Lagaligopos.com – Dunia Mahasiswa adalah sebuah ruang yang tidak pernah lepas dari sepak terjang konteks perjuangan dan pergerakan. Ya. Oleh karena, mahasiswa adalah salah satu tokoh penggerak motor perjuangan dan perubahan negeri khatulistiwa ini.
Meninjau opini dan fakta yang berkembang saat ini, Ruslan (dalam artikel pragmatisme atau idealisme) menyebutkan bahwa gerakan mahasiswa mengalami luka dan kekerisisan yang mendalam. Gerakan mahasiswa telah kehilangan taring dan kewibawaannya. Hal ini dibuktikan dengan fakta mengenai aksi mahasiswa yang senantiasa berkoar-koar menyuarakan dan meneriakan dengan lantang segala tuntutan. Namun sayangnya, sekali lagi, teori tak sejalan dengan praktik. Apa yang diteriakkan dan dituntut sering kali berseberangan dengan apa yang telah dan akan dilakukannya. Padahal bila ditinjau lebih bijak, hal semacam ini tidak perlu terjadi, seandainya mahasiswa mengetahui akan kekonsistenan untuk berjuang menuju perbaikan dengan cara yang jujur dan menyadari tujuan sebenarnya dari makna yang disuarakan.
Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia, di sebutkan bahwa Idealisme (idealism) adalah sebuah bentuk penjelmaan norma-norma dasar yang bersifat luhur, dalam prinsip-prinsip dasar yang dipegang seorang manusia. Dari sini, jelaslah bahwa idealisme tidak terikat dengan oleh variabel waktu, akan tetapi di dapatkan secara kontinyu lewat interaksi kita dengan lingkungan.
Jika pengertian ini dibawa ke dalam konteks mahasiswa, maka kita bisa napak tilas perjalanan salah seorang tokoh mahasiswa dahulu, yang sangat setia mempertahankan segala idealismenya.Soe Hok Gie, pemuda WNI keturunan Tionghoa. Seperti pernah diungkapkannya, “…lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan…!”. ataukah tokoh yang bernama, CheGuevara? Seorang revolusioner yang lebih senang menjelajah pelosok bumi dalam belantara perlawanan kepada kediktatoran, daripada jabatan menteri dari salahsatu rekan perjuangannya, Fidel Castro.
Secara tekstual, idealisme bisa berwujud pada filosofi dan ideologi gerakan yang telah dirumuskan. dan secara kontekstual, idealisme adalah konsistensi seorangaktivis pada nilai yang melekat erat pada gerakan tersebut. Praktik tidakdibasiskan pada pertimbangan “diri-sendiri” saja. Ada sesuatu yang mendeterminasi tindakan manusia. Hal ituadalah nilai, moralitas, agama, dan idealisme yang berasal dari konstruksigagasan manusia.
Ketika berbicara mengenai idealisme hal ini pun dapat kita bandingkan bila di sisi lain berbicara mengenai “pragmatisme”. Sebab dua aspek ini dianggap dikotomi. Pragmatisme sendiri memiliki porsi dalam kajian-kajian filsafat barat. Wikipedia, sebuah ensiklopedi online terbuka, mendefinisikannya sebagai berikut, “The pragmatistproceeds from the basic premise that the human capability of theorizing isintegral to intelligent practice. Theory and practice are not separate spheres;rather, theories and distinctions are tools or maps for finding our way in theworld“. Artinya, pragmatisme -dalam kacamata filsafat- menitikberatkan analisa pada tindakan manusia. Sebagai turunan dari materialisme dan empirisisme yang melihat kebenaran pada aspek material (nyata), pragmatis mememandang bahwa teori pada dasarnya adalah alat untuk memenuhi tujuan hidupmanusia di dunia. Aspek gagasan belum bersifat nyata jika tidak diaplikasikan dalam tindakan; tindakan itulah yang terpenting, kurang mempertimbangkan teoritisnya.
Pun fenomena pragmatis telah menjadi suatu ironi dalamsebuah fakta sosial. Hal ini tergambarkan dalam sebuah ilustrasi nyata yang dipaparkan oleh Qunawi dalam artikelnya “Mahasiswa di tengah-tengah Pragmatisme Zalim”, bahwa pergerakan mahasiswayang akhir-akhir ini sudah tidak lagi terasakan idealismenya dalam melakukanpergerakan setulus hati. Idealisme mahasiswa, kini dapat dilunturkan karena iming-iming materi dari pihak yang seharusnya kita “dobrak”, sungguh memperihatinkan melihat hal tersebut, mahasiswa yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengkritisi persoalan-persoalan bangsa ini, justru malah berselingkuh denganpihak-pihak yang mempunyai kepentingan di dalamnya. Hal ini bukan berarti mengeneralisirkan semua mahasiswa karena di sisi lain, masih banyak mahasiswa yang melakukan pergerakannya dengan sepenuh hati demi masyarakat.
Kini banyak aksi yang biasa disebut sebagai “aksi tunggangan”, aksi ini hanya untuk memuluskan sebuah kepentingan sekelompok orang dalam mencapai suatu tujuan,yang belum tentu diketahui maksud dan tujuan utama dari aksi tersebut. Ini merupakan salah satu contoh bagaimana mahasiswa dalam melakukan pergerakan dikarenakan materi, bukan lagi karena ghiroh-ghiroh mahasiswanya. Sehingga muncul pernyataan, lebih baik melakukanaksi dengan massa yang berjumlah 30 samapi 50 orang tapi mereka paham dengan apayang mereka perjuangkan, daripada massa banyak namun tak tahu apa-apa. Darisisi ini kita dapat melihat betapa urgennya meneguhkan idealisme itu sendiri.
Ada dua hal yangmerupakan hakikat dari tindakan idealisme seseorang : Pertama,sejauh mana tindakan tersebut sesuai dengan basis idealisme tekstual yang dirumuskan oleh sebagai basis idealismenya. Kedua, sejauh mana tindakan tersebut bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya. Dua hal ini penting untuk menghindarkan seseorang pada pola pikir pragmatis.
Adalah suatu hal yang keliru jika kita membuat paradoks antara mahasiswa “aktivis” dan mahasiswa”non-aktivis”. Dikotomi ini tidak benar jika parameternya adalah idealis dan pragmatis. Idealisme tidak harus disimbolkan pada aktivisme. Ia adalah tindakan seseorang yang berpijak pada nilai dan kemanfaatan bagi lingkungan dan masyarakat. Hal ini bukan pula berarti menginterpensi pragmatisme sebab kekuatan memegang idealisme itu tidak selamanya tergenggam secara kaku, dikarenakan oleh hadirnya fleksibilitas. Tetapi, moral imperatif kategoris yang berbasis pada nilai kebaikan, dan bukan keuntungan, tetaplah harus menjadi pilar utama demi masa depan Ibu Pertiwi yang lebih baik.
Mahasiswa Universitas Hasanuddin