OPINI

Menulis Untuk Belajar dan Berpikir

OPINI | Lagaligopos.com – Memberikan tugas menulis ke murid perlu dipikirkan ulang. Jika tujuannya agar murid belajar atau merangsang daya berpikirnya, maka bentuk tugas dan perintahnya harus berbeda.

Tugas menulis yang kontroversial biasanya seperti membuat “Term Paper”, “Presentasi”, “Interview”, “Laporan Praktikum”, atau “Makalah Penganti Final”.

Tugas-tugas seperti itu sifatnya high stakes. Siswa hanya fokus mengejar nilai. Siswa lupa menikmati dan memaknai proses menulis itu sendiri.

Dalam membuat tugas makalah misalnya, murid fokus berfikir untuk mengumpulkan tepat waktu, selengkap-lengkapnya, dan semirip-miripnya, dengan petujuk tugas yang diberikan guru.

Kemungkinan besar murid berusaha membuat tulisan tebal, dan indah bentuknya. Tapi coba tanyakan, “kalian belajar apa dari tulisan ini?”

Kemungkinan jawabannya, tatapan kosong. Blank! Mengapa? Karena mereka paradigmannya masih Learning To Write.

Karena Learning to Write, mama keluarannya ya Writing. Makaya murid fokus pada tulisan setebal-tebalnya, selengkap-lengkapnya, dan seindah-indah bentuknya.

Hal seperti ini sangat menyebalkan. Bahkan dengan Wiki dan Gooogle lah yang murid jadikan sumber segalanya, akibatnya tugas pendidikan berubah menjadi sampah Copy Paste yang tidak jelas.

Jadi sebenarnya kita guru ingin apa sih dari murid yang kita beri tugas menulis? Learning dan Thingking!!!

Nah, kalau kita sepakan ingin murid kita belajar dan berpikir melalui tugas menulis, yang kita ukur adalah “Hasil Belajar” dan “Berpikir” yang ditimbulkan dari tugas menulis tersebut.

Kalau Leaning To Write tadi keluarannya “Writing”, maka kita ubah sudut pandangnya menjadi “Writing To Learn”. Itu akan membuat keluarannya “Learning”.

Jadi, menulis bukan fokusnya lagi, tapi belajar dan berpikir yang dipentingkan. Nah, bagaimana bentuk-bentuk tugas menulis agar “Writing To Learn” atahu “Think”?

Contoh Writing To Learn misalnya: diakhir kelas, minta siswa menuliskan apa yang paling penting dari semua pelajaran yang kita sampaikan.

Atau dengan cara lain, seperti menggunakan Twitter. Minta mereka menulis status (140 Karakter) tentang materi pelajaran tertentu.

Guru: “Seandainya pelajaran dikelas kita direkam dan dibuat film, judulnya apa ya??” (Beri waktu menjawab 1 minit saja).

Kemungkinan besar reaksi murid yang pertama kali diberi tugas seperti itu akan bilang: “Wah Susah”.

Tanyakan lagi, “Susahnya dimana?”, kemungkinan besar mereka akan menjawab,”karena kami harus berfikir”. Nah, inilah memang yang kita inginkan, mengantar murid perlahan-lahan berfikir sebagai basis menulis mereka.

 

Oleh: Iwan Pranoto, Kritikus Pendidikan

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top