontoh oleh para penyebar agama Islam di Tanah Jawa (wali songo).
Faktor itulah kiranya yang jarang dimiliki oleh para pendakwah sekarang. Kelisanan dakwah tidak mengejawantah dalam kebertubuhan sehingga ia hanya bermain di permukaan. Dakwah menjadi sekedar tumpukan retorika yang berputar-putar pada lapis luar. Akibatnya, alih-alih meresap ke dalam jiwa, nasihat hanya menjelma kebisingan. Pada titik inilah kita menangkap perkembangan Islam di negeri ini menjadi semu, ia hanya seolah-olah berkembang. Menang di kuantitas, tapi tidak kualitas. Ia berada dalam dunia citra.
Citra Ganda Televisi
Keadaan tersebut lantas gayung bersambut dengan media, dalam hal ini televisi. Televisi, sebagaimana dikatakan Walter J Ong (2004) telah membentuk masyarakat kelisanan baru. Ia menyebutnya kelisanan tingkat kedua (secondary arality). Televisi adalah teknologi yang mewadahi perbincangan. Dan di dalam televisi perbincangan mendapatkan sosoknya yang sempurna. Di dalam televisi orang hanya berbincang, sedangkan di ruang keluarga kita menontonnya, juga acap sambil berbincang.
Selanjutnya, jika pada kelisanan tingkat pertama kita membutuhkan tatapan agar komunikasi berlangsung lebih efektif, pada kelisanan tingkat kedua, tatapan itu berlapis. Di luar kaca, kita menatap orang-orang yang sedang bertatapan di dalam. Sesekali pembawa acara seperti menatap kita, padahal sesungguhnya tidak. Ia hanya seolah-olah menatap. Demikian halnya kita sebagai pemirsa. Meskipun kita menatap wujud, tapi mata kita tidak berakhir pada realitas faktual, melainkan pada representasi wujud atau bahkan simulasi wujud. Pemirsa hanya menatap citra. Jika yang terdapat di dalam televisi itu sendiri adalah citra—akibat dari mediasi teknologi informasi—maka pemirsa sesungguhnya hanya menatap citra yang dicitrakan: sebuah citra ganda.
Dalam kondisi demikian, hubungan pemirsa dengan televisi menjadi tidak seimbang. Pemirsa menatap sesuatu yang bukan sebenarnya melalui teknologi yang memisahkan realitas penonton dengan realitas di balik layar. Sementara itu, meskipun televisi menghadirkan diri sebagai objek yang ditatap dan pembawa acara hanya menatap kamera, sebenarnya itu hanya seolah-olah. Faktanya televisi berada pada posisi yang lebih dari sekedar menatap, melainkan mengintai. Pembawa acara memandang objek (yakni pemirsa) yang sebelumnya telah didefinisikan oleh televisi sebagai sebuah produser berbagai acara, yang, dengan demikian, memiliki pranata lengkap sebagai pedagang. Pemirsa adalah objek yang kelengahannya terus-menerus dicatat dan dikelola televisi.
Oleh sebab itu, televisi menjelma sebuah dunia subjek yang terus-menerus menarik pemirsa ke dalamnya. Meskipun diketahui dunia jejaring sosial (khususnya twitter dan face book) kini telah menjadi pilihan masyarakat kota, secara umum dalam masyarakat kita televisi masih berada pada posisi utama. Di sini televisi bukan sekedar alat, melainkan tujuan. Televisi seolah-seolah menjelma dunia yang membuat siapapun merasa menjadi (eksis): menjadi selebriti, menjadi penyanyi, menjadi idola, menjadi kyai, menjadi pengamat, dan seterusnya. Sebagian kecil masyarakat mungkin mengetahui keadaan ini, tetapi arus televisi yang luar biasa menyebabkan mereka tidak berdaya; sedangkan yang lain terus-menerus merayakan dan menikmati kelengahannya, mendirikan rumah megah dalam dunia citra: citra ganda televisi.
Tuhan Seolah-olah
Daya citra ganda televisi sedemikian juga tidak memandang berbeda wilayah keyakinan dan religiusitas, dalam hal ini religiusitas Islam yang notabene diyakini sebagai basis mayoritas masyarakat kita. Televisi membetot nyaris seluruh potensi religiusitas—atau kemudian lebih umum saya sebut spiritualitas—tersebut ke dalamnya. Lebih spesifik kita bisa melihatnya pada fenomena Ramadhan. Puasa kita, yang pada level tradisi lisan tingkat pertama telah merupakan kehirukpikukan lisan (talu bedug, takbir melalu pengeras suara, pesta merecon, hingga mudik), disulap sedemikian rupa di dalam televisi.
Lihatlah, nyaris 24 jam televisi dipenuhi tayangan “berbaju Islam”, mulai dari ceramah, lawakan, sinetron, feature, sampai iklan berbagai produk. Dan kita tahu hal ini berlangsung tiap bulan Ramadhan. Sekali dalam setahun televisi seolah-olah menciptakan sebuah “ruang spiritual” bagi umat Islam. Ruang ini secara otoregulatif membentuk semacam struktur atau sistem berpuasa dalam televisi, yang dengan kekuatannya kemudian membangun imajinasi kolektif bahwa “harus seperti itulah kiranya berpuasa”, yakni dengan menaikan intensitas ceramah, menjaga mulut tidak boleh bau (iklan pasta gigi), kesehatan harus tetap diperhatikan (iklan obat mag), sejarah Islam mesti kembali dibaca (berbagai feature tentang sejarah Islam), perempuan harus berbaju muslim (artis yang tiba-tiba memakai jilbab), puasa harus tetap dijaga meskipun harus bermain bola (sinetron Tendangan Si Madun 2), dan seterusnya.
Secara umum, semua program tersebut “memukul rata” penonton. Artinya, penonton dianggap sebagai kerumunan pada sebuah tempat. Meskipun berasal dari berbagai tingkatan usia, pendidikan, jenis kelamin, dan lain-lain sebuah kerumunan adalah sama: mereka berkumpul untuk satu saat yang bersifat temporer, selayak orang-orang yang berada di pasar.
Memang harus dicatat bahwa terdapat beberapa acara yang membidik segmen tertentu. Salah satu contoh yang bisa ditunjuk adalah program tafsir Al-Misbach di Metro TV. Ceramah berbentuk dialog yang Ramadhan tahun ini dipandu Inneke Koesherawaty dengan narasumber tetap, yakni Qurais Shihab tersebut tampak diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah ke atas. Acara ini disetting di sebuah ruangan santai yang jika merujuk pada narasinya merupakan ruang tamu (ruang kerja) Qurais Shihab. Di akhir acara, Inneke sering meminta izin kepada Shihab bahwa besoknya ia akan datang kembali bersama tamu-tamu yang diundangnya. Tamu-tamunya sendiri berasal dari kalangan tertentu yang tampak dipilih secara selektif, misalnya dari kalangan pengusaha, LSM tertentu, Ibu-ibu karier, pilot, dan instansi-instansi tertentu yang pemilihannya acap disesuaikan dengan topik yang dibahas dalam ceramah.
Karena programnya bernama tafsir, sepanjang acara Qurais Shihab tidak pernah lepas dari Al-Quran. Bahkan ketika menyampaikan kesimpulan yang sebenarnya bukan uraian langsung atas ayat-ayat Al-Quran, Shihab tidak melepaskan pembicaraannya dari tulisan. Ia selalu meraih buku lain yang berisi kesimpulan pembicaraannya. Tampak jelas di disitu bahwa acara ini memang dipersiapkan matang oleh programernya. Hal ini jelas menjadi sangat penting diperhatikan karena segmen pemirsa yang dibidiknya adalah kelas masyarakat tertentu. Sudah pasti Metro TV tidak melarang siapapun dari kelas sosial masyarakat apapun untuk menonton acara ini. Akan tetapi, melihat kemasan dan visualisasinya, sangat kecil kemungkinan jika anak-anak, ibu-ibu majelis taklim di kampung, dan para ABG akan menontonnya.
Pertanyaannya, apakah kualitas acara tersebut lebih baik (lebih spiritual, lebih religius, lebih berbobot nilai keagamaannya, dll) ketimbang acara-acara sejenis lain yang tampak lebih longgar dan permukaan, misalnya dengan ustad tanpa kitab di tangan dan peserta yang hadir di studio lebih beragam dan awam? Pertanyaan ini sulit dijawab. Saya sendiri melihat bahwa yang membedakan acara-acara sejenis dengan tampilan berbeda itu adalah segmen pemirsa yang dibidik. Bagi masyarakat kelas menengah ke atas (terutama dalam hal pendidikannya), tafsir Al-Misbah jelas akan dianggap lebih berkualitas, tapi pasti tidak bagi awam yang kemampuan intelektualnya tidak memadai. Bagi kelompok terakhir tersebut, tafsir Al-Misbah tidak akan memiliki nilai tambah. Mereka lebih bisa “melihat Tuhan” melalui ceramah dalam kemasan biasa, dengan Ustad yang sedikit banyak memiliki daya humor yang mampu mengocok isi perutnya.
Jika demikian halnya dapat dikatakan bahwa pertimbangan televisi menghadirkan acara ceramah sedemikian bukan semata-mata pada substansi acara yang mungkin akan berdampak pada khlayak, melainkan justru bertumpu pada khalayak mana yang akan dibidik. Ini berarti bahwa Tuhan bukan soal utama, sebab yang penting memang bukan Tuhannya, melainkan bagaimana Tuhan dicitrakan di benak khalayak: Citra Tuhan di kalangan intelektual, ibu-ibu majlis taklim, para remaja usia sekolah menengah, dan seterusnya. Usaha ini jelas membutuhkan berbagai faktor pendukung sebagai daya tarik hasrati. Di sinilah kemudian kita bertemu dengan para artis yang menjadi presenter. Ujung dari semua ikhtiar ini adalah seberapa besar program tersebut dapat memenuhi kepentingan televisi: ekonomi, jaringan usaha, politik kepentingan, dan lain-lain.
Dalam kerangka usaha tersebut, “momentum” adalah hal penting. Dan puasa adalah sebuah momentum sedemikian. Ramadhan adalah saat yang tepat untuk menyiarkan acara-acara keagamaan bukan demi dampak acara tersebut bagi khalayak, melainkan bagi televisi itu sendiri. Jika acara itu diperuntukkan bagi khalayak pastilah sejak dulu kita sudah mendapatkan banyak manfaat. Namun, sejauh yang dapat saya amati, karnaval acara keagamaan di televisi sepanjang bulan Ramadhan tidak pernah meninggalkan jejak spiritual pada masyarakat. Saat puasa berakhir dan pesta lebaran selesai, masyarakat akan kembali pada sedia kala. Selalu begitu setiap tahun. Walhasil, Ramadhan hanyalah sebuah momentum yang dikomodifikasi sedemikian rupa. Televisi yang telah dikapitalisasi dan menjadi makhluk industri kiranya memang tidak pernah mempertimbangkan dampak jangka panjang dari berbagai programnya. Semuanya sesaat. Tuhan dalam televisi adalah Tuhan yang sesaat pula. Ketimbang menghadirkan substansi ketuhanan, televisi sesungguhnya hanya menghadirkan “citra Tuhan” atau Tuhan seolah-olah.
Jika industri televisi tidak bermain untuk dirinya sendiri, yang akan dilakukan pada bulan puasa, saya pikir, justru hal-hal yang sebaliknya. Berbagai acara dalam televisi mestinya diarahkan pada kampanye agar ummat Islam lebih banyak melakukan refleksi. Seperti disinggung di awal tulisan ini, puasa seharusnya membuat ummat “menarik ke dalam segala soal, menyepi, memutus sementara energi duniawi dan mengedepankan energi ukhrowi”. Bentuk acaranya, saya pikir, tidak harus berupa ceramah dan dialog-dialog keagamaan. Hiruk-pikuk mimbar itu, sekali lagi, justru harus dikurangi. Di lapis luar, saya membayangkan suasana puasa mirip dengan suasana menyepi ummat Hindu. Tapi, sayang, televisi memang tidak pernah berpuasa!***
Oleh: Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB.