OPINI

Melipat Indonesia dalam Berita Televisi: Kritik atas Sentralisasi Penyiaran

Analisis, Lagaligopos.com – Sistem penyiaran televisi yang tersentralisasi merugikan masyarakat Indonesia. Sepuluh stasiun televisi swasta asal Jakarta yang bersiaran nasional terbukti bukan gagasan yang tepat bagi negara yang luas dan beragam seperti Indonesia. Pasalnya banyak isi siarannya yang tak relevan bagi banyak publik di luar Jakarta. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Remotivi dan FIKOM Unpad atas berita di 10 stasiun televisi nasional sepanjang Oktober 2012.

 Penelitian yang ditulis dalam laporan berjudul “Melipat Indonesia dalam Berita Televisi” ini menunjukkan bahwa berita asal Jabodetabek mendominasi keseluruhan berita. Secara durasi kemunculan, berita asal Jabodetabek mendapat 48% ruang pemberitaan, sedangkan untuk berita Non-Jabodetabek (33 provinsi lainnya) hanya mendapat 38%. Ini artinya, tiap provinsi di luar Jabodetabek hanya mendapat durasi pemberitaan sebesar 1,15%. Data ini menunjukkan bahwa separuh isi berita televisi nasional hanya bicara persoalan Jabodetabek.

Memang, berita asal Jabodetabek bisa saja berguna bagi publik di daerah lain selama itu menyangkut kepentingan nasional. Hal itu seperti berita kenaikan harga BBM, pergantian kabinet, perubahan kurikulum nasional, Pemilu, dan sebagainya. Maka itu, penelitian ini juga mengukur sebuah berita berdasarkan dimensinya (nasional atau lokal). Ini temuannya.

55% berita berdimensi lokal dan 36% berdimensi nasional. Meski berita berdimensi lokal mendapat perolehan persentase yang besar, tapi sebagian besar di antaranya adalah berita yang berasal dari Jabodetabek (38%), kemudian disusul Jawa Timur (12%), Jawa Barat (9%), dan Sulawesi Selatan (6%). Pada berita berdimensi nasional, dominasi Jabodetabek juga terjadi karena mendapat perolehan persentase sebesar 69%. Artinya, baik berita berdimensi lokal maupun nasional, semuanya hanya mengangkat persoalan di dan dari Jabodetabek. Kesimpulannya, kemampuan TV nasional setara dengan kemampuan TV lokal yang hanya mencakup persoalan lokal, dan hanya berita asal Jabodetabek-lah yang bisa menjadi sebuah berita nasional.

Didasari keyakinan bahwa informasi adalah oksigen bagi demokrasi, maka fakta tadi terang mengancam demokrasi. Sirkulasi dan distribusi informasi yang melulu mengenai persoalan Jabodetabek akan menciutkan demokrasi. Seolah, demokrasi hanya terjadi di Jabodetebak. Sedangkan berbagai daerah di luar Jabodetabek tidak mendapatkan distribusi informasi yang relevan dan kontekstual.

Memang, informasi lokal bisa jadi jadi dipenuhi stasiun TV lokal, tapi masalahnya, sentralisasi menghalangi industri TV lokal untuk bisa bersaing secara sehat dan adil. Bukan saja melenyapkan peluang ekonomi lokal, sentralisasi penyiaran juga membuat ketimpangan politik dan budaya lokal.

Sebenarnya, UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 sudah melarang televisi bersiaran nasional dan mengamanatkan berjalannya Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Dengan SSJ, stasiun televisi Jakarta harus berjejaring dengan stasiun TV lokal agar siarannya bisa ditonton oleh publik di daerah lain. SSJ memungkinkan terciptanya hubungan yang saling menguntungkan antartelevisi. Selain membuka peluang ekonomi bagi industri TV lokal, SSJ juga memungkinkan peluang terwadahinya aspirasi politik dan ekspresi budaya lokal.

Sayangnya, sejak UU diterbitkan, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) melulu mengakomodasi kepentingan industri TV Jakarta dengan menunda pelaksanaan SSJ terus menerus.

Selain memperlihatkan efek sentralisasi, penelitian ini juga menemukan rendahnya mutu jurnalisme televisi. Ini ditunjukkan dengan tingginya berita dengan topik kecelakaan (21,5%) dan kriminalitas (10,8%), dan rendahnya berita dengan topik yang lebih punya kepentingan publik seperti pemerintahan (4,4%), Pemilu (5,1%), lingkungan (3%), atau kebijakan ekonomi (1,3%). Data ini memperlihatkan gagalnya jurnalisme televisi mendefinisikan fungsi berita bagi masyarakat. Selain itu didapat juga fakta bahwa 41,7% berita yang diteliti memiliki cacat jurnalistik karena ketiadaan sumber berita.

Penelitian ini memperlihatkan bahwa sentralisasi penyiaran harus dihentikan dan SSJ harus dijalankan sesuai amanat UU. Sebab, sentralisasi hanya akan membunuh keragaman yang ada di Indonesia.

 

*Data diambil dari 10 stasiun televisi (Metro TV, MNC TV, Global TV, SCTV, RCTI, Trans TV, ANTV, TV One, Trans 7, Indosiar), dengan total 2.636 item berita yang berdurasi 300.363 detik.

**Tabulasi data ada di lampiran

***Laporan penelitian tertulis secara lengkap dapat diunduh di sini

 

Peneliti: Muhamad Heychael, Koordinator Divisi Penelitian Remotivi, dan Kunto Adi Wibowo, Dosen FIKOM Unpad

Sumber: Remotivi.or.id

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top