OPINI | Lagaligopos.com – Kita terpana menatap berita media. Koruptor yang lama menghilang tiba-tiba menampakkan diri dari kesunyian tapa. Mereka kini hadir, setelah sekian lama ‘menghilang’ dari pentas dunia. Banyak yang bertanya-tanya. Banyak yang tak percaya. Bagaimana mungkin bagian sejarah kelam masa lalu itu kini hadir kembali?
Mengapa selama ini mereka ‘menghilang’, dan kini ‘muncul’ kembali? Untuk apa menghilang, untuk apa kembali? Aneka pertanyaan ini seakan menjadi sebuah beban. Sebab, tidak hanya mereka yang menghilang dan muncul kembali. Ada sederet nama lagi yang melakukan hal serupa, meskipun dengan intensitas, model dan bentuk berbeda. Menghilang dan muncul kini menjadi kecenderungan umum, semacam trend
Menghilang berarti ‘tak hadir’ (disappear), tak tampak, tak muncul, tak ada di tempat umum. Menghilang berarti menyembunyikan diri, menarik diri, menyendiri dalam sunyi, lenyap dalam sepi, senyap dalam tapa. Hadir berarti terlihat, tampak, muncul, ada di tempat umum. Hadir berarti menampakkan diri (appear), menunjukkan muka, ada dalam keramaian, sibuk dalam kerumunan
Kemenghilangan (disappearance), kata Jean Baudrillard di dalam The Perfect Crime (1996) bukan tanpa tujuan, tanpa kepentingan, tanpa motif. Menghilang adalah sebuah strategi : ‘strategi kemenghilangan’. Dengan menghilang orang ‘menghilang’ bersama segala kesalahan, segala dosa, segala kejahatan, segala hujatan. Sebaliknya, dengan ‘menghilang’ orang leluasa ‘memantau’, ‘mengawasi’ dan ‘menyusun rencana’ dalam ketersembunyiannya
Menghilang, di sini, adalah sebuah kalkulasi, sebuah hitung-hitungan, sebuah ekonomi-politik
Ironisnya, ketika yang menghilang, hilang bersama kejahatan dan dosanya, yang hadir dalam keramaian justeru yang dikejar-kejar kesalahannya. Ketika sang pencuri bersembunyi dalam tapa kegelapan, semua yang hadir kini dicurigai sebagai ‘pencuri’. Kita semua menjadi para ‘tersangka’ dalam kemenghilangan pencuri. Pencuri diuntungkan oleh kehadiran orang ramai. Orang ramai dirugikan oleh kemenghilangan pencuri. Inilah ekonomi-politik kemenghilangan
Bahkan, kata Paul Virilio di dalam The Aesthetics of Disappearance (1991), ‘hadir’ dan ‘menghilang’ adalah sebuah seni, yaitu ‘seni menghilang’. Seni menghilang atau menghilangkan sesuatu adalah ‘seni ilusi’ (illusion art). Melalui seni ilusi orang dapat meghilangkan yang ‘ada’, atau menghadirkan yang ‘tak ada’. Menghilangkan yang ada, adalah untuk menciptakan ilusi seakan-akan yang ada (kesalahan, kejahatan, dosa) itu tak ada. Sebaliknya, yang tak ada itu ada. “Dunia adalah sebuah ilusi, dan seni adalah penghadiran ilusi dunia itu”. Inilah ‘estetika kemenghilangan’ (the aesthetic of disappearance)
Muncul dan menghilang mempunyai dimensi ‘ruang-waktu’: ruang-waktu kehadiran, ruang-waktu kemenghilangan
Sebagai sebuah strategi orang tidak muncul dan menghilang sekenanya. Orang harus muncul dan menghilang di waktu yang tepat, dan di ruang yang tepat. Orang menghilang dengan mencuri kelengahan perhatian, sehingga ia menarik diri tanpa diketahui, sembunyi tanpa dipedulikan, lenyap tanpa diacuhkan. Orangpun muncul dengan menunggu waktu, sehingga tak disadari, ia sudah menjadi bagian keramaian. Muncul dan menghilang adalah bagian dari ‘politik waktu’ (chronopolitics)
Ketika reformasi mulai mengendur, penegakan hukum menciut, pemberantasan korupsi melemah—itulah waktu yang tepat untuk menampakkan diri, untuk come back
‘Menghilangkan’ adalah sebuah ‘politik pelupaan’ kata Nietzsche. Sesuatu dihilangkan tidak saja dari pandangan, tetapi lebih parah lagi dari ‘ingatan’. Betapa banyak ‘sejarah kelam bangsa’ yang ‘dihilangkan’ dari ingatan, untuk dilupakan, sementara pelakunya tetap ‘hadir’ jumawa: Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Semanggi, Peristiwa Orang hilang, Pembunuhan Munir. Ironisnya, orang ‘menghilang’ untuk menghilangkan kejahatan ‘menghilangkan orang lain’ dari ingatan
Kini, melalui ‘kemunculan kembali’, apakah ini sebuah ‘kelahiran baru’—semacam ‘reinkarnasi’—setelah segala kesalahan disucikan dengan cara ‘menghilang? Bila demikian, menghilang adalah semacam cara ‘pengampunan dosa’. Dosa-dosa terhapus sendirinya—setidaknya dalam ingatan publik—karena semua orang sudah terjangkit virus ‘pelupaan’ (forgetfulness)
Karena ‘menghilang’ dan ‘menghilangkan’ adalah cara ilusi, ‘kehadiran’ juga menjadi sebuah ilusi. Ia adalah ilusi, karena menghilangkan tanda-tanda kebenarannya. Kehadiran adalah sebuah tanda dusta (false sign): menyatakan diri A (baik) padahal B (buruk). Orang tampil dengan penampakan dan citra baru, hanya untuk menipu mata, dari wajah buruknya di masa lalu—sebuah phantasma Plato
Di sinilah, kata Umberto Eco di dalam A Theory of Semiotics (1979), tanda dapat digunakan untuk berdusta (lying), meskipun dapat juga untuk menyatakan ‘kebenaran’ (truth). Tanda digunakan untuk mengatakan dusta, ketika sesuatu muncul kembali dengan citra baru, seraya menghapus citra buruknya dari memori. Menghilang adalah bentuk ‘manipulasi memori’. Ingatan dihapus dengan menjauhkan sesuatu dari pandangan
Bangsa dengan memori buruk adalah bangsa yang memberi ruang hidup pada ilusi dan tanda dusta. Di atas tubuh bangsa macam inilah para ‘pembuat ilusi’ (artificier) hidup bebas. Rangkaian ilusi digunakan untuk menyembunyikan kenyataan (kelam) sejarah. Kebenaran diselimuti oleh kabut-kabut ilusi. Pandangan ke arah kebenaran kian suram, kabur dan remang-remang
Kebenaran yang remang-remang—karena kekurangan daya—lama-lama akan ‘menghilang’ atau sengaja ‘dihilangkan’. Maka, ketika kebenaran menghilang, yang riuh rendah muncul di hadapan kita adalah ‘ilusi kebenaran’. Inilah mereka yang mengklaim kebenaran di atas pentas ironi: yang mengadukan ‘pencemaran nama baik’ di atas samudera dosanya, yang memprotes ‘pembunuhan karakter’ di atas ladang kejahatannya, yang mengklaim diri ‘pejuang keadilan’ di atas lautan kriminalitasnya.
Oleh: Yasraf Amir Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan
Sumber: Catatan Facebook Yasraf Amir Piliang