OPINI

Santa

OPINI | Semuanya diawali dengan imajinasi dan keinginan bergembira. Santo Nikolas pun jadi Sinterklas dan jadi Santa Klaus. Nun di benua yang dingin, legenda tentang seorang suci di abad ke-4 berkembang jadi tradisi yang tak jelas lagi asal-usul dan unsur-unsurnya. Ada bekas kepercayaan orang Jerman sebelum Kristen tentang Dewa Odin, tapi ada juga gambaran yang dibentuk lewat sebuah sajak yang tersiar di abad ke-19 dan kemudian diperkuat sebuah iklan Coca-Cola.

Ia makhluk asing yang tak disebutkan Injil. Ia produk Eropa yang dirakit di Amerika.

“Ia tampak seperti seorang penjaja yang membuka kantong dagangannya,” demikian ia dideskripsikan dalam sajak yang ditulis Clement Moore menjelang Natal 1822. “Pipinya merona seperti mawar, hidungnya seperti sebutir buah ceri, mulut kecilnya yang lucu melengkung seperti busur, dan perutnya kecil bulat, terguncang-guncang bila ia tertawa.”

Moore sebenarnya bukan seorang penyair; ia guru besar theologi di sebuah sekolah tinggi Kristen di New York. Sajak itu ditulisnya untuk dibaca di lingkungan keluarganya sendiri di malam Natal. Tak disangkanya profil manusia ajaib yang dikhayalkannya itu (yang ketika itu masih disebut “St. Nicholas”) kemudian menyebar dan merasuk ke dalam hidup orang Amerika.

Mungkin di negeri Protestan itu tersirat niat untuk menampilkan seorang santo yang lain dari yang diproyeksikan Gereja Katolik: orang “suci” ala Amerika ini gembil dan gendut.

Mungkin ada sebab lain: St. Nicholas jadi Santa Klaus yang kocak, ramah, dan pemurah karena orang-orang ”dimulai di Belanda” menghendaki sejenak kegembiraan. Mereka tak ingin terus-menerus takluk dipelototi para rohaniwan Calvinis yang mengharamkan sukacita lahiriah.

Atau mungkin sebab lain: di New York pada dua dasawarsa pertama abad ke-19 itu, ketika kapitalisme tumbuh dan bank-bank besar mulai didirikan, ada kebutuhan membuat keajaiban akrab kembali. Maka berkembanglah imajinasi tentang seseorang yang datang malam-malam dari negeri misteri dan masuk ke rumah diam-diam melalui cerobong asap. Ia tak menakutkan. Sekilas tampak sebagai seorang penjaja, ia sebenarnya tak berjualan apa-apa; ia malah membagi-bagikan mainan gratis.

Tapi jika “adat” itu dianggap sebagai subversi terhadap masyarakat yang dikuasai jual-beli, “perlawanan” itu tak bisa bertahan. Dengan segera kapitalisme menangkap dan menyulap tokoh dongeng ini.

Konon kostumnya yang merah-putih itu berasal dari penampilannya dalam 

serangkaian iklan Coca-Cola tahun 1940-an — meskipun sebenarnya Santa sudah tampil seperti itu dalam ilustrasi yang dibikin Norman Rockwell di sampul majalah The Country Gentlemen pada 1921. Bagaimanapun, modal dan media massa mencetaknya dengan sebuah identitas yang diulang-ulang. Ia dibuat agar mudah dikenali dan diingat sebagaimana lazimnya komoditas. Tanpa kejutan, tanpa ketakjuban.

Dan dengan energi baru Santa Klaus pun menembus pusat-pusat belanja. Ia bagian dari sekularisasi Natal, ketika saat yang disebut dengan syahdu dalam lagu “Malam Sunyi” itu ditarik keluar dari ruang yang takzim dan jadi bagian pasar yang meriah. Natal dan ke-Kristen-an berpisah. Di Jepang yang tak percaya Yesus, misalnya, ketika orang bersuka ria dengan pesta bounenkai(mari-lupakan-ini-tahun) di ujung Desember, satu acara Natal yang menarik dibuat di Roppongi: “Sexy Santa Party”.

Orang-orang Kristen yang alim akan merengut, tentu, melihat hura-hura Santa macam itu yang makin menegaskan pemisahan Natal dari iman. Tapi umumnya kita lupa, orang Protestan sendiri pernah mengharamkan Natal. Ketika mereka menguasai Inggris, pada 1647, Parlemen menyatakan Natal sebagai “festival kepausan”, papal festival, yang tak berdasarkan Alkitab. Di Boston, Amerika, perayaan Natal dilarang selama 20 tahun sejak 1659. Baru di pertengahan abad ke-19 orang Boston terbiasa bilang Merry Christmas. Kini di kota itu bahkan bisa dibaca iklan “Santa Claus for Hire”, menawarkan tenaga-tenaga yang bisa memerankan Santa Klaus buat pesta.

Santa yang disewakan, yang bisa dipertukarkan, dengan segera jadi Santa yang muncul di segala sudut dunia seperti McDonald’s dan Starbucks. Di abad ke-19 Thomas Nast menggambar sosoknya di majalah Harper’s Weekly dengan wajah orang pedalaman yang kasar: ia dikesankan sebagai penghuni Kutub Utara yang belum dijinakkan peradaban. Kini ia lebih necis dan borjuis, bergerak tanpa paspor tanpa visa.

Mungkin sebab itu pemerintah Kanada membuat satu kampanye jenaka: Desember 2008, Santa Klaus diberi status warga negara. Kata menteri urusan kewarganegaraan, Santa “berhak kembali ke Kanada setelah perjalanannya melanglang dunia selesai”.

Apa salahnya jenaka? Santa toh bagian kegembiraan (dan barang dagangan) yang tak perlu pikiran mendalam.

 

Oleh: Goenawan Mohamad
Sumber: Tempo.co Edisi 15 Desember 2014
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top