OPINI

Nawa Cita dan Manifesto Politik Kebangkitan Desa

OPINI | Kegaduhan politik tiga bulan belakangan ini menyeret perbincangan publik ke dalam persoalan seputar istana dan kekisruhan partai politik di tingkat elite. Setiap perbincangan seolah melupakan masyarakat bawah, meminggirkan hal-hal yang bersifat publik atau ‘civic’. Kita bertanya, apa kabar dana desa? Sejauh mana persiapan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan kesiapan perangkat desa? Padahal, harapan masyarakat bawah (desa) untuk maju, berdaya, dan sejahtera tinggal menunggu waktu.

April 2015 ini, pemerintah akan mengucurkan dana desa untuk tahap pertama. Secara keseluruhan, nilai dana desa mencapai Rp56,3 triliun untuk 74.093 desa di seluruh Indonesia. Merujuk UU No 6 Tahun 2014 (UU Desa), jumlah tersebut berasal dari APBN yang meliputi dana desa dan alokasi dana desa yang ditransfer melalui pemerintah kabupaten/kota dan dari APBD. Untuk dana desa sendiri, sesuai dengan APBN Perubahan 2015, pemerintah menganggarkan Rp20 triliun sehingga setiap desa akan mendapat jatah Rp250 juta–Rp280 juta.

Ini merupakan wujud dari komitmen Presiden Jokowi. Dokumen Nawa Cita merepresentasikan semangat pemihakan desa, pemerintahan prorakyat. 

Lahirnya UU Desa diproyeksikan untuk menggairahkan desa agar memiliki semangat maju. Barang kali tidak berlebihan jika ini disebut manifesto politik kebangkitan desa. Selama ini, desa masih terstigma dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Desa lebih banyak ditempatkan sebagai objek dari pilot projectkebijakan, sumber dukungan politik, sumber legitimasi penguasa, dan eksploitasi pengusaha. Akhirnya, desa masih bergelut dengan masalah-masalah mendasar, yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lapangan kerja.

Madu atau racun

Padahal, desa memiliki ‘segalanya’, seperti sumber daya manusia, potensi alam, kearifan lokal, semangat kebersamaan, kekerabatan, gotong royong, dan jiwa toleransi. Kesemuanya itu menjadi modal sosial yang potensial bagi pembangunan sekaligus daya untuk menggerakkan emansipasi lokal. Dengan UU Desa, desa menjadi subjek untuk mengatur dirinya sendiri, mengelola sumber daya yang dimiliki, sebagai hak yang melekat berdasarkan konstitusi. Dana desa yang dikucurkan negara akan menjadi supporting instrument bagi gerak pembaruan desa. Ruang bagi desa untuk menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan kebutuhan terbuka lebar.

Membangun desa dalam alur bottom up ialah cara bagi negara untuk memperlakukan desa secara manusiawi dan berdaya. Tanpa alur demikian, tampaknya mustahil bagi perwujudan lahirnya desa mandiri, sejahtera, dan demokratis. Kendati demikian, agenda besar membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat desa sebagai lumbung kekuatan bukanlah tanpa persoalan. UU Desa dan guyuran dana yang begitu besar akan menjadi ‘racun’ jika tanpa disertai perangkat implementasi di lapangan yang kredibel, sepertiroad-map yang jelas, regulasi turunan yang koheren, instrumentasi kebijakan, pola operasional yang tepat, serta peningkatan sumber daya manusia (SDM).

Orientasi uang, selain berbahaya lantaran rentan menjadi incaran kepentingan poli tik dan perburuan rente, juga membawa implikasi teknokratik yang rumit. Dana desa berpotensi menggiring agenda pemberdayaan kepada kalkulasi kepentingan politik parpol dan birokrasi. Semangat mengelola perubahan desa akhirnya senyap dalam aksi nyata di lapangan, sebab yang tampak justru kehendak untuk memperluas jangkauan penetrasi politik kementerian bersama para birokratnya. Rakyat desa kian terjauhkan dari ruang pembelajaran dan pemberdayaan sebagai subjek pembangunan.

Selain itu, kekagetan menerima dana besar bisa menjadi jebakan yang menggoda suasana mental aparat desa untuk menyalahgunakannya demi memperkaya pundi pundi pribadi. Alokasi serta pengelolaan yang tidak adil, diskriminatif berdasar kepentingan sektoral, kelompok, agama, adat atau suku tertentu pasti akan memicu konflik horizontal. Konflik akibat rebutan dana desa itu juga mungkin bakal terjadi saat momentum pemilihan kepala desa secara langsung. Dana desa rawan untuk dikapitalisasi para kandidat, terutama kandidat petahana, untuk meraup dukungan suara lewat politik uang. Jika demikian, dana desa bukan lagi menjadi `madu’ bagi perubahan, melainkan `racun’ yang akan membunuh gerak perubahan.

Mindset pemberdayaan

Sebagian orang berpandangan bahwa tanpa anggaran yang memadai, mustahil bagi desa untuk bergerak maju, mandiri, berdaya, dan sejahtera. Persoalan anggaran dianggap sebagai masalah utama pembangunan desa.

Namun, tanpa kapasitas manajemen pengelolaan yang kredibel dan akuntabel, itu akan menjadi `bom waktu’ bagi pembangunan. Dana desa akan memperluas sentra-sentra baru korupsi. Terlebih, mekanisme sosial masyarakat desa pada umumnya masih cenderung patronistis, menaruh kepercayaan besar kepada tokoh-tokoh utama setempat. Sikap itulah yang membuka kans bagi praktik-praktik manipulasi anggaran dana desa.

Karena itu, implementasi UU Desa lewat alokasi anggaran dana desa harus ditempatkan pada mindset pemberdayaan. Maka di sinilah revolusi mental yang diusung Presiden Jokowi penting untuk mengubah mentalitas birokrasi dan elite-elite pengelola dana desa dari mental koruptif ke antikoruptif. Mental koruptif hanya akan menimbulkan moral hazard baru untuk menjadikan dana desa sebagai ajang bancakan, bukan untuk pemberdayaan potensi ekonomi lokal. Pengelolaan dana desa harus mencerminkan hak desa, arus aspirasi, dan kebutuhan desa sesuai dengan corak lokalitas dan keragaman tradisi.

Nalar membangun desa harus dijangkarkan pada kesediaan untuk membuka ruang deliberasi dan partisipasi aktif warga sebagai agen perubahan sesuai dengan mandat UU. Komitmen membangun desa harus pula dibarengi dengan upaya peningkatan kapasitas aparat desa dalam merencanakan pembangunan yang tepat sasaran dan menata-kelola keuangan yang akuntabel. Agenda besar desa ini harus kita kawal bersama dengan harapan agar anggaran benar-benar digunakan untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakat desa. Masyarakat desa yang berkualitas akan menjadi penggerak yang akan membawa Indonesia meraih kejayaan.

Oleh: Joko Wahyono  ;  Analis Studi Politik di Lembaga Pengkajian Teknologi dan Informasi (LPTI) Pelataran Mataram, Yogyakarta
Sumber: MEDIA INDONESIA, 11 April 2015
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top