OPINI | Beberapa watu belakangan ini berbagai tulisan tentang persoalan kultur akademik yang tengah mengarah ke dalam lubang “keambrukan” di berbagai kampus akhir-akhir ini merisaukan kita. Silahkan disimak kembali suara lantang dari tulisan Aquarini, PhD (dosen kajian budaya dan feminisme di Unpad, Bandung) dan Raudlatul Jannah, M.A (dosen Sosiologi dari Unej sekaligus pengurus inti HIPIIS Jatim) dalam rubrik Antitesis beberapa waktu lalu.
Mereka tampak tengah mengingatkan kembali ide dasar dari generasi pertama mazhab Frankfurt, Horkheimer, yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan hanyalah sekedar mitos. Ilmu pengetahuan yang notabene bebas nilai dan objektif justru tidak mampu memberikan solusi emansipatoris atas persoalan kemasyarakatan yang merupakan akibat langsung dari sistem kapitalisme. Idenya ini terinspirasi dari legenda mitologi yunani yang menceritakan tentang Odysseus yang merupakan raja di kerajaan kecil di pulau Ithaca. Ia menjadi tersohor setelah berhasil menaklukkan kota Troy dalam perang Troya. Tapi, dewi Athena (pelindung kota Troy) marah besar karena kuil untuk memujanya juga dihancurkan Odysseus.
Maka, saat perjalanan pulangnya melalui laut, Odysseus dan prajurit perangnya harus berhadapan dengan malapetaka. Salah satunya gempuran para Siren (mahluk gaib yang punya kekuatan menghilangkan kesadaran manusia melalui rayuan maut suara merdunya). Sempat terlena rayuan para perempuan gaib itu, tetapi semangatnya pulang ke kampung halamannya untuk menemui istri dan anak tercintanya lebih besar daripada suara merdu sang Siren.
Sesampainya di kampung halaman, Odysseus telah melihat perubahan besar di sana. Kampungnya sudah berubah total menjadi lebih modern. Keluarganya juga telah tiada karena dilenyapkan oleh kemarahan Dewi Athena. Kebesaran dan ketersohoran Odysseus tidak lagi bermakna di kampungnya. Meskipun di medan perang namanya sangat disegani para lawan-lawannya, tetapi sekembalinya ke kampungnya Ia dianggap bukanlah siapa-siapa. Odysseus putus asa dan Iapun akhirnya hidup merana dengan menjadi peminta-minta di pinggir-pinggir jalan desanya. Inilah suatu analogi dari nasib ilmu pengetahuan di abad pencerahan menurut Horkheimer.
Pertemuan tim litbang KoPi dengan Prof. Mien Rifai secara informal, penuh canda, dan menggugah telah menghasilkan suatu analisis penting tentang kehidupan kaum ilmuwan Indonesia yang umumnya juga mengalami kondisi keterpurukan yang tak kalah hebatnya dari para mahasiswanya. Dalam berbagai hal, institusi pendidikan tinggi secara tanpa sadar telah melakukan “dosa-dosa” dalam kegiatan projek penelitian yang berimbas pada ritual utama kaum ilmuwan sebagai peneliti dan pembimbing mahasiswanya. Ulasan menarik Prof. Mien ini akan disajikan melalui rubrik Antitesis KoPi ke dalam dua tulisan. Silahkan menikmati “khotbah” akademik pertamanya sobat !
Lupa Diri Kaum Ilmuwan
Masalah utama yang dihadapi oleh seorang yang belum memiliki tradisi penelitian mapan adalah mencari dan menemukan tempat khususnya dalam ekosistem keilmuan yang makin hari makin terspesialisasi dan makin dijenuhi pesaing sesama ilmuwannya. Untuk itu, pilihan ranah pemusatan minat yang tepat (karena dilakukan dengan penuh kecermatan) akan memungkinkan seseorang bisa dapat berjaya menjadi sosok terpandang. Keberhasilannya memilih dengan jitu spesialisasi ilmunya akan membuka peluang secara bermakna untuk ikut memicu dan memacu kemajuan pengembangan, pemanfaatan, dan penguasaan ilmu dan/atau teknologi yang diminatinya.
Banyak jalan yang dapat ditempuh untuk memulainya, tetapi yang pertama harus dilakukan adalah upaya untuk betul-betul mengenali diri sendiri dulu. Dengan demikian, seseorang akan dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan lekat dirinya, memahami dan meyakini minat, keinginan serta kemauannya, serta juga meyakini kespesialisan yang bakal dimasuki dan dipilihnya. Penemuan diri ini akan membuka kesempatan bagi dosen, ilmuwan (scientist), pandit (scholar), dan sarjana lain yang belum mapan ‘lahan’ kespesialisannya untuk segera bisa menempati relung (niche) atau posisi fungsi dan perannya yang khas.
Berbekalkan pengenalan diri yang sangat khas ini, maka, suatu pendekatan dan sudut pandang yang berkepribadian khusus akan dapat dikembangkan untuk kemudian dijadikan suatu spesialisasi untuk mencapai tujuan kegiatannya dalam berkiprah guna memajukan ilmu pengetahuan. Pengenalan kepribadian ini dapat dijadikan modal awal untuk menyempitkan ranah pencarian, penemuan, dan pendakuan (claim) tapak untuk berkiprah, khususnya dalam mengidentifikasi masalah, yang merupakan langkah kedua yang harus dilakukannya.
Untuk itu tidak ada pilihan lain kecuali bergegas menyibukkan diri selalu mengajukan pertanyaan, dan bertanya lagi, serta terus ‘cerewet’ bertanya tentang segala sesuatu seputar aspek lingkungan berkekhususan yang terkait dirinya, yang sudah dikenalinya dengan baik. Selain bertanya, perlu pula dicoba mencari penjelasan untuk memenuhi kemelitan (curiosity, atau rasa keingintahuan) yang perlu terus dikembangkannya. Asking questions and seeking explanations merupakan kegiatan yang harus terus dilakukan kapan saja dan di mana saja oleh seseorang atau siapa saja yang berniat menjadi peneliti. Mohon diingat bahwa tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan orang padanya tidak pernah ditakuti oleh seorang profesor.
Tetapi, ia pasti sangat takut kalau sampai tidak mampu lagi mengajukan pertanyaan. Ketidakmampuan bertanya menyatakan ketamatan riwayat dan kiprah seseorang yang merasa dirinya merupakan ilmuwan. Kesibukan mengajukan pertanyaan dan mencari penjelasan ini merupakan langkah awal membantu seseorang mencari, menemukan, dan mengidentifikasi masalah penelitian.
Ironi Penelitian
Sosok peneliti berpengalaman, biasanya selalu memiliki sejumlah masalah penelitian baru yang diturunkanya dari berbagai kegiatan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Kepemilikan sejumlah besar masalah penelitian ini juga harus dipunyai oleh seorang dosen pembimbing sekalipun.
Kemampuan mencari “ilham” dan mendapatkan gagasan serta menemukan masalah penelitian, lalu kemudian mendefinisikan atau membatasinya menjadi suatu usulan ataupun rencana kegiatan penelitian yang layak dikerjakan, mutlak harus ditumbuhkan. Tuntutan ini didasarkan pada kenyataan bahwa teridentifikasikannya persoalan merupakan hal yang amat penting di dalam siklus kegiatan penelitian. Terbatasinya masalah dengan baik menandakan bahwa penelitian sudah 50% terselesaikan.
Masalah besar muncul karena pelbagai macam aral hambatan telah melintang pukang untuk mengganggu kemajuan langkah awal seorang peneliti Indonesia.
Antara lain:
· Kebiasaan untuk memertanyakan segala sesuatunya telah dimatikan pada saat mulai berseminya, karena adat melarang seorang anak kecil––yang mungkin merupakan calon ilmuwan kondang––untuk membuka mulut kalau tidak ditanya oleh orang tuanya lebih dulu.
· Dalam sejarah pendidikannya, ia tidak pernah dilatih memertelakan dengan cermat apa yang dilihatnya serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimatnya sendiri yang jernih, lugas, jelas dan ringkas.
· Seni bertanya tidak berkembang sehingga ketelitian untuk mengamati dan memerinci keteraturan alam sekitarnya tidak tumbuh pula.
· Malahan anak didik umumnya tidak digalakkan untuk memertanyakan pengetahuan yang dipompakan padanya, sebab di Indonesia guru dan dosen––apalagi mahaguru––dimitoskan sebagai dewa yang tahu segala, sehingga dianggap tidak pernah salah.
· Begitu pula di kalangan lembaga penelitian, birokrat atasan sering merasa lebih tahu segala sesuatunya dibandingkan dengan pakar yang kebetulan menjadai anak buah bawahannya.
Apa pun yang terjadi, atau dari mana pun asalnya, setiap masalah penelitian baru ada artinya kalau sudah diidentifikasi atau dideterminasi jati dirinya. Untuk itu, secara jelas perlu ditegaskan batasan dan ruang lingkupnya, tujuan dan sasaran ilmiahnya, serta ekspektasi hasilnya. Kegiatan ini akan memungkinkan terdefinisikannya masalah penelitian itu sebagai suatu satuan kegiatan yang terselesaikan dengan suatu pendekatan dalam suatu jangka waktu yang terkendalikan. Latihan menyediakan dokumen identifikasi projek awal amat membantu seorang calon peneliti untuk menajamkan pendekatan dalam memecahkan masalah.
Amat disayangkan, bahwa untuk itu orang sering ‘diharuskan’ melakukannya secara normatif hanya demi memenuhi suatu formalitas yang umumnya sangat bersifat altruisme birokratis dalam sistem penulisan penelitian. Sebagai akibatnya, rancangan penelitian secara kaku dan panjang lebar sangat penuh klise dalam skema tulisannya. Mulai dari masalah yang dihadapi, lalu diberikannya kalimat perumusan formal persoalannya, dienumerasi pertanyaan penelitian yang diajukan, disodorkannya hipotesis yang sebenarnya tidak selalu diperlukan, diutarakan cakupan yang bakal diliput, dijelaskan tujuan yang ingin dicapai, dipertelakan pendekatan (bahan dan metode) yang dipakai, dan dibeberkannya kegunaan penelitiannya (yang umumnya muluk-muluk) serta dilengkapi dengan saran-saran. Jarang disadari oleh para pengusul penelitian bahwa kalau masalahnya ini, perumusannya memang sudah pasti begini, pertanyaan penelitiannya tentu tidak bisa lain kecuali yang ini, dan cakupan serta tujuannya juga tidak mungkin menyimpang jauh dari sini, dan demikian seterusnya. Ini semua adalah bentuk ironi dalam proses penelitian ilmiah. Yakni, suatu cara berpikir instrumentalisme hasil dari virus-virus positivisme yang akut.
Teridentifikasikannya dan terdefinisikannya masalah penelitian harus diikuti dengan penentuan pendekatan metodologi yang terlaksanakan, agar pemecahannya dapat dilakukan sesuai dengan rancangan. Pada tahap ini segudang persoalan dan hambatan telah menghadang yang umumnya sering berkutat pada seputar belum membudayanya kegiatan penelitian itu, sehingga bermunculanlah rambu-rambu dan penghambat ikutan:
· Kesempitan cakrawala bacaan umumnya melemahkan landasan teori pendekatan yang diinginkan, sehingga menyulitkan penataan kerangka pikir penempatan masalah dalam peta state-of-the-art disiplin ilmu terkait.
· Kekakuan mengikuti buku petunjuk penelitian dapat memajalkan terobosan brilian karena ditakuttakuti oleh keharusan menyusun hipotesis atau menggunakan uji statistika yang mungkin tidak diperlukan, serta pelbagai kendala metodologi lainnya.
· Keterbatasan peralatan memadai, kesiapan garis belakang (termasuk jaminan terus mengepulnya asap dapur), dan penyediaan dana minimum yang mencukupi juga sering menjadi ganjalan yang seakan-akan tak terpecahkan. Padahal, setiap fakultas dan prodi dalam suatu kampus memiliki anggaran khusus untuk penelitian yang jumlahnya sangat memadai dan harusnya dibagi secara proporsional dan terbuka, terutama diperuntukkan bagi para dosen dan peneliti muda.
· Kepiawaian membuat usulan projek untuk mendapatkan hibah yang dipersaingkan menjadi mutlak dikuasai, tetapi pemaksaan akan kemauan bekerja sama dengan pihak yang memiliki sarana penelitian dalam suatu sistem birokrasi pendidikan tinggi seringkali dianggap menjadi faktor penentu keberhasilan melaksanakan kegiatan penelitian yang direncanakan. Padahal, penelitian yang notabene bersifat pribadi dan dilakukan secara serius juga harus dipertimbangkan untuk diapresiasi, baik dalam bentuk dukungan moral dan pendanaan dari lembaga bersangkutan.
· Tidak sedikit juga mereka yang mendapat hibah penelitian harus dibebani pendanaan awal secara pribadi dan direcoki dengan urusan administrasi yang menyiksa diri, sementara dana hibahnya sangat lama dicairkan dengan alasan yang mengada-ngada dan berbelit-belit (yang sangat mungkin kasus umum seperti ini merupakan penampakan dari adanya gejala koruptif dalam institusi pendidikan tinggi).
Sebagai penutup tulisan, berikut ini adalah penggalan kutipan dari ceramah yang saya sampaikan dalam suatu seminar internasional untuk memajukan kegiatan penulisan Flora Malesiana yang diselenggarakan di Bogor pada tahun 2013:
“… As scientists one should be always independent, should not be afraid to defy precedent, and to maintain one’s individuality, and even eccentricity, or idiosyncrasy. As has been repeatedly expounded by old time sages, as a researcher one should never cease asking questions and seeking explanations of everything in one’s surroundings”
Oleh: Mien. A. Rifai Sumber: KoranOpini.com
