OPINI, Lagaligopos.com – Semiotika sebenarnya tidak akan pernah bisa mengungkap gestur dan kasus Anas. Semiotika itu ilmu yang basisnya rasio dan materialistik. Ia datang dari Barat. Sementara, kasus Anas adalah kasus dengan tanda-tanda yang tidak rasional.
Cara berbahasa dan bersikap Anas adalah Gaya Anas berpolitik. Gaya politik Anas adalah Gaya orang Jawa yang tidak matang.
Orang Jawa itu, dalam banyak hal, kalau berbicara A maksudnya B, menghantam kiri maksudnya kanan. Jadi, dengan sendirinya ia sudah politis. Sikap Anas sudah politis sejak dari akar kebudayaannya.
Anas sendiri sejak awal memang membawa kasus ini untuk menyerempet nyerempet wilayah itu. Misalnya: dulu ia pernah menyebut istilah “politik para sengkuni”. Sengkuni adalah tokoh pengadu domba dalam dunia wayang.
Jadi, ini memang politik wayang, juga wayang politik. Di samping itu, berkali-kali Anas menunjukkan dirinya sebagai sosok Jawa, misalnya memakai sarung waktu diwawancarai di rumah dan lesehan waktu mengandakan konfrensi pers.
Dalam politik wayang seperti itu, Anas menempatkan dirinya sebagai korban dan dikorbankan oleh Sengkuni—juga menurutnya didzalimi oleh KPK. Dalam posisi itu, ia merasa berhak dan bahkan berkewajiban untuk melawan.
Untuk itu, lantas Anas membuat kisah. Dengan eksplisit ia menyebut kisah tersebut sebagai halaman demi halaman dalam buku. Halaman pertama adalah ketika ia mundur atau diberhentikan sebagai ketua Partai Demokrat.
Strategi Anas berhasil, “penyebut halaman” sedemikian seolah menjadi ancaman bagi lawan politiknya. Anas di atas angin.
Lantas, apa halaman berikutnya? Halaman berikutnya ternyata melenceng dari apa yang dikirakan banyak orang. Ternyata tidak ada ancaman yang dikirakan banyak pihak tersebut dibuktikan. Anas bahkan tidak pernah menyebut nama siapapun—bandingkan dengan Nazarudin. Alih-alih menyebut nama, Anas malah membuat kekuatan politik baru, yakni mendirikan PPI. Dengan ini Anas seolah ingin menciptakan kisah politik atau membawa kasusnya ke ranah politik terus-menerus.
Ketika pada akhirnya Ia ditahan KPK, Anas tidak menyebut itu sebagai halaman keberapa. Ia malah menyebut penahanan tersebut adalah peristiwa paling bersejarah dalam hidupnya. Untuk itu, ia mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak, terutama kepada SBY.
Kalau kita simak dengan akal sehat, ucapan dan sikap Anas itu adalah ciri dari ketidaknormalan. Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa masuk penjara adalah peristiwa paling bersejarah dalam hidup. Ia lantas mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang memasukkannya ke bui. Bagi saya, ini adalah gestur dari orang Jawa atau juga Sunda yang sangat tertekan, terpojok. Orang Sunda mengatakan hal ini dengan istilah “nyungkun”.
Apakah kita bisa melihat itu dari mimiknya? Tidak. Sebab mimik dan bahasa Anas justru adalah topengnya, tempat di mana ia bersembunyi. Semiotika rasional tidak akan pernah bisa membaca hal ini.
Dari semua apa yang dilakukan Anas sejauh ini, saya pikir, Anas tidak memiliki senjata apa-apa selain bahasanya. Mungkin ia tahu pihak-pihak tertentu terlibat, tapi ia tidak memiliki bukti yang kuat. Posisinya sebagai ketua umum waktu di partai demokrat bisa jadi justru yang membuat ia tidak memiliki data itu. Bolehlah ia menyebut nama, tapi hanya sebatas menyebut atau menyindir, lain tidak. Mungkin inilah yang akan disesali Anas seumur hidupnya, kenapa dia tidak memiliki bukti itu.
Saya yakin, di pengadilan nanti, tidak ada yang signifikan yang dilakukan Anas dalam pembelaannya.
Di atas saya katakan bahwa gaya Anas adalah karakter orang Jawa yang belum matang? Kenapa? Karena ia tidak memiliki satu hal: legowo dan sikap tidak menyesal jika kehilangan. Orang Jawa itu legowo, lila, kelangan ora gegetun.
Pada puncaknya orang Jawa menerima semua kesalahan sebab hidup memang tidak pernah lepas dari dua sisi: jika tidak benar ya salah. Kalau pilihannya sudah salah, yo wis, udah salah kok, ya, diterima saja, ikhlas, nggak ngeyel, nggak dibuat-buat.
Namun demikian, saya berharap Anas dapat menggugurkan analisis ini di pengadilan nanti, meskipun tidak terlalu yakin. Kita tunggu saja!!!
Oleh: Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD ITB