OPINI

Subsidi Parpol dan Ujian Politik

OPINI | Wacana pendanaan partai politik oleh negara dari APBN yang digagas kembali oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menarik untuk dicermati. Dari segi tujuan, dana Rp 1 triliun per tahun bagi setiap parpol sesuai perolehan suara saat pemilu diharapkan akan mengikis budaya korupsi yang selama ini bersarang di tubuh parpol.

Diketahui bersama, melambungnya biaya demokrasi penyebab utama maraknya korupsi politik. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka untuk memilih anggota legislatif dan sistem pemilu dua putaran untuk memilih pejabat eksekutif melipatgandakan ongkos politik.

Belum lagi jika ditambah biaya yang harus dikeluarkan kandidat untuk mendapatkan ”tiket” pencalonan dari parpol, menyewa konsultan politik, kampanye lapangan, belanja iklan, atau bahkan ”memainkan” politik uang. Banyaknya pejabat atau politikus yang terjerat kasus korupsi jadi penegas bahwa sebagian dana yang dikumpulkan itu melalui cara-cara ilegal: korupsi.

Adam Przeworski (2007) melihat, hal yang luput dari perhatian dalam demokrasi adalah akses dan penggunaan dana berpolitik. Ini terlihat dari belum transparannya parpol dalam memberikan laporan keuangan dan sumber keuangan mereka. Dana-dana gelap yang mengalir ke parpol masih sulit untuk diverifikasi.

Maka, prinsip reformasi dan modernisasi parpol menghendaki agar pengelolaan keuangan parpol berlangsung secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga mudah diakses dan dievaluasi (audit) oleh siapa pun. Itu bisa dibuktikan jika parpol berpihak pada kepentingan publik.

Hal penting lain yang perlu dipertimbangkan adalah peran politik oposisi. Demokrasi adalah cara menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Keseimbangan demokrasi ditentukan oleh hadirnya kekuatan politik oposisi untuk menjalankan fungsi pengawasan dan penyeimbang terhadap pemerintah, mendorong kompetisi politik dan meningkatkan efektivitas kebijakan pengelolaan negara. Absennya politik oposisi oleh parpol di luar pemerintah akan menjadi ancaman bagi pelembagaan demokrasi.

Konsolidasi demokrasi tidak akan pernah berakhir, sebaliknya yang justru akan terus berlanjut adalah kerancuan, anomali, dan kekisruhan politik. Dana parpol dari negara merupakan ujian politik bagi parpol oposisi. Sebab, merujuk Richard Katz dan Peter Mair (1994), suntikan dana dari negara akan jadi ”candu” yang bisa mengubah watak politik parpol.

Parpol sebagai infrastruktur demokrasi akan kian mendekat dan bergantung pada negara untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka ketimbang basis sosial pendukungnya. Parpol akan berpaling menjauh dari rakyat.

Jika semua parpol bergantung pada sumber dana yang sama (negara), perlahan mereka akan jadi satu kelompok ”kartel” dengan kepentingan yang sama: mendapatkan dana dari negara.

Parpol yang oportunistis akan bersikap permisif, berlawanan dengan sistem kepartaian yang kompetitif. Kedekatan hubungan antarparpol sebagai satu kelompok dengan negara membuat fungsi perwakilan yang diemban sesuai kepentingan publik akan dilepaskan demi kelangsungan hidup kolektif mereka sendiri.

Ketika semua parpol terlibat kartelisasi politik, batas antara penguasa dan oposisi jadi kabur. Tidak ada kompetisi politik yang sehat, yang ada adalah bagaimana memaksimalkan keuntungan finansial dari negara. Hasrat berpartai akan bergerak ke lumbung uang negara, meninggalkan adab dan etika politik. Agenda berpartai merujuk ke bantuan dana negara berdalih kemandirian parpol.

Dana parpol dari negara akan mengikis peran politik oposisi, menyandera parpol oposisi dalam memerankan fungsi kontrol, kritik dan evaluasi terhadap pemerintah. Kebijakan apa pun dari pemerintah tidak akan mendapat koreksi yang berarti dan dipastikan akan didukung semua entitas parpol di DPR.

Segala perbedaan pandangan politik, kompetisi politik antara oposisi dengan pemerintah pada akhirnya akan diselesaikan dengan jalan kompromi. Kita tidak akan mendapati hadirnya entitas oposisi yang kuat di lembaga legislatif.

Kajian serius

Padahal, demokrasi akan berjalan efektif manakala tercipta garis demarkasi yang jelas antara pihak pemerintah dan pihak nonpemerintah (oposisi) sehingga akan terbangun mekanisme pengawasan dan fungsi penyeimbang. Selain berperan sebagai kanal suara rakyat yang tidak terakomodasi, oposisi penting untuk melindungi rakyat dari kemungkinan penyimpangan (abuse of power) yang dilakukan oleh pemerintah.

Berpartai politik memang butuh topangan dana. UU menyebut sumber dana parpol yang legal berasal dari iuran anggota, bantuan negara (APBN dan APBD), dan sumbangan yang tidak mengikat.

Kita mengapresiasi gagasan pendanaan parpol oleh negara, tetapi perlu ada kajian serius dari berbagai macam aspek dan dampak yang ditimbulkan. Sebenarnya sudah ada ikhtiar untuk memangkas tingginya biaya politik agar parpol tidak korupsi.

Misalnya, pelaksanaan pilkada serentak, pembuatan regulasi yang ketat untuk menekan biaya kampanye atau belanja iklan, bahkan sudah ada wacana biaya kampanye ditanggung oleh negara. Dalih agar tidak korupsi sebenarnya belum bisa dijadikan justifikasi bagi pemerintah untuk membiayai parpol.

Belum ada riset yang membuktikan pendanaan parpol oleh negara menurunkan angka korupsi politik. Sebaliknya, kita khawatir jika pendanaan parpol itu justru membuat parpol berjamaah ”membunuh” demokrasi dengan membiarkan diri mereka terjerembap ke dalam kartelisasi politik.

Pendanaan parpol adalah pertaruhan, apakah kehendak berpartai politik berkhidmat pada maslahat ataukah justru tersesat dalam permainan penyelewengan arah demokrasi, mengisahkan aib berpartai politik.

 

 

Oleh: Joko Wahyono  ;  Analis pada Studi Politik Program Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga
Sumber: KompasCetak, 01/4/15
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top