OPINI

Sihir Koruptor

OPINI, Lagaligopos.com – Tak satu pun di antara kita hari ini yang terbebas dari ”sindrom koruptor”! Para koruptor menguras energi, menguasai persepsi, dan menyihir kesadaran kita.

Kita menulis di media, berdialog di televisi, bergunjing di warung, berkomentar di Facebook, membuat olok-olok di kartun atau kaus, semua tentang koruptor. Korupsi dan koruptor seperti ”sihir” yang menebar pesona dan fetisisme.

”Sihir koruptor” bukan tentang koruptor sebagai individu, melainkan totalitas tanda dan gejala simbolis tentang mereka yang ”menyihir” kita di negeri korup ini. Para koruptor menjadi ”kekuatan simbol” dan ”penanda utama” dari ”pabrik makna” media karena nilai tontonan yang tinggi. Koruptor menjadi ”bintang” dan ”selebritas” dalam wacana kejahatan. Ia memiliki signifikasi ganda: penanda ”kejahatan” sekaligus penanda ”lembaga” mereka (partai, departemen) yang ”kontroversial”.

Tersangka koruptor, menjadi kekuatan ”sihir” karena mereka ”anak zaman” generasi korup, demi glamor gaya hidup. Dalam pengaruh ”sihir koruptor”, ”virus korupsi” menular, menyebar, berkembang biak, dan beranak pinak lintas generasi. Aktor korup sudah menjadi ”aliran”, bahkan ”trendsetter”. Ia mampu menciptakan ”tren” sehingga muncul ”Edisi koruptor berseri”. Koruptor tak lagi individu. Ia adalah simbol Zeitgeist.

Penanda besar

Telah berjuta ucapan, tulisan, dan tayangan mengisahkan koruptor. Dalam kisah itu, tersangka korupsi, seperti Gayus, Nazaruddin, Ratu Atut, Akil Mochtar, hingga Anas Urbaningrum menjadi penanda utama, acuan, model, dan paradigma dalam wacana korupsi. Ia menjadi ukuran, barometer, atau parameter dalam menilai tindak korupsi. Gayus, Nazaruddin, Ratu Atut, Akil Mochtar, hingga Anas Urbaningrum adalah ”Penanda Besar” (Master Signifier), yaitu ”otoritas atau sumber makna tertinggi” pada tataran simbolis (Zizek, Violence, 2003). Inilah ”sihir koruptor”.

”Sihir koruptor” memproduksi ”wacana” (discourse), yaitu ucapan, tulisan, rekaman, diskusi, perdebatan, talk show, dan tontonan tentang mereka. Koruptor jadi ”wacana akademis”: analisis, kritik, dan sintesis; ”wacana politik”: cacian, sumpah serapah, cercaan, makian; ”wacana estetis”: olok-olok, kelucuan, parodi. Bentuk wajah, gesture, gaya pakaian, gaya rambut, aksesori, dan bahasa tubuh figur koruptor kini jadi domain publik, menjadi trendsetter tentang ”citra koruptor”.

”Sihir koruptor” membangun pula ”narasi”, yaitu kisah tentang diri, kasus, nasib para koruptor yang kita nantikan dari pagi, siang, hingga malam hari. Kita menjadi ”penikmat” kisah koruptor. Narasi tentang koruptor seakan-akan tak habis-habisnya dikisahkan dan kita setia menantinya. Selalu lahir ”tokoh-tokoh” baru: Gayus, Nazaruddin, Ratu Atut, Akil Mochtar, hingga Anas Urbaningrum, dan seterusnya. Karena itu, narasi koruptor adalah ”Narasi Besar” (Grand Narrative) karena ia ”Penanda Besar” kejahatan.

”Sihir koruptor” adalah himpunan ”kekuatan simbol” (symbolic power), yaitu kekuatan ”memanipulasi” realitas melalui representasi media, yang membuat orang percaya, mengakui, dan menerimanya sebagai ”kebenaran”. Koruptor memiliki ”nilai tukar” (currency) dalam sistem pertukaran simbol yang dikejar-kejar media dan ditunggu-tunggu publik (Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1991). Figur seperti Gayus misalnya menjadi simbol ”rekening gendut”, ”penggelapan pajak”, dan ”pegawai negeri korup”.

”Sihir koruptor” juga melibatkan ”kecerdasan semiotik” (semiotic intelligence), yaitu kecerdasan memanipulasi dan mengonstruksi citra dan makna untuk mendistorsi informasi dan realitas. Sebagai kekuatan ”sihir”, kekuatan semiotik macam ini juga diperlihatkan oleh para simulacreur korupsi: Gayus, Nazaruddin, Ratu Atut, Akil Mochtar, hingga Anas Urbaningrum. Kecerdasan semiotik menjadi senjata ampuh para koruptor untuk ”menyihir” dan ”memanipulasi” kesadaran kita.

Beberapa koruptor memiliki ”karisma” layaknya Soekarno, Nasser, atau Khomeini yang dapat ”menyihir” kesadaran publik meskipun dengan cara berbeda. Karisma dapat dikonversikan menjadi ”kekuatan” yang dapat membuat orang tunduk pada kemauannya. Karisma figur seperti Gayus tidak terletak pada kekuatan retorika, aura wajah, atau daya mistis, tetapi pada kekuatan ”tanda”, kekuatan memanipulasi tanda untuk memerdaya pikiran dan kesadaran publik—the semiotic power.

Sihir simulasi

Telah berjuta cerita dikisahkan tentang kecerdasan para koruptor yang lihai membuat kamuflase untuk mereduksi fakta, mendistorsi informasi, dan memalsukan realitas: berpura-pura sakit; berobat ke luar negeri; berkilah tak pernah menerima uang; seakan-akan lupa; seakan-akan tak mengenal suara; memakai rambut palsu, paspor palsu, gantung saya di monas, mengaku tak punya Blackberry, dan seterusnya. Beginilah cara koruptor ”menyihir” kesadaran kita—the precision of simulacra.

Para koruptor memiliki ”kecerdasan jahat” (evil intelligence), yaitu kecerdasan merangkai tanda, mengukir citra, membuat alibi, menciptakan kamuflase, merekayasa simulasi, sebagai cara menyihir publik dan mengubur kejahatan. Mereka hendak mengaburkan batas-batas kebaikan/kejahatan, moral/amoral, keadilan/ketakadilan. Mereka pandai menciptakan ”hiper-realitas kejahatan”, yaitu citra kejahatan yang ”melampaui” realitas kejahatan sesungguhnya (Baudrillard, The Intelligence of Evil, 2005).

Akan tetapi, kini rahasia ”kecerdasan jahat” para koruptor mulai terbuka. Kejahatan mereka mulai terbaca, kesaktian mereka mulai pudar, sihir-sihir mereka mulai sirna. Tersangka seperti Gayus tengah diadili dan mungkin akan dihukum berat, bahkan ”dimiskinkan”. Gayus boleh dipenjara atau disengsarakan, tetapi ”sihir simbolis” yang dibawanya akan tetap hidup karena ia adalah ”Penanda Besar”. Gayus adalah simbol ”rekening gendut” sekaligus simbol ”orang pajak” yang sudah terpatri di kesadaran publik.

Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) ingin membuat ”penjarakan” dengan Gayus melalui strategi pencitraan berbasis ”oposisi biner” (binary opposition). Di satu sisi, Gayus dicitrakan sebagai orang pajak ”menyimpang”, ”oknum”, ”ekses”; di sisi lain, Ditjen Pajak dicitrakan sebagai lembaga ”bersih”, ”jujur”, ”transparan”, dan ”tepercaya”. Maka, lembaga ini sangat percaya diri menggunakan slogan ”Apa Kata Dunia?” untuk mengingatkan para penunggak pajak.

Ini strategi pencitraan kontraproduktif karena citra ”Ditjen Pajak” sudah sangat identik dengan citra ”Gayus”: ”Gayus adalah Ditjen Pajak”. Disimpulkan, Ditjen Pajak adalah sarang para ”koruptor pajak”. Konotasi publik ini tak bisa disangkal. Karena itu, slogan ”Apa Kata Dunia” di mata publik sudah menjadi penanda hampa yang menjadi sasaran olok-olok: ”Hari Gini Gak Bayar Pajak, Apa Kata Gayus?”

Ditjen Pajak—dan lembaga-lembaga lain—dihadapkan pada tugas berat ”pencitraan tandingan” untuk menghapus ”citra Gayus” atau citra ”rekening gendut” yang melekat pada lembaga itu. Meskipun tugas memerangi korupsi bukan sekadar persoalan citra, pencitraan tandingan itu kini jadi keniscayaan. Sebab, yang dihadapi tak lagi Gayus sebagai individu, tetapi sebagai kekuatan ”sihir”. Lembaga perpajakan menjadi bagian ”sindrom korupsi pajak” yang mengancam citra dan eksistensinya di masa depan, termasuk juga lembaga-lembaga tinggi lainnya.

 

Oleh: Yasraf Amir Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top