OPINI

Keberlanjutan Ilmu Pengetahuan

OPINI | Pengembangan ilmu pengetahuan pada masa mendatang sama pentingnya dengan upaya pengembangannya pada masa sekarang. Terjaminnya peningkatan penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada generasi mendatang tentu harus dirancang strateginya hari ini. Ini juga yang akan menjamin kuatnya ekonomi bangsa pada hari esok.

Namun, kecenderungan keadaan penguasaan ilmu pengetahuan oleh anak-anak kita sejak lebih dari 14 tahun lalu belum menampakkan peningkatan berarti. Walau belum tentu benar mutlak dan pasti mengandung galat, berdasarkan tes terstandardisasi internasional, kenyataannya anak-anak kita berada di peringkat hampir terbawah. Misalnya keadaan ini dapat disimak dari tes internasional Programme for International Student Assessment (PISA) atau Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) sejak 2000.

Untuk terjaminnya keberlanjutan pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia pada masa mendatang butuh solusi yang harus dipikirkan hari ini. Walau mungkin terlambat, kebijakan dan peta rencana jangka panjang (30 tahun) bagi generasi mendatang perlu disiapkan sekarang.

Citra

Pengertian bahwa kekuatan ekonomi negara pada masa sekarang dan mendatang bergantung pada tingkat kepandaian para pemudi-pemudanya terkait penguasaan ilmu pengetahuan umumnya sudah disadari. Artinya, orang kebanyakan telah meyakini pengertian bahwa ilmu pengetahuan berguna serta dibutuhkan dalam pembangunan negara. Hal ini juga sudah jamak ditekankan banyak pemimpin dan politisi dalam berbagai pernyataan.

Malah, karena penekanan pada sisi kebergunaan ini sering berlebihan dan tak utuh, masyarakat luas kerap berpandangan bahwa tujuan belajar ilmu pengetahuan untuk kebergunaannya semata. Kenyataannya sekarang, anak belajar ilmu pengetahuan terbatas karena terpaksa. Alasan murid berilmu-pengetahuan menjadi sekadar karena akan diujikan. Akibatnya, kesungguhan belajar atau penguasaan ilmu pengetahuan direduksi menjadi sekadar alasan karier dan ekonomi.

Lebih merisaukan, pemahaman para politisi pada teori belajar dan pengalaman berilmu-pengetahuan mungkin kurang cukup. Akibatnya, beberapa pernyataan pemimpin dan politisi terkait pengembangan ilmu pengetahuan ini kerap kontraproduktif.

Pernyataan mereka malah kerap menempatkan murid dan anak sebagai pekerja atau hambanya, bukan sebagai subjek pengembang ilmu pengetahuan. Pernyataan di media kerap tak bijak dan tak berpihak pada pengembangan kepribadian anak, seperti “Pilih mana ada 100 orang stres atau 10 juta anak bodoh?” Aromanya macho, keras, dan jauh dari suasana keibuan yang sejatinya mengayomi, mengajak, merangkul, dan melibatkan. Akibatnya, tertanam citra di anak bahwa belajar ilmu pengetahuan merupakan keharusan dan beban yang dipikul menyusahkan, jauh dari citra kenikmatan.

Kecuali itu, seperti pernyataan di atas, kebijakan terkait pendidikan dan ilmu pengetahuan kerap hanya berdasarkan mitos yang belum tentu benar. Hampir tak pernah melibatkan teori belajar. Ke depan, perlu penyadaran bahwa kepandaian utuh anak akan efektif tercapai hanya jika menyala gairah belajar dari dorongan diri, bukan pemaksaan dari luar. Anak-anak sejatinya memandang belajar ilmu pengetahuan sebagai berkat, bukan beban. Mendengar kata sains dan matematika sejatinya membuat mata anak berbinar-binar, bukan helaan napas panjang.

Keberhasilan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan tak cukup disokong pekerja terampil semata, tetapi harus digerakkan oleh anak-anak yang percaya diri, gemar bernalar, dan “menggilai” ilmu pengetahuan, sampai kasmaran berilmu-pengetahuan.

Keindahan-kebermainan

Pandangan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan dari sudut kebergunaannya semata perlu dilengkapkan. Sisi kebergunaan, keindahan, dan kebermainan dari ilmu pengetahuan perlu disemaikan kepada anak secara berimbang. Dalam sejarahnya, justru pada mulanya ilmu pengetahuan dipelajari karena keindahannya. Jauh sebelum ilmu pengetahuan berguna, dimanfaatkan, dan punya nilai komersial, manusia mempelajarinya untuk memuaskan hasrat ingin tahu dan merasakan keindahannya.  Bahkan, dalam peradaban lebih dari 2.000 tahun silam sampai era Pencerahan, di Timur ataupun di Barat, keindahan seni dan ilmu pengetahuan menyatu. Yang mengembangkan ilmu pengetahuan juga mengembangkan kesenian. Terlebih upaya seseorang mengembangkan ilmu pengetahuan menyatu dengan pengembangan spiritualitas diri. Pengembangan jiwa dan karakter pelajar pada masa itu tidak dipertentangkan dengan pengembangan ilmu pengetahuan, apalagi dengan peningkatan kecakapan kognitifnya.

Citra ilmu pengetahuan lain yang juga penting disemaikan ialah unsur kebermainan. Hampir semua ilmuwan sejujurnya sedikit banyak kegiatan berilmu- pengetahuannya dipicu oleh hasrat bermain. Bahkan, matematika yang kerap dianggap disiplin paling kaku dan dingin, sejatinya merupakan lelucon (Bellos, 2014).  Citra ilmu pengetahuan yang sudah sempurna, formal, kantoran, dan elite harus dilengkapi dengan citra kembarnya sebagai kegiatan yang masih berkembang, lucu, konyol, manusiawi.

Bermain dalam berilmu-pengetahuan merupakan sikap yang baik. Melalui bermain, manusia sungguh-sungguh melakukan kegiatannya berdasarkan dorongan intrinsik sejati, berintegritas penuh, dan tanpa pamrih. Justru rasanya ketiadaan unsur kebermainan ini yang menanduskan tradisi berilmu-pengetahuan hari ini. Untuk itu, tepat saatnya dalam usia yang ke-25, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia bersama Kemdikbud, Kemenristekdikti, LIPI, dan lembaga nirpemerintah membincangkan rangkaian kebijakan serta kampanye yang bersahabat dengan anak. Langkah ini menjamin keberlanjutan pengembangan ilmu pengetahuan di beberapa generasi mendatang.

Oleh: Iwan Pranoto  ;  Guru Besar Matematika ITB
Sumber: KompasCetak, 16/4/15
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top