OPINI | Konflik atas pengelolaan sumber daya alam di Indonesia antara penyelenggara negara (pemerintah), swasta dan masyarakat adat telah berlangsung cukup lama dan menimbulkan kerugian materi bahkan korban jiwa di antara pihak yang bertikai untuk memperoleh akses terhadap pengelolaan sumber daya alam. Hal ini menunjukkan bahwa pola hubungan dan komunikasi yang selama ini terbangun antara pihak belum secara optimal untuk menyelesaikan konflik atas pengelolaan sumber daya alam.
Terkait konflik tata batas kawasan hutan negara dengan wilayah hutan masyarakat adat juga berlangsung cukup lama, jika kita menelusuri tentang sejarah perkembangan aturan yang terkait pengelolaan hutan, dimulai pada zaman pemerintahan hindia belanda yang mengeluarkan kebijakan Reglemen Hutan 1865 , Reglemen Hutan 1897 dengan sangat jelas aturan ini hanya mengatur soal hutan negara, peluang dan akses masyarakat terhadap pemanfaatan hasil hutan sudah mulai terbangun sejak keluarnya Reglemen Hutan 1913, dimana pemerintah belanda sudah memberikan izin pemanfaatan hutan pada masyarakat.
Pengakuan atas keberadaan masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan oleh negara di era reformasi masih dianggap setengah hati dengan dikeluarkannya undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, substansi keterlibatan masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan di dalam aturan kehutanan masih belum signifikan. Pengelolaan hutan pada undang-undang 41 tahun 1999 lebih terfokus pada kewenangan pemerintah untuk mengatur dan mengurusi, sedangkan masyarakat adat hanya sebagai pelengkap atau pendukung apa yang telah menjadi kehendak atau keinginan pemerintah.
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35/PUU-X/2012 tentang perubahan beberapa materi dalam undang-undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan, diantaranya pasal 1 poin 6 “Hutan Adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat” dengan dikeluarkanya kata Negara dari pengertian hutan adat maka secara otomatis terjadi pengalihan dan pemisahan kewenangan pengelolaan hutan oleh negara (pemerintah) dan masyarakat adat. Putusan MK ini merupakan terobosan hukum dalam aturan yang mengatur terkait kehutanan di Indonesia, dimana pemerintah telah memberikan otoritas kepada masyarakat adat untuk mengelolah hutan adatnya dengan kearifan lokal dan hukumnya mengatur serta mengurusi pengelolaan hutan adatnya secara berkelanjutan.
Keputusan ini-pun akhirnya dianggap penting bagi Pengurus AMAN Wilayah Tana Luwu dan masyarakat adat se Tana Luwu untuk menyikapi karena terkait pengakuan masyarakat adat yang peluangnya ada di daerah yaitu masyarakat adat Rongkong, masyarakat adat Seko masyarakat adat Rampi Rampi serta mendorong implementasi Perda adat di luwu utara Nomor 12 Tahun 2004 tentang Pemberdayaan,Pelestarian,pengembangan adat istiadat dan lembaga adat.juga di kabupaten Luwu Timur dengan adanya PT Vale yang dulunya PT INCO yang dimana wilayah Konsesi berada di beberapa wilayah adat seperti Karunsi’e,Padao, Rahampu’u dan lain-lain.
Dari berbagi persoalan yang di hadapi masyarakat adat di Tana Luwu atas Tanah dan sumber daya alam, AMAN Wilayah Tana Luwu mengeluarkan sikap atas percepatan iplementasi putusan MK 35 yaitu :
Pertama, Mendesak Pemerintah se-tana luwu untuk segera melaksanakan Keputusan Mahkamah Konstitusi No, 35/PUU-X/2012, diantaranya penyelesaian konflik-konflik terkait hutan adat dan sumber daya alam di wilayah-wilayah masyarakat adat tana luwu.
Kedua, AMAN Wilayah Tana Luwu bersama pemerintah, DPRD se Tana Luwu mendukung percepatan lahirnya undang-undang pengakuan dan perlindungan Hak-Hak masyarakat adat yang saat ini sedang di bahas di DPR RI untuk dijadikan Undang-undang.
Ketiga, Mendesak pemerintah se Tana Luwu untuk Segera meninjau ulang ijin-ijin Konsesi pertambangan, perkebunan dan kawasan hutan lindung yang berada dalam wilayah masyarakat adat di Tana Luwu.
Keempat, Memintah kepada eksekutif dan legislatif di kabupaten Luwu,Kbupaten Luwu Timur dan Kota palopo untuk mempercepat pembuatan perda pengakuan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Oleh: Bata Manurun, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Wilayah Tana Luwu
