OPINI | Hanya dalam bulan-bulan pertama masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membuat terkejut banyak pihak di dalam dan luar negeri. Sayangnya, kian hari kian terlihat bahwa keterkejutan itu cenderung berujung pada kekecewaan dan memupus tingkat kepercayaan publik akan kepemimpinannya.
Runtuhnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harga bahan bakar minyak dan nilai tukar rupiah yang turun-naik seperti yoyo, eksekusi hukuman mati terpidana kasus narkotika, dan pengenduran aturan remisi terpidana korupsi adalah sejumlah contoh kasus yang mengecewakan banyak kalangan. Tulisan ini mencoba membaca Jokowi dari sisi psikohistoris untuk meneropong karakteristik kepemimpinan dan pola pengambilan kebijakannya yang mengejutkan itu.
Selama ini ada anggapan Jokowi adalah bagian dari Generasi Reformasi. Anggapan itu didasari pemahaman bahwa pembaruan di Indonesia setelah tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998 telah membuat Jokowi, yang dulunya bukan siapa-siapa, dapat muncul sebagai pemimpin pilihan sebagian rakyat. Mobilitas vertikal karier politik Jokowi-sebagai wali kota, gubernur, hingga sekarang presiden-menegaskan adanya kemajuan kehidupan berbangsa yang, dalam beberapa hal, membuat para penganut teori strukturalisme Levi Strauss mulai meragukan kebenaran teori itu.
Akan tetapi, anggapan itu tidak tepat. Jokowi sejatinya bukan bagian Generasi Reformasi. Lahir pada 1961, Jokowi adalah bagian generasi hasil didikan Orde Baru. Generasi ini menjalani masa formasi krusial dalam hidup pribadi mereka (yaitu masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa awal) pada masa keemasan rezim Orde Baru. Pendidikan formal ataupun nonformal pada masa keemasan Orde Baru adalah buah kebijakan yang ideologinya menekankan harmoni dan sikap nrimo, patuh, dan tidak banyak bertanya, sekalipun memendam ketidaksetujuan.
Seperti semua generasi yang tumbuh dalam zaman “keemasan” Orde Baru, Jokowi dibesarkan dalam alam sosio-politik penuh jargon pembangunan, yang menekankan stabilitas politik dengan pendekatan militer, memandang persatuan dan kesatuan sebagai doktrin, dan memahami kedaulatan bangsa semata-mata sebagai kekuasaan penuh atas wilayah geografi negara. Karakter kepemimpinan Jokowi merupakan hasil tempaan pengalaman hidupnya pada zaman Orde Baru, entah senang entah sengsara.
Teori Generasi
William Strauss dan Neil Howe dalam buku Generations: The History of America’s Future 1584-2069 (Quill New York, 1991) menyajikan Teori Generasi yang mungkin membantu kita memahami tipe dan karakteristik kepemimpinan generasi Jokowi.
Strauss dan Howe mendefinisikan generasi sebagai satu cohort atau kelompok orang yang usianya dalam rentang siklus kehidupan yang sama dan dicirikan sifat-sifat kelompok usia (halaman 60). Satu siklus rata-rata kehidupan manusia adalah 80 sampai 90 tahun, terbagi dalam empat fase, masing-masing 20 tahun: masa kanak-kanak dan remaja (usia 0-20 tahun), masa dewasa awal (21-40), masa dewasa (41-60), dan masa tua (60-80/lebih).
Menurut Strauss dan Howe, setiap generasi memiliki karakteristik kolektif yang dibentuk oleh peristiwa-peristiwa atau episode besar dan menentukan dalam sejarah yang mengubah secara fundamental arah perkembangan masyarakat tempat generasi itu dibesarkan. Pola dari peristiwa atau episode sejarah itu selalu berulang (disebut turning) dan terbagi menjadi empat episode: episode high (puncak), awakening (kebangkitan), unravelling (pemecahan), dan crisis (krisis).
Dalam sejarah Indonesia tahun kelahiran Jokowi (1961) adalah tahun dimulainya satu episode sejarah yang dampaknya sangat besar bagi kehidupan bangsa kita hingga kini, antara lain ketidakstabilan politik dan ekonomi, disusul peristiwa G30S 1965 dan pembunuhan massal serta semua dampak ikutannya.
Mengikuti teori Strauss dan Howe, maka fase 20 tahun pertama (1961-1980) dalam kehidupan Jokowi dan orang-orang segenerasinya adalah episode krisis yang secara normatif ditandai oleh tiga hal. Pertama, penghancuran dan pembangunan kembali institusi sebagai respons terhadap sesuatu yang dipandang mengancam kehidupan bangsa. Kedua, menguatnya kekuasaan negara dalam mengarahkan ekspresi kultural pada tujuan-tujuan kolektif. Ketiga, hilangnya individualitas dan menguatnya kecenderungan orang menempatkan dirinya sebagai bagian dari kelompok (halaman 118-119).
Generasi yang lahir pada episode krisis disebut generasi artist. Mereka melewati masa kanak-kanak dan remaja dalam asuhan orangtua yang cenderung overprotektif karena tuntutan situasi krisis. Relasi sosial ditekankan dengan etika konsensus dan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Masa dewasa awal generasi artist (usia 21-40 tahun) adalah episode puncak ketika masyarakat sangat kuat secara institusi, tetapi tidak memberi ruang gerak bagi ekspresi bebas warganya secara individu. Melalui kontrol sosial dan tata krama pergaulan formal dan informal ketat, generasi artist tumbuh dalam nilai-nilai kolektif dan keyakinan bahwa institusi masyarakat hal terpenting dalam hidup.
Namun, saat generasi artist memasuki fase ketiga kehidupannya (usia 41-60 tahun), kepercayaan individu warga terhadap institusi negara memudar. Inilah episode kebangkitan ketika kebutuhan akan kebebasan individu menguat. Orang merasa lelah dan bosan pada tata krama, disiplin, dan aturan-aturan sosial, tetapi merindukan kemajuan dalam kesetaraan. Kekangan kontrol sosial selama episode puncak telah menumbuhkan euforia kebebasan individu pada episode kebangkitan. Namun, kebebasan individu baru akan betul-betul dirasakan pada fase terakhir (fase tua, usia 61 ke atas) dalam episode pemecahan, ketika institusi sangat lemah dan tak lagi dipercaya individu.
Generasi “artist” Indonesia
Kembali ke sejarah Indonesia, guncangan politik dan keruntuhan ekonomi 1961-1965 yang disusul peristiwa G30S dan pembunuhan massal memaksa pemerintah Orde Baru (mulai 1966) melakukan stabilisasi melalui penguatan institusi negara dan masyarakat. Antara 1967 dan 1980 sejarah mencatat sejumlah momen krusial dalam konteks stabilisasi institusi, antara lain pengesahan undang-undang penanaman modal asing, penyederhanaan partai politik dan pengesahan paket undang-undang politik, pembentukan lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD), dogmatisasi Pancasila melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), pemberangusan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di dalam kampus.
Pada episode 1981-1998 rezim Orde Baru mengalami zaman keemasan sekaligus keruntuhan di pengujung waktu. Meskipun demikian, dampak dari episode puncak ini bagi pembentukan karakteristik-kolektif generasi amat kuat. Bonus produksi minyak dan keberhasilan swasembada beras tahun 1980-an serta situasi keamanan yang relatif stabil telah menumbuhkan kebanggaan kolektif. Tahapan-tahapan pembangunan melalui Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) adalah bukti optimisme kolektif elite saat itu bahwa institusi-negara yang kuat memang diperlukan sekalipun harus dibayar dengan pengekangan hak-hak dan kebebasan individu. Kebanggaan kolektif itu pupus di pengujung dekade kedua episode puncak.
Reformasi 1998 menebarkan antusiasme dan harapan akan perubahan. Inilah episode kebangkitan, yang dalam sejarah Indonesia juga sudah terjadi sekitar 90 tahun sebelumnya. Jadi, pada fase ketiga kehidupan mereka (fase usia dewasa, dimulai sekitar tahun 2000), generasi artist Indonesia mengalami situasi masyarakat yang euforia dengan kebebasan individu, tak percaya pada institusi negara dan institusi masyarakat, bosan pada disiplin dan aturan, dan bersikap semau gue. Reformasi 1998 menumbuhkan semangat kolektif akan perbaikan dan kemajuan, tetapi proses menuju pembaruan itu sangat berliku dengan saling serang antarindividu tokoh dan antarinstitusi. Jika semua sesuai dengan Teori Generasi, episode kebangkitan yang penuh euforia masih akan berlanjut hingga 2020.
Karakteristik generasi
Lahir dalam episode krisis, generasi artist tumbuh sebagai remaja yang adaptif, pendiam, dan sering memendam gagasan, tetapi memiliki keterikatan sosial yang kuat. Generasi artist sangat tergantung dan mengandalkan kelompok. Di usia dewasa awal pada episode puncak, sifat adaptif berubah menjadi konformis. Mereka menjadi idealis tentang tata sosial kemasyarakatan karena keyakinan yang kuat pada fungsi institusi. Di usia dewasa pada episode kebangkitan, sifat konformis disertai sifat pragmatis dan karakter idealis disertai sifat moralistik. Di usia tua pada episode pemecahan, generasi artist cenderung menyendiri (reclusive) dan kontemplatif, tetapi sangat sensitif terhadap lingkungan sosial yang sudah berubah menjadi individualistis.
Kepemimpinan Presiden Jokowi sedikit atau banyak menunjukkan karakteristik dirinya sebagai bagian generasi artist. Agenda Revolusi Mental, gagasan tentang poros maritim dan kedaulatan negara, penolakan permohonan grasi terpidana mati narkoba menunjukkan sifat-sifat idealis-moralis generasinya. Di sisi lain, cara diplomasi Jokowi, misalnya ketika mengundang investor, menunjukkan sifat pragmatisnya. Tumbuh besar dalam situasi krisis, generasi artist terbiasa menyelamatkan diri dari tekanan dengan cara beradaptasi, mengesampingkan orientasi idealis-moralisnya menjadi pragmatis. Kasus pencalonan Kapolri yang mencuatkan kembali konflik Polri-KPK dapat dibaca sebagai cermin adaptasi sifat idealis-moralis menjadi pragmatis Jokowi sebagai generasi artist yang menyelamatkan diri dari tekanan berbagai pihak.
Karena sifatnya yang idealis-moralis tapi juga adaptif-pragmatis, generasi artist bukan tipe pemimpin visioner yang mampu menjadi soko guru penyelesaian persoalan besar dan kompleks. Kepemimpinannya lebih cocok untuk lingkup persoalan terbatas yang dapat ditangani langsung, tetapi penyelesaiannya menumbuhkan kebanggaan kolektif. Melihat kecenderungan itu, kita harus siap jika era kepemimpinan Jokowi tidak akan membawa perubahan visioner yang berarti atas aneka persoalan besar bangsa ini, misalnya pemberantasan korupsi. Sesungguhnya jika Teori Generasi Strauss dan Howe berlaku linear tanpa faktor pembelok, pemimpin visioner Indonesia baru akan muncul dari mereka yang lahir antara tahun 1981 dan 2000 pada episode puncak, yang disebut generasi prophet. Ini berarti kepemimpinan visioner Indonesia baru akan muncul antara tahun 2021 dan 2040, pada episode pemecahan.
Agus Suwignyo ; Pedagog cum Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Sumber: KompasCetak, 28/4/15