OPINI | “Dulu saya kira pemimpin itu berarti kekuatan, tetapi sekarang kepemimpinan ternyata maknanya adalah berbaur bersama rakyat,” kata Indira Gandhi (1917-1984), mantan perdana menteri India. Ucapan Gandhi sepatutnya menyandarkan para politisi di DPR yang tengah ngotot menggeregaji pilar-pilar demokrasi. Di Senayan, heboh sekali politisi yang tergabung dalam koalisi Merah Putih menyusun kekuatan untuk merampas demokrasi langsung dari tangan rakyat (electroral democracy). Mereka menyiapkan rancangan Undang-Undang Pilkada yang hendak mengembalikan pesta demokrasi lokal ke DPRD pada zaman Orde Baru yang otoriter.
Sampai September ini, Fraksi-fraksi yang ngotot memilih (pilkada) di DPRD adalah Golkar, PKS, Demokrat, PAN, PPP, dan Gerindra. Padahal, pra-Pilpers Mei lalu, semua fraksi itu setuju pemilihan langsung. Fraksi yang konsisten pemilihan langsung adalah PDIP dan Hanura. PKB yang semula ingin pemilihan bupati/wali kota di DPRD, kini setuju dengan pemilihan langsung. Memang aneh, fraksi-fraksi yang mendukung Pilkada di DPRD bukannya memperkuat demokrasi di tangan rakyat, mereka justru hendak merampas demokrasi dari rakyat. Mereka lupa bahwa lima tahun lalu mereka bisa sampai kesenayan pun karena dipilih langsung oleh rakyat.
Mereka beralasan pemilihan langsung berbiaya mahal (High cost) yang buntutnya banyak kepala daerah (bupati/wali kota/gubernur) terjerat korupsi. Namun, kesalahan itu bukan pada sistem pemilihan langsung, melainkan lebih karena tabiat rakus kuasa dan rasionalitas yang keliru para politisi. Lagi pula, siapa bilang pemilihan di DPRD murah? Biaya politik dalam demokrasi langsung bisa dicek transparansi dan akuntabilitasnya. di Pilkada langsung, political cost bisa dihitung, katakanlah baliho, spanduk biaya operasional kampanye, atau sebagian money politics. Sebaliknya, pemilihan di DPRD, jangan-jangan money politics-nya ibarat “sumur tanpa dasar”.
Jadi, niat politisi di Senayan itu sungguh keterlaluan. Ketika banyak pihak berpikir keras untuk mewujudkan demokrasi yang lebih subtantif, bukan lagi prosedural, mereka malah berpikir mundur. Rasanya tak sulit melihat niat mereka sebagai tindakan balas dendam terhadap pemerintahan Jokowi Widodo dan Jusuf Kalla yang pada Oktober mendatang akan menggantikan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Kalah dalam kontestasi Pilpres, termasuk dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi, tidak juga membuat mereka sadar dan mengakui kekalahan. Padahal, dalam demokrasi, buka cuma mengajarkan memenangi kontestasi secara elegan, melainkan pihak-pihak yang kalah seharusnya juga menerima keputusan apa pun dari suatu proses kontestasi, serta pihak-pihak yang menang sewajarnya merangkul kembali pihak-pihak yang terjungkal itu.
Kriteria pemerintahan demokrasi, kata ahli ekonomi pilitik Anthony Downs (1957), antara lain pihak yang kalah dalam pemilu tidak mencoba menggunakan kekerasan atau cara-cara ilegal untuk menghadang partai pemenang. Sebaliknya, partai berkuasa juga tidak membatasi kegiatan politik rakyat selama tidak ada upaya penggulingan pemerintahan dengan cara-cara kekerasan. “Demokrasi ditandai dengan Pemilu secara priodik yang diputuskan oleh mayoritas dengan one-perseon, one-vote,” kata Downs.
Niat mengembalikan demokrasi ke DPRD juga tak ubahnya serangan balik karena keputusasaan saat bertarung dalam pemilu langsung. Ternyata dalam pemilihan langsung, uang yang semula diyakini sebagai “jimat sakti” pada akhirnya bukan segala-galanya. “Uang tidak dapat membeli kehidupan anda,” teriak Bob Marley (1945-1981), legenda rege dari Jamaika. Rakyat kita makin cerdas. Terlalu sering kita dengar rakyat bilang begini: “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya”. Sesungguhnya itulah bentuk perlawanan rakyat terhadap cara-cara berpolitik kotor.
Tak heran, buat politisi yang suka cara-cara kotor, Pilkada langsung kini tidak jadi jaminan lagi, malah menjadi ancaman terbesar. Dengan Pilkada langsung, rakyat makin mengerti memilih pemimpin baik. Setelah pengalaman hampir sepuluh tahun, Pilkada langsung pun mulai menemukan bentuknya dalam menyeleksi pemimpin baik dan berintegritas. Dari Pilkada langsung lahirlah Jokowi Di Solo, Ridwan Kamil di Bandung, Nurdin Abdullah di Bantaeng, dan banyak lagi. Jadi, jangan potong “musim semi” itu.
Menurut Freedom House (2008), untuk memenuhi standar minimum, sebuah negara electoral democracy memiliki empat syarat, yakni (1) kompetitif, dengan sistem politik multipartai, (2) hak pilih bagi semua warga negara, (3) kontestasi dan pemungutan suara lewat pemilu teratur, rahasia, tak ada penipuan, dan mewakili suara rakyat, serta (4) akses publik dari parpol kepada rakyat melalui media dan kampanye terbuka. Di dunia, banyak negara yang ingin berubah ke electoral domocracy, meninggalkan pseudo democracy.
Lebih dari seabad silam, semasa perang saudara di Amerika Serikat, di Pemakaman Nasional Prajurit di Gettysburg, Pennsylvania, Presiden Abraham Lincholn (1809-1865) berpidato lantang: “Kita berada disini untuk mendedikasikan pada tugas besar yang tersisa di hadapan kita.., bahwa negara ini, di bawah kuasa Tuhan, akan melahirkan kebebasan baru, dan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tidak boleh binasa dari muka bumi”.
Jadi, jangan maim-main dengan Rakyat!
Oleh: M. Subhan SD Sumber: Kompas Cetak Edisi, Sabtu (13/9/14)
