Opini, Lagaligopos.com – TAHUN politik. Demikian predikat yang dilekatkan kepada tahun 2014.
Dalam perspektif semiotika, predikat ini penanda yang refe- rennya taksa. Ia mengirim pesan yang menggembirakan sekaligus mengkhawatirkan: memberi harapan, tetapi pada saat yang sama menimbulkan kecemasan.
Politik adalah diksi yang sangat metaforik. Kata ini sering membawa kita ke dalam situasi tidak jelas. Ia menjadi ruang tempat terlepasnya batas antara baik dan buruk, jujur dan dusta, putih dan hitam, demikian seterusnya.
Megawati Soekarnoputri dalam wawancara dengan harian ini menyatakan, 2014 bukan sekadar tahun politik, melainkan tahun penentuan bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang kembali pada akar sejarahnya. Bangsa yang mandiri, beradab, dan menjadi pelita bagi bangsa-bangsa lain di dunia (Kompas, 7/1). Siapa pun pasti setuju dengan pandangan ini. Secara semiotik, di baliknya ditemukan tekad yang teguh, sebuah pesan yang memberi harapan.
Namun, pernyataan itu juga mengirim sinyal lain. Ia sebuah negasi dari situasi hari ini bahwa kini kita tengah berada dalam keadaan sebaliknya dari harapan itu. Kita tak sedang tumbuh pada akar sejarah sehingga, karena itu, menjadi tak mandiri, bahkan tak beradab. Ini kritik yang tajam, tetapi tersembunyi. Pernyataan yang keras, tetapi gemanya menuju ruang dalam. Karena itu, pernyataan ini menjadi sangat politis juga, apalagi jika mengingat Megawati adalah tokoh politik dengan pengalaman politik di atas semua tokoh yang tahun ini bertempur di arena politik menuju puncak kekuasaan.
Tahun wacana
Fakta di atas bisa dibaca sebagai semiotika politik. Namun, saya akan memperluasnya jadi semiotika sosial (Halliday, 1989), tempat politik jadi salah satu topik di dalamnya. Semiotika sosial tak hanya bergerak pada tataran relasi antara penanda dan petanda serta relasi antartanda, tetapi juga menyangkut interaksi berbagai tanda di dalam medan tanda dengan sejumlah pelibatnya. Di dalam arena itu yang terjadi bukan sekadar pertukaran pesan dan makna, melainkan pertempuran tentangnya.
Semiotika sosial adalah perdebatan parole (ujaran individu) dalam ruang perbincangan yang memperebutkan berbagai posisi. Dalam interaksi tanda semacam ini, yang sebenarnya terjadi relasi kuasa, baik dalam arti filosofis, yakni sesuatu yang menyebar dan dimiliki setiap individu (Foucault, 1989), maupun dalam arti praktis: kuasa terdistribusi dari “yang dominan” ke “yang terdominasi”. Dengan demikian, kajian semiotika sosial berbanding lurus dengan analisis wacana.
Berpijak pada semiotika sosial demikian, ungkapan Megawati di atas bisa dibaca sebagai pesan yang dikirim ke tengah arena per- tempuran perebutan posisi kua- sa. Sebagaimana diketahui, para pelibat lain juga terus aktif mengirim hal sama dengan berbagai formula. Dalam tataran bahasa, semua formula pesan itu mewu- jud sebagai “konstruksi kebenaran” atau hal-hal yang sangat ideal. Lebih tepatnya, semua bertendensi merumuskan kebenaran. Dalam konteks ini kehendak merasa benar identik dengan kehendak berkuasa. Aku benar karena itu aku berhak atas kuasa.
Ambivalensi media
Dengan demikian, tahun politik akan menjadi tahun wacana, saat hal-hal “yang ideal” dipinjam dan dimasukkan ke dalam bahasa untuk merebut posisi kuasa tadi. Di dalam pertempuran itu seolah-olah kita hanya menyaksikan orang suci dengan berbagai fatwa kebenaran. Selanjutnya setelah pertempuran selesai, sebagaimana sifat wacana yang selalu temporer, “yang ideal” hanya akan tertinggal sebagai ujaran yang ditinggalkan pengujarnya, sebagai fatwa yang ditinggalkan ulama atau pendeta.
Hal menarik dalam situasi itu adalah media. Sejatinya media adalah medan tempat pertempuran tadi. Sebagai arena, media mesti steril dari kepentingan. Ia hanya mengantarai. Namun, kini yang terjadi tak demikian. Media, terutama televisi, jadi ambivalen, berperan sebagai medan sekaligus pelibat. Sebagai pelibat, ia pasif sekaligus aktif. Dalam posisi pasif, media jadi prajurit tanpa zirah. Di bawah panglimanya (pemilik) yang jadi pelibat perang, media melancarkan serangan dan bertahan di tempat tersembunyi meski faktanya di mata publik tampak telanjang juga.
Sebagai pelibat aktif, media berjuang untuk kepentingan dirinya, “perusahaan yang memproduksi dan menjual informasi”. Dalam posisi ini, media menyeleksi “bahan mentah dan bahan setengah jadi informasi” yang dianggap layak produksi dan karena itu layak jual. Dengan peran ini, di tengah arena—yang tak lain dirinya sendiri itu—media jadi pihak yang terus mengintip lalu menangkap bagian tertentu dari wacana dianggap bergizi sebagai bahan informasi. Pada tingkat tertentu, media juga bisa melakukan deviasi atas realitas dengan menciptakan realitas lain yang disebut Baudrillard (1981) sebagai simulasi.
Dihubungkan dengan pemirsa atau masyarakat sebagai penonton, ambivalensi media sedemikian mendorong masyarakat berada pada posisi ganda pula. Bedanya, kedua posisi berhadapan: yang dimiliki masyarakat sangat ringkih. Di hadapan televisi, masyarakat adalah penonton pihak yang mengintip, televisi itu sendiri. Ironisnya, dalam banyak hal, yang diintip televisi tak lain para pemirsanya. Walhasil, masyarakat adalah penonton sekaligus yang ditonton televisi. Sebagai penonton ia pasif, sedangkan sebagai yang ditonton ia obyek.
Situasi demikian akan menyebabkan 2014 menjadi tahun yang taksa: memberi harapan sekaligus mencemaskan. Paling tidak, pertempuran merebut posisi puncak kuasa yang menggunakan “formula kebenaran” dapat jadi semacam pemecah kejumud- an berbangsa yang sejauh ini terjadi. Di sini sedikit harapannya.
Namun, ketika pertempuran selesai, media pasti akan menye- leksi pertempuran lain. Di sinilah tahun 2014 akan menciptakan enigma semiotik (teka-teki tanda). Sebab, saat pemilu presiden selesai, kita akan segera dibawa ke pertempuran lain yang terjadi di arena netral yang, dengan demikian, menjadi pertempuran sesungguhnya: Piala Dunia.
Sejauh ini, kita tahu, tak ada yang bisa mengalahkan daya tarik sepak bola, apalagi kini ia su- dah masuk di dalam pusaran modal raksasa. Di situ sepak bola akan jadi modal buta (meminjam Horkheimer) yang menggerakkan siapa saja keluar dari kesa- daran, menjadi pribadi mengambang, hengkang dari ingatan. Saat stadion Piala Dunia ditutup, sekonyong-konyong kita kembali menemukan diri bangsa compang-camping seperti hari ini.
Jangan sampai seluruh 2014 direbut modal yang menjadikan segalanya sebagai industri, seba- gai pesta bahasa, atau sebagai tontonan sesaat seperti pada pesta kembang api di setiap perayaan malam Tahun Baru.
Oleh: Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
Sumber: KompasCetak, Edisi Januari 2014