OPINI

Kalau Mau Membantu Masyarakat Seko Jangan Begitu Caranya

OPINI | Ada yang komentar tentang Film Salombengan Seko yang saya dan tim INFIS buat. Bahwa Seko adalah daerah yang sangat jauh tertinggal di Provinsi Sulawesi selatan lantaran minimnya sarana infrastruktur. Pembangunan PLTA di Seko berdasar atas pengelolaan potensi berbasis energi alternatif yang jelas tidak punya imbas besar terhadap lingkungan. Adanya gejolak dengan pembangunan PLTA Seko akibat dari ulah provokasi beberapa LSM yang terindikasi ingin mengeruk keuntungan semata.
——–
Sebenarnya saya sudah malas merespon orang yang komentar atau menanggapi yang beginian. Yang tidak mau baca lebih detil, baca secara menyeluruh dan mencerna situasi di lapangan secara baik. Tapi tidak apa-apalah, saya coba meresponnya malam ini sebelum tidur.

Berikut respon saya. Pembangunan untuk masyarakat yang tinggal di kampung, khususnya kampung-kampung yang masih jauh tertinggal pembanguan infrastrukturnya (jalan, energi, jembatan, pendidikan, kesehatan) dan fasilitas umum lainnya memang sangat diperlukan. Apalagi jika pembangunan tersebut pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Untuk energi misalnya, membangun energi dengan teknologi PLTA.

Tapi apakah pernah dilihat dampak turunan/ikutan dari kebijakan pembangunan tersebut? Yang akan memindahkan masyarakat yang sudah tinggal secara turun temurun di lokasi pembangunan infrastruktur tersebut,  menenggelamkan areal persawahan (yang itu hanya satu-satunya lumbung pangan mereka di kampung) karena wilayahnya berada di pegunungan. Serta membatasi aktivitas sehari-hari mereka dalam bertani ketika areal pembangunan tersebut harus steril dari aktivitas masyarakat. Apalagi kehidupan masyarakat adat disana sudah sejak dulu ada disitu. Jauh dari generasi kita lahir, mereka sudah ada. Terlebih lagi keberadaan mereka sudah diakui oleh pemerintah melalui Perda dan SK Bupati. Juga sudah ada aturan diatasnya yaitu UU yang mengakui hak masyarakat adat atas wilayahnya.

Jika pilihannya adalah yang disebutkan diatas (menenggelamkan sawah, merelokasi ataupun mensterilkan areal pembangunan), apakah pernah ada tawaran solusinya. Belum lagi ada dugaan bahwa kebutuhan listrik ini sebenarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan investasi tambang yang akan datang di Luwu Utara khususnya di Wilayah Seko. Apakah mau mengulangi kejadian-kejadian sebelumnya yang sudah terjadi di wilayah lain? masyarakat adatnya atau masyarakat lokal harus kembali tergusur dari wilayah yang sejak dulu mereka tempati demi sebuah investasi tambang atau industri ekstraktif lainnya?

Proses pembangunan ini dari awal tidak pernah transparan. PADIATAPA atau Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan sebuah proyek tidak pernah dilakukan. Jadi merupakan hal yang wajar ada penolakan di sana-sini. Wong informasinya simpang siur dan hanya ada di level pemerintah (dari bupati sampai di kepala desa). Semoga yang kasih komentar ini tidak malas untuk membaca perjalanan investasi di Seko. Mulai dari perusahaan kayu, perkebunan hingga pertambangan. Pengalaman dari perusahaan kayu, tidak ada keuntungan yang diterima. Malah terjadi banjir dan hutan mereka habis dibabat. Semoga juga tidak malas membaca pengalaman di daerah lain bagaimana masyarakatnya banyak yang tergusur dan berujung konflik akibat konspirasi pejabat daerah dengan pelaku investasi. Yang tidak memperhatikan keberadaan masyarakat adat/lokalnya.

Jika memang murni ingin membantu Seko, terutama dalam memenuhi kebutuhan energi listrik. Masih ada alternatif energi ramah lingkungan yang bisa dibangun di sana. Energi tenaga surya dan energi angin sangat potensial. Berada didaerah pegunungan dan sinar matahari penuh karena memiliki padang savana yang sangat luas.

Seperti apa energi matahari dan energi angin? Apakah sudah banyak yang membuatnya. Semoga tidak malas juga untuk membaca tentang energi terbarukan yang bisa memberi cahaya satu kecamatan dimalam hari. Apalagi hanya satu kampung!

Kalau mau membantu masyarakat Seko untuk keluar dari ketertinggalannya. Cukup bangun saja jalan. Yang sejak kabupaten Luwu Utara dibentuk tidak pernah dibangun jalannya. Padahal panjangnya hanya 126 km. Agar mereka bisa menjual hasil-hasil pertanian mereka yang melimpah. Padi, kopi dan kakau dari Seko tidak diragukan lagi kualitasnya. Menyiapkan pasar dan kestabilan harga dari hasil pertaniannya. Dengan begitu, pemerintah tidak perlu repot membangun PLTA. Bisa saja mereka membangun energi listrik secara mandiri.

Dari Tim INFIS yang diposting oleh Een Irawan Putra di akun Facebook-nya

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top