OPINI | Mahalnya sebuah demokrasi di dalam rumah sendiri. Dua perhelatan besar yang dinamakan muktamar digelar Partai Persatuan Pembangunan hanya selisih dua minggu. Pertama, Muktamar VIII PPP versi Romahurmuziy yang digelar di Surabaya, Jawa Timur, 15-18 Oktober 2014. Kedua, Muktamar VIII PPP versi Suryadharma Ali yang digelar di Jakarta, 30 Oktober-2 November 2014.
Kedua muktamar tersebut, selain membarui anggaran dasar/anggaran rumah tangga sesuai kebutuhan terkini partai, juga memilih ketua umum. Dikotomi politik membuat kedua muktamar harus menambahkan satu lagi agenda muktamar, yakni arah keberpihakan politik antara pilihan ke Koalisi Indonesia Hebat atau Koalisi Merah Putih.
Pada muktamar di Surabaya, Romahurmuziy (Romy) terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PPP. Sementara pada muktamar di Jakarta, Djan Faridz, Menteri Perumahan Rakyat era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sejak awal diunggulkan sebagai calon ketua umum.
Islah hanya slogan
Meski ada dua muktamar, semua muktamar mengusung slogan islah. Muktamar versi Romy menyebut Muktamar Islah, sedangkan muktamar versi kubu SDA mengusung tema ”Islah Nasional untuk Rakyat”. Realitasnya, islah yang sesungguhnya tak satu pun terjadi. Alhasil, satu rumah, dua pemimpin. Itulah PPP. ”Ini periode terberat memimpin PPP,” kata Suryadharma kepada Kompas, dalam sebuah perjalanan, dua pekan lalu.
Tak hanya mengusung tema islah, dari kedua muktamar itu, baik di ruangan maupun luar tempat kegiatan muktamar, sebutan bahwa PPP adalah ”Rumah Besar Umat Islam” juga tertera di beberapa spanduk.
Kini, publik menyaksikan ”Rumah Besar” yang terkoyak oleh ulah elite partainya sendiri. Baik Suryadharma maupun Romy tidak ada yang memilih jalan islah.
Sebaliknya, masing-masing saling menuding satu sama lain. Di satu sisi, Suryadharma menyebutkan pelanggaran-pelanggaran kepartaian yang dilakukan Romy. Di lain sisi, Romy pun membeberkan alasan terberat yang mencoreng muka PPP akibat status SDA sebagai tersangka kasus korupsi penyelenggaraan ibadah haji serta perilaku SDA dalam menentukan koalisi dan berbagai kebijakan sepihak SDA.
Dampaknya, kepemimpinan ganda ini membuat kader dan simpatisan partai menghadapi dilema. Kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro, Jakarta, yang tengah dibangun, juga berpotensi dipersengketakan. Kubu SDA merasa kantor yang kini dibangun Djan Faridz itu milik mereka. Tak mudah Romahurmuziy untuk mengadakan rapat di kantor itu.
Maka, sebelum konflik berlanjut, mungkin sudah saatnya kedua ketua umum itu introspeksi diri. Haruskah rumah besar umatnya betul-betul terkoyak?
Oleh: Osa Triyatna Sumber: KompasCetak