OPINI | Ada hal yang sedikit mengganggu setiap kali berkunjung ke kampung. Dia adalah beberapa hasil pergulatan petani dan bumi (kopi, beras, dan kakao) yang dibawa “kabur”. Hasil bumi tersebut dikemas dengan karung besar tanpa label, lalu diangkut oleh pengojek dan mobil truk ke kota, khususnya kopi dan kakao pasca panen. Entah oleh siapa, harga jual dan harga belinya berapa, diolah dimana, di labeli apa. Yang jelas, hasil bumi semelimpah itu tidak juga membuat orang-orang mengenali kampungku sebagai penghasil berbagai jenis hasil bumi.
Niat untuk mengolah satu dari beberapa hasil alam di kampung, kemudian lahir dari keresahan atas hasil bumi yang dibawa “kabur” tersebut. Dan mudah untuk memutuskan Kopi sebagai pilihan, ditengah keterbatasan pengetahuan soal pengolahan hasil bumi, dan angka rupiah dikantong yang hanya beberapa digit.
Asal tahu saja, Rongkong dan Seko adalah penghasil Kopi terbanyak di Kabupaten Luwu Utara. Di tahun 2015, 685,42 ton kopi dihasilkan oleh Luwu Utara. 246,91 ton dihasilkan oleh petani Rongkong; 363,15 ton dihasilkan petani Seko; dan sisanya 75,36 ton dihasilkan oleh 5 kecamatan lain di Luwu Utara (Luwu Utara dalam angka 2016).
Hal yang lebih mengejutkan lagi, ini baru Kopi Robusta, entah dengan nasib Kopi Arabika yang saya tidak ditemukan datanya di “Luwu Utara dalam Angka Tahun 2016”. Meski saya sendiri mempertanyakan kevalidan data ini, setidaknya ini menggambarkan betapa berlimpahnya hasil bumi (kopi) di Rongkong dan Seko.
Ok. Sudah cukup dengan angka dan cerita heroiknya, saya akan sedikit promosi agar tidak bangkrut. Heuheu
KOLONG atau kopi lotong atau kopi hitam
“Kolong” adalah sebuah produk kopi bubuk murni. Bahan baku dari petani di kampung, diolah oleh kami dan petani di kampung, dikemas dengan kemasan yang layak (aluminium foil) dan tidak kampungan, kemudian dipasarkan di kampung dan non-kampung.
Ada yang unik dari “Kolong” dibandingkan dengan kopi bubuk lainnya. “Kolong” diolah dengan cara di roasting (sangrai) dengan menggunakan alat tradisional berupa kuali dari tanah liat (orang rongkong mengenalnya dengan nama “bibang”), dan kayu bakar sebagai bahan bakarnya.
Berdasarkan observasi kecil-kecilan yang saya lakukan. Proses sangrai inilah yang paling menentukan rasa kopi yang akhirnya anda seruput.
Banyak hal kenapa “Kolong” disangrai masih dengan cara manual atau tradisional. Selain untuk lebih mudah mengontrol rasa yang diinginkan, cara sangrai tersebut dipertahankan agar saat anda menyeruput, rasanya lebih nikmat; Saat anda menyeduh, aromanya lebih harum; Serta mencegah anda mengkonsumsi logam dari alat sangrai abal-abal.
Menyangrai kopi ternyata bukan perkara mudah. Ia ibarat puisi yang tak cukup dengan menyambungkan kata-kata yang sesuai EYD saja. Butuh manusia-manusia selevel penyair untuk membuatnya mendebarkan (semoga tak berlebihan. Hehee). Adukan, kematangan, nyala api, dan lainnya adalah penentu dari rasa kopi.
Berbekal dengan banyak tanya, banyak baca, dan percobaan berulang-ulang untuk menstabilkan hasil, kami kemudian memantapkan pilihan untuk mempertahankan proses sangrai dengan alat tradisional dalam pengolahan “Kolong”.
Karena itu, “Kolong” yang sampai ke cangkir anda, saya pastikan adalah buah karya dari seniman-seniman penyangrai kopi di kampung saya, Rongkong.
Oleh: Tribar suru’, CEO Kopi Kolong