Lagaligopos.com – Jauh di masa lalu, seteru politik antara La Domeng (Kahar Muzakkar) dengan kaum bangsawan Luwu (Pihak Istana) bermula. Kritikan Kahar Mudzakkar sebagai wakil dari kaum terpelajar terhadap prilaku pembesar kerajaan Luwu yang cenderung feodal memulai diskursus panjang politik Hegemoni.
Di masa sekarang, seteru dua gerbong itu masih berlangsung, walau dengan pelaku (pemeran) dan gaya yang berbeda. Gerbong Kahar Mudzakkar diperankan oleh keturunan-keturunan Kahar Mudzakkar, sementara Gerbong Bangsawan diperankan oleh Opu atau Andi, sebuah gelar yang sudah kehilangan standar aslinya.
Walaupun, beberapa anak dari Kahar Mudzakkar sendiri sudah diberi gelar Opu, tanpa kita ketahui kualifikasi pelekatan gelar itu sekarang ini. Dan juga, pihak pemeran utama dari keturunan Kerajaan Luwu kini tidak mendapat tempat sama sekali, nyaris fungsi-fungsi mereka dalam masyarakat tidak ada, kecuali ketika ada acara-acara seremonial kerajaan.
Gaya yang diperankan kedua Gerbong pun sudah berbeda, dengan motivasi dan tujuan yang juga berbeda, namun mereka berada diatas panggung yang sama, yaitu panggung politik hegemoni.
Hegemoni dalam pengertiannya yang paling sederhana adalah “Sistem Kuasa” atau “Cara-cara Mendominasi” (Antonio Gramsci: 1991). Untuk pengertian yang lebih luas dari konteks Panggung Politik di Luwu Raya, Hegemoni antara dua gerbong ini sudah berlangsung cukup lama dengan pola Hegemoni yang sangat rumit.
Mekanisme kedua gerbong ini memproduksi Hegemoni bukan hanya melalui persaingan perebutan kekuasaan, tetapi juga beroperasi pada relasi-relasi sosial masyarakat, ide, gagasan, opini, mitos, pendidikan, mesjid dan juga media massa. Ini disebut Gramsci sebagai alat Hegemoni (Hegemony Apparatuses). Alat-alat inilah yang sangat berperan besar dalam mengembangkan dan menyebar luaskan hasrat Hegemoni mereka dalam mendulang penerimaan publik (Publik Consent).
Melalui alat-alat Hegemoni ini, realitas politik di Luwu Raya bergerak melalui mekanisme penciptaan preferensi dan makna-makna dalam benak publik berdasarkan sistem kategori yang sudah terpolarisasi. Banyak keinginan politik micro yang digeneralisir, direduksi, diabaikan, dan dipola sedemikian rupa, sehingga ia hanya dapat mendarat pada salah satu Gerbong diatas.
Kedua Gerbong ini, kita sadari atau tidak, telah memberi dampak terhadap terciptanya beberapa subjek saja, yang kita anggap pantas, yang kita pilih, yang dirinya kita tempatkan sebagai pusat dalam setiap momentum politik pada semua tingkatan.
Dalam fase perkembangan yang lebih canggih dari sebuah Hegemoni, kedua gerbong ini, dalam proses perebutan penerimaan publik, tetap menjadi pemain dan penentu proses dominasi itu sendiri. Sekalipun kita berada dalam sebuah era demokrasi, dimana kita diperlihatkan banyak pilihan-pilhan politik, namun mata kesadaran masyarakat seakan hanya melihat itu-itu saja.
Meskipun dalam fakta meraka buruk, alat-alat hegemoni selalu bekerja memoles mereka agar tampak baik, bahkan dua kali lebih baik. Hegemoni senantiasa membuat kedua gerbong ini lihai bersembunyi dari hal-hal buruk, menghindar dari sebuah pertanyaan mendasar, “apa yang telah mereka lakukan untuk masyarakat selama berkuasa???”
Pada kultur masyarakat Luwu Raya di beberapa tempat yang masih banyak mempercayai takhayul, proses-proses hegemoni berjalan sangat nyaman, nyaris tanpa hambatan. Meskipun kondisi sosial masyarakat sangat buruk, infrastruktur jalannya masih peninggalan belanda, pelayanan publik kacau, korupsi mewabah disemua tingkatan pemerintahan, kerusakan lingkungan dimana-mana, bahaya bencana alam mengancam, namun masyarakat tetap tidak punya pilihan selain “Kahar” dan “Opu”.
Oleh: Rival, Ketua Umum PP PEMILAR