Belopa, Lagaligopos.com – Sekitar 60 petani mendatangi Polres Luwu pukul 12.15 Wita siang tadi. Petani cengkeh dari Desa Balambang Tedong, Kecamantan Larompong tersebut datang ke kantor Polres Luwu mengadukan perlakuan oknum polisi di Polsek Larompong yang mereka nilai melakukan tindakan diskriminasi terhadap mereka, Senin (19/8/2013).
Petani cengkeh merasa mendapat perlakuan diskriminasi dan diintimidasi oleh pihak kepolisian terkait kasus sengketa perkebunan cengkeh seluas 40 Ha, yang teletak di Desa Balambang Tedong, Kecamantan Larompong.
Massa petani yang datang langsung disambut kemarahan oleh Polisi karena bertepatan dengan waktu sholat Duhur.
Kapolres Luwu menerima enam perwakilan dari petani dan melakukan pembicaraan selama satu jam lebih.
Dalam pertemuan tersebut, masyarakat mengutarakan poin-poin tuntutan mereka kepada Kapolres Luwu. Poin-poin tuntutan masyarakat sebagai berikut:
- Mendesak pencopotan Kapolsek Larompong dan Kasat Reskrim Polres Luwu
- Mendesak Kapolres agar turuntangan langsung memimpin perkara tersebut
- Mendesak Polres Luwuagar menegakkan hukum dengan tidak melanggar hukum
- Mendesak agar Polres Luwu dalam menangani perkara tidak diskriminasi dan tidak melakukan intimidasi
- Mendesak Polres Luwu tidak tebang pilih dalam menangani perkara
Setelah pertemuan antara perwakilan petani dengan Kapolres, Kapolres Luwu berjanji akan menindak lanjuti pengaduan warga tersebut.
“Kita akan menindak lanjuti pelaporan dari Pak Raddase dan Ibu Nurpida. Sementara untuk kasus Kapolsek Larompong, saya belum mau masuk ke hal itu, krn saya belum menjadi Kapolres Luwu saat itu,” kata Kapolres Luwu.
Setelah petani bergerak membubarkan diri, Pak Wahid, salah seorang petani yang sempat memberi keterangan kepada Lagaligopos mengatakan, “Masalah tanah keluarga kami ini sudah berlangsung dua tahun lebih, tapi tak pernah mendapat kejelasan. Sementara itu, Ibu Nurpida tetap bebas mengambil cengkeh kami setiap musim berbuah. Kami bisa saja menyelesaikan masalah ini dengan pertumpahan darah jika kami mau, karena selama ini kami melihat polisi tidak adil pada kami. Pernah kami naik ke atas (lokasi Kebuh sengketa) untuk melihat cengkeh tapi kami malah diusir dengan dibunyikan tembakan oleh polisi,” bapak ini.
Dari data-data temuan Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kabupaten Luwu, di tambah dengan hasil wawancara Lagaligopos dengan banyak pihak terkait, kasus Bapak Raddasi (si pemilik tanah pusaka peninggalan Nenek Nampa) yang di klaim oleh Ibu Nurpida, sudah pernah di proses di Polres Luwu tanggal 26 Agustus 2010 silam, dengan Amar Putusan saat itu “Membebaskan Raddasi dari segala Tuntutan Hukum”.
Tampaknya Ibu Nurpida belum puas dengan itu, ia mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Palopo. Pihak pengadilan dalam putusannya menolak seluruh gugatan dan memenangkan tergugat (Bapak Raddasi). Ini berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Palopo, tertanggal 13 September 2011 silam, dengan Nomor 6/PDT.G/2011/PN.Plp.
Namun, setelah melalui dua proses tahapan hukum diatas, masih saja terjadi sengketa dan perselisihan dilapangan.
Malah, Hannase (anak Bapak Raddasi) pernah dipanggil paksa dan rumahnya dikepung oleh Polisi berdasarkan surat perintah dari Kepala Satuan Reserse Kriminal (Abdul Muttalib), Hannase mengaku diperlakukan seperti teroris padahal statusnya hanya sebagai saksi dalam kasus ini. Dan surat panggilan kedua terhadap Hannase hanya berjarak satu hari dengan surat panggilan pertama.
Fakta-fakta lain menujukkan, Laporan yang disampaikan oleh Bapak Raddasi melalui Kepolisian Resort Larompong tidak ditindak lanjuti, sedangkan laporan dari pihak Ibu Nurpida ditindak lanjuti.
Yang membuat para petani semakin geram ketika pihak Kepolisian Resort Belopa masih mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan terhadap Hannase (anak Bapak Raddasi) dengan tuduhan Pencurian padahal dia cuma mengelolah kebun sendiri. (AC)