MASAMBA, LAGALIGOPOS.COM – Seko merupakan sebuah wilayah yang didiami oleh Masyarakat Adat Seko yang secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Seko Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, dengan luas ± 2.109,19 Km2 (± 210,919 ha), dengan 12 desa beratatus definitif. Penduduknya berjumlah 12.405 orang, terdiri dari 6.269 laki-laki dan 6.244 perempuan. Topografi nya yang sebagian besar berbukit-bukit dengan ketinggian antara 1.113 mdpl sampai dengan 1.485 mdpl.
Wilayah Seko memiliki potensi sumber daya energi dan mineral, terutama biji besi dan emas, yang menjadikan daerah ini sebagai incaran perusahaan pertambangan (besar atau kecil) yang dapat menyebabkan perubahan bentang alam dan kerusakan ekosistem di Dataran Tinggi Tokalekaju ini. Dampak lain, mengancam hajat hidup masyarakat di sekitarnya.
Adanya kebijakan penyederhanaan dan kemudahan perizinan melalui Pelayanan Terpadu Perizinan Satu Pintu (PTSP) berdampak pada cepatnya proses pemberian izin kepada perusahaan pertambangan yang ingin beroperasi. Selain itu, dengan alasan pemasukan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), semakin memperkuat alasan bagi Pemerintah Daerah untuk mempercepat memproses pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perusahaan pertambangan yang ingin berinvestasi.
Sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Luwu Utara masih terus memaksakan agar perusahaan-perusahaan tambang emas dan biji besi yang sudah memiliki izin eksplorasi bisa beroperasi dengan mendapatkan izin eksploitasi, mengabaikan penolakan tegas dari masyarakat selama ini.
Berdasarkan data yang ada, saat ini terdapat 10 perusahaan tambang yang mendapat izin eksplorasi dari Bupati Lutra sejak tahun 2011, dimana 6 diantaranya berlokasi di Kecamatan Seko seluas 121.390,22 hektar (Peta HGU – Hasil Digitasi Peta WIUP) atau berdasarkan data Peta WIUP mencapai 90,937 hektar.
Tidak hanya tambang, di wilayah Seko juga saat ini terdapat izin HGU Perkebunan (PT. Seko Fajar) dan rencana pembangunan PLTA yang akan dibangun oleh PT. Seko Power Prima dan PT. Seko Power Prada.
Penguasaan wilayah yang masuk konsesi/HGU perusahaan tambang dan rencana pembangunan PLTA tersebut secara otomatis akan menghilangkan hak atas wilayah kelola Masyarakat Adat Seko yang nota bene sudah mendapat pengakuan dari Pemkab Luwu Utara melalui SK Bupati.
Menurut Asmar Exwar, Direktur WALHI Sulsel, saat ini pemerintah Provinsi Sulsel seharusnya memprioritaskan perlindungan kawasan-kawasan hutan yang masih tersisa termasuk wilayah adat dan masyarakat adat yang ada di dalamnya. Selain itu, izin-izin baru industri ekstraktif seperti pertambangan seharusnya sudah tidak diberikan lagi.
“Pemprov harusnya fokus memeriksa izin-izin pertambangan yang ada saat ini. Demikian pula halnya dengan pembangunan infrastruktur yang menunjang industri pertambangan seperti PLTA yang juga mengancam wilayah-wilayah masyarakat lokal maupun masyarakat adat.”
Asmar melihat adanya keterkaitan yang erat antara investasi energy dan pertambangan sebagai suatu kesatuan yang sangat berpotensi mengancam kawasan hutan maupun wilayah masyarakat adat.
Menurut Bata Manurung, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, selama ini masyarakat Seko secara umum tidak pernah mendapatkan informasi yang detail dan transparan akan dampak yang akan ditimbulkan jika perusahaan tambang tersebut beroperasi. Bahkan sebelum memperoleh izin eksplorasi, masyarakat sampai saat ini belum pernah mendapatkan pemberitahuan atau dimintai persetujuannya terkait izin eksplorasi tersebut. Warga baru mengetahuinya setelah pihak perusahaan memasang papan pengumuman penyusunan AMDAL.
“Proses konsultasi dan sosialisasi yang dilakukan pemerintah dan perusahaan tidak pernah dilakukan di wilayah dampak, lokasi pembangunan PLTA, sehingga masyarakat tidak mendapatkan informasi yang jelas atas apa yang akan dibangun oleh perusahaan.“
Lanjut Bata, Pemerintah Luwu Utara harusnya lebih menghargai keberadaan masyarakat adat Seko atas hak-hak tanahnya. Apalagi di Lutra sudah ada Perda tentang Keberadaan Masyarakat Adat Seko No.300 tahun 2004 dan SK Bupati No.12 tahun 2004.
“Kedua peraturan itu jelas menenegaskan segala bentuk pembangunan yg masuk ke Seko harus sepengatahuan dan izin dari masyarakat adat Seko.”
Bata menambahkan bahwa dalam mengeluarkan izin eksplorasi kedua peraturan daerah ini seharusnya menjadi landasan hukum atau rujukan atas izin yang sudah dikeluarkan tapi faktanya izin yang dikeluarkan tidak berlandaskan pada peraturan-peraturan ini.
Bata menambahkan bahwa seharusnya pemerintah Lutra mau terbuka kepada masyarakat adat Seko, untuk siapa sebenarnya pembangunan PLTA dengan kapasitas 450 mega watt ini, jauh dari kebutuhan masyarakat setempat.
Perihal adanya klaim dari pemerintah bahwa 85 persen masyarakat Seko telah menerima pembangunan PLTA ini, menurut Bata, informasi itu keliru dan bertentangan dengan fakta yang sebenarnya. “Hal ini bisa diketahui dengan adanya demonstrasi yang dilakukan masyarakat atas kunjungan tersebut sekitar 500 orang selama tiga hari berturut-turut. Dan surat masyarakat adat di tiga wilayah adat ditandantangi oleh 1018 orang, Hoyane, Pohoneang dan Amballong. Di situ juga ada tanda tangan Tobara sebagai pemimpin adat di tiga wilayah adat.”
Beroperasinya perusahaan tambang di Wilayah Seko juga akan menjadi ancaman bagi ekosistem di Dataran Tinggi Tokalekaju dan bencana ekologis bukan hanya di Kabupaten Luwu Utara, akan tetapi juga di tiga provinsi lainnya, yaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara, akibat terjadinya perubahan bentangan alam dan pencemaran sungai-sungai yang berhulu di wilayah Seko. Padahal, air dari sungai Seko ini mengalir ke daerah lain dan menjadi sumber air bagi masyarakat untuk keperluan makan, minum, mencuci dan mandi.
Menurut Sardi Razak, Ketua AMAN Sulsel, dampak yang akan dirasakan masyarakat Seko selain secara sosial ekonomi juga secara budaya. Sumber penghasilan masyarakat yang selama ini berasal dari hutan, sawah, kebun, pengembalaan, dan hasil tangkapan dari sungai-sungai terancam dengan adanya limbah.
“Secara budaya, akan terjadi perubahan tatanan sosial dalam masyarakat dari masyarakat yang mengutamakan kebersamaan dan kegotong-royongan menjadi individualis dan materialistik. Lebih jauh ditakutkan bisa terjadi konflik sosial antar masyarakat karena adanya pro-kontra terhadap keberadaan beragam investasi tersebut. Hal ini akan berdampak pada pudarnya kearifan adat dan budaya Masyarakat Adat Seko.”
Bendungan PLTA di Amballong juga akan menghilangkan sawah produktif masyarakat di Sae seluas 25 Ha, sehingga dikhawatirkan bisa berdampak pada terjadinya krisis pangan di daerah tersebut. Menurut Firmansyah, dari LBH Makassar, terkait adanya intimidasi yang dilakukan aparat pemerintah dan TNI/Polri yang masih berlanjut higgga sekaran, tidak mencerminkan pembangunan atau kebijakan itu pro terhadapt masyarakat, karena diawali dengan proses pelanggaran HAM.
Dengan berbagai kondisi tersebut, Aliansi Seko Menggugat (ASM), aliansi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah NGO di Makassar dan Luwu, antara lain Perkumpulan Wallacea, WALHI Sulsel, LBH Makassar, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, AMAN Sulawesi Selatan, Kontras Sulawesi, Jurnal Celebes, YBS Palopo dan PBHI Sulsel, menyatakan sikap sebagai berikut:
Mendesak kepada Pemprov Sulawesi Selatan dan Pemda Luwu Utara agar meninjau kembali izin pembangunan PLTA yang akan dibangun di Seko.
Mendesak PT Seko Power Prima agar Menghentikan kegiatan survey yang sementara dilakukan di wilayah masyarakat adat Seko
Mendesak aparat Pemda ataupun aparat TNI/Polisi untuk menghentikan segala aktivitas survey yang sementara dlakukan di wilayah adat Seko;
Mendesak Pemprov Sulsel untuk mempertahankan fungsi kawasan hutan dan perlindungan wilayah adat.
Pers Release; Aliansi Seko Menggugat