OPINI

Luwu Tenggelam, Sebuah Narasi Banjir dan Politik

Belopa, lagaligopos.com – Banjir bandang yang melanda lima Kecamatan di Kabupaten Luwu merupakan musibah akibat buruknya perlakuan terhadap beberapa Dasar Aliran Sungai (DAS) dan meluasnya laju lahan kritis di hulu sungai.

DAS Suso misalnya, sebuah sungai besar yang hulunya bermula dari Kecamatan Latimojong, melintasi Kecamatan Bajo Barat, Bajo, Belopa dan Suli, kondisinya sangat memprihatinkan. Pada beberapa titik, sungai ini sudah mengalami beberapa kali perpindahan badan sungai. Hampir setia tahun sungai ini juga memberikan hadiah “Kado Banjir” kepada Kecamatan di daerah hilir.

Kondisi sungai yang sudah rusak parah sampai saat ini sudah mendatangkan kerugian dan ancaman lingkungan di masa depan. Ratusan Hektar Sawah dan Perkebunan yang berada disepanjang bantaran sungai Suso terkikis. Material sungai seperti Pasir dan Batu setiap hari di keruk untuk kepentingan proyek. Nyaris tidak kita jumpai lagi batu-batu besar di sepanjang sungai ini. Badan sungai juga sudah sangat lebar dan terlihat seperti laut.

Pemerintah Kabupaten Luwu sejauh ini belum mengambil langkah-langkah penyelamatan dari acaman bencana sungai ini. Wal hasil, tingkat kerentanan masyarakat terhadap bencana di beberapa kecamatan di hilir sungai Suso sangat tinggi.

Banjir kali ini pun ditanggapi dengan sangat sederhana. Para kompetitor Pilkada Luwu kembali turun ke lokasi banjir menebar senyum disertai dengan bantuan air mineral dan mie instan. Kejadian ini terlihat setelah banjir surut, Kamis (25/07/2013).

Menebar senyum dan membagikan bantuan itu tidak salah. Tapi, perlakuan yang terkesan mencari perhatian dan stengah hati seperti ini tidak akan menyelamatkan masyarakat di kecamatan Suli, Kecamatan Belopa, Kecamatan Bajo yang berada di sepanjang bantaran sungai Suso dari ancaman bencana masa depan.

Banjir sungai Suso sudah memberi pelajaran ratusan kali, bahwa ketika air bah datang menerjang, sawah, kebun dan semua yang ada akan diterjang sampai habis. Sumber penghidupan masyakat akan terhenti, sawah dan kebun mereka tenggelam. Apakah senyum dan satu kardus Mie Instan adalah jawaban itu semua? Lagi-lagi ini hanyalah kamuflase politikus yang berkedok perhatian. Sungguh tega politikus kita menafsir banjir sebagai momentum sosialisasi. Tampaknya memang ada masalah dalam kepala para politisi kita, karena tangis dan penderitaan masyarakat bagi politisi hanyalah gerimis.

Betapa bencana banjir diperlakukan sebagai upaya menyelamatkan diri sendiri. Menyelamatkan Suara, Menyelamatkan Pemilih, dan Menyelamatkan Kursi Kekuasaan. Politisi kita yang turun langsung melihat banjir dan berdiri diantara kerumunan korban, sebenarnya itu bukan untuk korban, bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya sendiri. Seperti sabda Jacques Lacan, seorang pemikir Prancis, “Saya melihat diri saya sedang melihat diri saya”.

Perhatian pemerintah yang tulus tidak akan pernah kita lihat dalam gaya-gaya seperti diatas. Mestinya pemerintah melakukan sebuah upaya konstruktif yang lebih kongkrit. Misalnya, bagaimana mengurangi tingkat kerentanan masyarakat terhadap bencana, bagaimana meningkatkan kapasitas masyarakat terhadap ancaman bencana, bagaimana melakukan upaya pencegahan dini terhadap bencana. Perhatian pemerintah yang betul-betul tulus dan mencerminkan kepedulian yang mendalam justru terlihat pada cara pemerintah memperlakukan bencana itu sendiri. Jika pemerintah tetap mencurahkan kepeduliannya terhadap masyarakat disekitar daerah rawan bencana, walau pun bencana belum terjadi, maksutnya ada semacam upaya penanggulangan bencana secara menyeluruh, melakukan upaya-upaya jangka pendek dan jangka panjang dalam fase “Sebelum (Pencegahan), Saat (Tanggap Darurat), dan Setelah (Pemulihan) terjadi bencana.

Tapi sayang sekali, kita tidak melihat ada dokumen atau kebijakan pemerintah kabupaten Luwu yang mengarah kepada hal tersebut. Jadi sudah dipastikan bahwa politisi kita yang turun ke lokasi banjir hanya menempuh sebuah Rute Citra menuju Jalan Kekuasaannya Sendiri. Aku kira kau mengerti banjir, ternyata kau adalah banjir itu sendiri.

Oleh: Muhammad Azwan

Dosen Universitas Islam Negri Makassar

1 Comment

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top