EDITORIAL

Ini Peta Masalah Gundulnya 900 Hektar Hutan Mappetajang

EDITORIAL, LAGALIGOPOS.COM – Diakhir tahun 2014, Kabupaten Luwu di kejutkan dengan kasus perambahan hutan di dua desa, desa Mappetajang dan desa Dampan Bastem utara dan satu desa di Bua yaitu desa Posi. Perambahan ini menggundulkan hutan yang diprediksi hingga 900 Hertar.

Hal ini langsung menjadi perhatian Eksekutif, Legeslatif, dan Eksekutif di kabupaten Luwu. Pihak kepolisian resort Luwu langsung bertindak cepat dengan menangkap beberapa pelaku perambahan hutan. Bupati Luwu juga tidak tinggal diam meminta untuk memberi tindakan tegas pada para pelaku perambahan hutan.

Sementara itu pihak legeslatif dalan hal ini DPRD Luwu Komisi III yang turun langsung investigasi ke daerah perambahan menemukan beberapa hal: 

  1. Pelaku perambahan adalah masyarakat yang berada di sekitar hutan dan sebagian masyarakat pendatang.
  2. Telah ada lahan yang perjual belikan
  3. Adanya dugaan kuat kelalaian pihak Dishutbun yang seakan membiarkan hal itu terjadi dengan mengeluarkan rekomendasi
  4. Pengklaiman hutan oleh banyak pihak yang merasa punya hak atas hutan dan tanah.

“Kami telah melakukan investigasi dan bertemu dengan masyarakat disana, mereka mengatakan susah mencegah perambahan karna mereka memegang surat rekomendasi dari Dinas,” ungkap Summang minggu lalu.

Kasus perambahan ini melibatkan dua pihak, pihak pertama telah di hentikan. Namun hal ini telah memberi peluang pada pihak lain untuk masuk memanfaatkan.

“Dalam menyikapi masalah ini Kapolres harus jeli dan hati-hati, karna yang mereka tangkap ini adalah pekerja saja buka pelaku sesungguhnya, saat itu terjadi perambahan kemudian di hentikan lalu masuklah pihak lain memangfaatkan,” ungkap Ketua DPRD Andi Muharrir bulan lalu.

Sementara itu Baso Anggota DPRD Luwu Komisi III menjelaskan pengelolaan hutan ada aturan yang harus jelas termasuk pemetaan sebagai langkah awal dan pengawasan dari Dishutbun tentang pelaksanaan di lapangan.

“Ini bukan hutan lindung tapi hutan produksi yang masalah ketika mengelola ada aturannya dan harus diawasi agar tidak melewati peta yang telah di tetapkan,” kata politisi Gerindra ini.

Awal Mula Perambahan

Dari penelusuran yang dilakukan Lagaligopos, menemukan terjadi beberapa hal yang menjadi awal mula penebangan hutan yaitu pengklaiman hutan adat oleh sebagian tokoh masyarakat, penerbitan izin melalui Dishutbun berupa program Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) dan Hutan Tanah Rakyat (HTR). Hal ini di buktikan dengan sebuah notulen pertemuan masyarakat desa Mappetajang tentang kerjasama dengan pihak PT. Panply serta daftar hadir dalam pembicaraan kerjasama tersebut.

Notulen pertemuan lengkap daftar hadir yang bertanggal pada 18 september 2012 pukul 10:30 dihadiri oleh: Kadis Hutbun Kab. Luwu Hj. Basir dan beserta staf, Rahmad K Foxy dari LSM Arus bawah, Camat Batem Tandiraja,K. Ismail, SE anggota DPRD Luwu, Sinar Kades Mappetajang, M. Umair Kaddiraja dari Management PT. Panply, Nurman Kasi Perizinan dan beberapa nama lainnya yang mengatasnamankan masyarakat desa Mapeetajang, semua berjumlah 29 orang.

Program ini rupanya tidak berjalan dengan mulus, karna terdapat sebagian masyarakat yang keberatan. Hal inipun berujung pada pengaduan kepada DPRD Luwu hingga menerbitkan surat rekomendasi DPRD Luwu Nomor: 170/ 387/ DPRD/ IV/2014 tentang Penyerobotan Lahan/Lokasi Penebangan Kayu yang Masuk Diarea Hutan Lindung Di Desa Mappetajang Kecamatan Bastem tertanggal 3 Juni 2013.

Data ini menunjukkan rencana pemanfaatan kayu hutan di desa Mappetajang melibatkan pihak eksekutif, legeslatif, masyarakat dan LSM. Hal ini di awali tahun 2012, pengaduan terhadap hal ini di tahun 2013 dan rekomendasi untuk menghentikan perambahan di tahun 2014.

Tumpang Tindih Antara Klaim Hutan Adat dan HTR dan IPKTM.

Hutan adat yang di akui bukan lagi sebagai hutan negara di atur dalam MK No. 35/PUU-X/2012 yang selanjutnya di perjelas dalam Permenhut No.62 tahun 2013 yang menyatakan inventarisasi keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) berdasarkan PERDA yang telah mengukuhkan keberadaan MHA dan pihak ketiga yang mengklaim hak harus menunjukkan bukti keberadaan berupa pemukiman, fasilitas umum, dan fasilitas sosial yang sudah ada sebelum penunjukan kawasan hutan maupun sesudah penunjukan kawasan hutan.

Hal ini kembali diperkuat dengan terbitnya Pemendagri No.52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat hukum Adat yang menyatakan Bupati/Walikota melakukan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat. Tahapan yang dilakukan adalah membentuk panitia masyarakat hukum adat yang terdiri dari perwakilan instansi pemerintah daerah terkait dan masyarakat hukum adat untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan validitasi masyarakat hukum adat yang kemudian ditetapkan oleh Bupati/Walikota melalui rekomendasi panitia masyarakat hukum adat dengan keputusan kepala daerah. Dalam hal ini, masyakarakat hukum adat di dua atau lebih kabupaten.kota maka pengakuan dan perlindungan adat ditetapkan dengan keputusan bersama kepala daerah.

Dalam Notulen pertemuan tertera beberapa hal penting:

  1. Masyarakat Mappetajang mendukung sepenuhnya untuk bekerjasama dengan PT. Panply dalam pengolahan kayu atau memanfaatkan potensi kayu yang tidak masuk dalam kawasan hutan (dalam wilayah adat Balimbing Kalua-Bolu)
  2. Masyarakat Mappetajang mendukung kebijakan Bupati Luwu atas terbitnya Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) dalam lokasi adat Balimbing Kalua-Bolu.
  3. Menunjuk LSM Arus Bawah untuk mendampingi pembentukan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pola kemitraan dengan PT. Panply (dalam notulen terdapat 5 point)

Sesuai dengan aturan perundangan adalah hal yang tidak benar jika dalam hutan adat yang seharusnya di kelola dengan tatacara pengelolaan adat yang sifat turun temurun dikelola dengan masuknya program pemerintah, terlebih lagi fungsi hutan adat adalah proteksi terhadap kerusakan hutan yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat adat untuk kelangsungan kehidupan pengkaliman Hutan Adat juga harus di Perdakan. Sementara selama ini untuk Kab. Luwu belum ada Perda yang menjadi rujukan. Demikian pula dengan IPKTM dan HTR juga dua hal yang berbeda.

HTR didasarkan pada P. 23 tahun 2007 dalam prosesnya harus melalui usulan Bupati kepada Menhut yang akan melahirkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR). Baik IPKTM dan HTR harus memiliki inventarisir kayu yang nantinya akan di kelola.

Lemahnya Pengawasan Pemerintah dan Aparat Hukum

“Jika kita perhatikan kasus perambahan hutan di Mapeetajang terdapat dua kelalaian Dihutbun” ungkap Summang Anggota DPR Komisi III minggu lalu.

Kerusakan hutan yang akhirnya DPRD Luwu menerbitkan surat rekomendasi untuk menghentikan penebangan tidak semerta-merta menyebabkan perambahan berhenti tapi meluas ke desa Dampan dan desa Posi

Jika di runut dari tahun 2014 hingga pengaduan terhadap DPRD Luwu dan Polres Luwu seperti yang disampaikan maka akan terlihat lemahnya bahkan tidak adanya perhatian pemerintah Kab. Luwu, DPRD Luwu dan Aparat Hukum dalam melindungi hutan khususnya di desa Mappetajang dan dua desa lainnya. Data-data yang di peroleh selain menunjukan tumpang tindihnya klaim hutan adat, IPKTN dan program pemerintah (HTR) maka akan nampakketerlibatan ini melibatkan Pemerintah dalam hal ini Dishutbun, Anggota DPRD, PT. Panply, tokoh adat/ masyarakat baik pada perambahan hutan, kelalaian pengawasan maupun pemanfaatan hutan.

Dalam rapat kordinasi di ruang Komisi II dengan Kadis Hutbun, Hj. Basir membantah jika terdapat lahan yang perjual belikan. Namun salahsatu tersangka perambahan yang ditahan oleh pihak Polres Luwu yaitu Busro membantah t elah melakukan perambahan. Informasi yang di himpun pengakuan Busro menjelaskan jika penanaman cengkeh yang dilakukannya pada lahan yang telah dirambah karna dia telah membeli lahan tersebut dari masyarakat.

 

Reporter: AC
Editor: AC
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top