OPINI | Ujian nasional merupakan ritual tahunan yang menegangkan dalam sistem pendidikan yang kita jalani. Ujian tersebut seolah menjadi peristiwa penentu perjalanan hidup dan kehidupan seorang siswa.
Berbagai cara dilakukan oleh siswa, guru dan orangtua untuk dapat melewati peristiwa sakral dan menegangkan tersebut. Sebut saja bimbel, mencari bocoran soal, sampai hal-hal yang berbau mistis seperti mencari wangsit ke kuburan dan menggandeng dukun, dari mulai dukun tradisional yang menggunakan mantra dan sesajen sampai dukun lulusan luar negeri yang menggunakan metodologi berpikir rasional berbasis teknologi informasi.
Kekalutan orang terhadap ujian nasional dimanfaatkan oleh para pihak yang melihat itu sebagai sisi keuntungan, maka terjadilah kebocoran soal yang mengguncang jagat pendidikan Indonesia dan dianggap aib yang menampar dunia pendidikan kita. Padahal masalah kebocoran adalah hal yang ”biasa” dalam siklus perjalanan pembangunan Indonesia.
Kontraktor bikin bangunan rata-rata atapnya bocor, bikin toilet di lantai dua juga sering bocor, pipa PDAM tidak jarang mengalami kebocoran, jaringan listrik juga sering bocor di perjalanan. Kebocoran bukan hanya melanda hal-hal yang biasa, tetapi juga melanda wilayah-wilayah yang dianggap paling sakral dan dijaga oleh ratusan pasukan.
Berapa kali kita mendengar pembicaraan presiden yang dianggap rahasia sekalipun sering bocor terdengar ke luar, bahkan sampai ke negeri Australia dan Amerika. KPK, lembaga anti rasuah yang paling ditakuti di negeri ini, surat penetapan status tersangkanya pada seseorang pernah bocor sebelum diumumkan. Jadi kenapa kita harus panik terhadap soal ujian nasional yang bocor kalau kebocoran di negeri ini sudah dianggap hal yang wajar?
Perjalanan pendidikan yang melelahkan dan berpuncak pada ujian nasional telah melahirkan peserta didik yang depresi. Bukan hanya peserta didiknya, bahkan pendidiknya pun banyak yang mengalami depresi disebabkan oleh kebingungan mereka dalam mengartikulasikan seluruh ide dan gagasan tentang hakikat pendidikan yang sering kali berbenturan dengan doktrin administratif pendidikan yang berbasis kurikulum bongkar muat.
Ciri-ciri peserta didik yang depresi itu sangat mudah diidentifikasi, ketika ada pengumuman bahwa mereka bebas untuk tidak masuk sekolah (libur), maka tepuk tangan mereka menggema di ruang kelas disertai dengan senyum bahagia para gurunya. Jadi secara umum kalau murid ditanya pelajaran apa yang disukai di sekolah, sebenarnya bukan pelajaran matematika, fisika, kimia, atau biologi yang mereka sukai, tetapi pelajaran bebaslah yang menjadi pelajaran favorit.
Hal tersebut menunjukkan betapa sistem pelajaran di sekolah telah menjadi monster yang menakutkan dan mencekam. Tumpah ruah kebahagiaan atas selesainya seluruh jenjang pendidikan yang dijalani oleh siswa, banyak diekspresikan dalam berbagai tingkah polah yang sering kali bertentangan dengan spirit pendidikan itu sendiri.
Ekspresi itu banyak diwujudkan dengan ritual berkonvoi di jalanan, coret-coret baju seragam, sampai pesta minuman keras, bahkan kita mendengar saat ini tidak sedikit anak sekolah yang melakukan pesta seks. Sebuah ironi dari spirit kemuliaan pendidikan yang mengajarkan nilai luhur tentang makna keutuhan manusia.
Pada akhirnya, kekerasan doktrin pendidikan berbanding terbalik dengan realitas produk pendidikan yang telah kehilangan substansi dan terperosok ke dalam lubang seremoni pendidikan atas nama kualitas dan atas nama kompetensi seseorang. Seluruh kompetensi yang menjadi kebanggaan dan alat ukur pendidikan kita, kini terperosok ke dalam pendidikan yang terkerangkeng dan sibuk memuja metodologi serta melupakan substansi dari arah dan tujuan pendidikan itu sendiri.
Pertanyaan unik dapat kita ajukan dalam tesis yang sangat sederhana, betulkah pendidikan formal yang berpuncak pada ujian nasional adalah jaminan mutu bagi masa depan seseorang? Tapi mengapa para pengusaha sukses banyak lahir tanpa latar belakang pendidikan profesinya, para penemu banyak lahir dari orang-orang yang tidak sepenuhnya mengikuti pendidikan formal.
Tukang kuli bangunan mampu mewujudkan sisi pembangunan yang indah tanpa pendidikan sekolah bangunan, tetapi justru kebudayaan mereka dalam memahami bangunan porak-poranda oleh orangorang yang mengenyam pendidikan tinggi berdasarkan karakter yang lebih menekankan pada titik keuntungan dibanding watak peradaban. Istana Negara dan Istana Cipanas sebagai simbol kebanggaan masyarakat Indonesia justru dibangun melalui kerja rodi.
Gedung Sate yang tinggi megah sebagai ikonnya masyarakat Jawa Barat juga dibangun dengan kerja rodi. Jalan Anyer-Panarukan, jalur kereta api dari Jakarta hingga Surabaya, juga dibangun oleh kekuatan pekerja yang tak bersekolah.
Yang lebih unik lagi, karya-karya musik dan lagu yang berkualitas banyak diciptakan dan dinyanyikan oleh orang yang tidak pernah mengikuti pendidikan musik secara formal, tetapi mengutamakan imajinasi dan rasa serta pengalaman hidup yang membuat mereka unggul dalam kreativitas.
Silakan ditanyakan kepada Bang Haji Rhoma Irama si Raja Dangdut, Iwan Fals, Ebiet G Ade, Slank, dan Melly Goeslaw, mereka sekolah musik di mana? Jawabannya ”tanyakan kepada rumput yang bergoyang,” begitulah kata Ebiet G Ade, ”Terlalu,” kata Bang Haji Rhoma Irama, Bongkar itulah kata Iwan Fals, Ada Apa dengan Cinta , begitulah Melly Goeslaw mengatakan.
Ketika hari menjelang senja, Ma Icih berkata dengan nada penuh makna kepada Mang Udin suami tercintanya, ”Udin, saya tidak mengerti, katanya pendidikan dasar 9 tahun tapi kenapa pemerintah melaksanakan ujian di kelas 6…? Terus sekarang pendidikan yang baik 12 tahun, kenapa harus ada ujian nasional di kelas 9…? Selanjutnya dari kelas 6 ke kelas 7 mah bukan lulus, tapi naik… dari kelas 9 ke kelas 10 juga sama, bukan kelulusan tapi kenaikan.”
Mang Udin menimpali sambil tersenyum, ”Iya Icih, saya juga tidak mengerti, buat apa sampai bimbel segala ya? Kalau bimbel dianggap efektif dan merupakan cara mudah untuk lulus ujian, sebaiknya sekolah dihapus saja diganti dengan bimbel, terus ujian. Kan jadi murah biaya pendidikan Indonesia.”
Ma Icih kembali menimpali, ”Betul, Din. Kelihatannya cucu-cucu kita sekarang banyak mengalami stres, karena terlalu seriusnya belajar di sekolah. Bajunya serius, bukunya serius. Bahkan saking seriusnya itu buku, sebelum masuk ke sekolah tidak pernah dibaca dulu oleh pejabat yang menangani bukunya, sehingga gambar porno, ajaran agama abal-abal bisa masuk ke buku.
Kalau buku yang menentukan arah pembelajaran di kelas, nanti mah sekolah guru harus dihapus karena tidak bermanfaat lagi ketika mengajar. Guru tidak lagi menyampaikan pemahaman pengetahuan yang dia miliki hasil dari kuliahnya, mereka hanya sekedar menyampaikan isi buku kepada murid-muridnya.
Jadi guru sudah tidak lagi mewakili pengetahuan yang dimilikinya, tetapi dia lebih mewakili pesan percetakan yang dititipkan kepadanya.” Ma Icih menambahkan, ”Nini (Nenek) sekarang itu lagi ada kebahagiaan, ternyata anak-anak sekolah di Jakarta kayanya sudah bosan dan pusing dengan berbagai teori yang membuat mereka menjadi semakin asing dengan dirinya, bahkan mereka sudah bosan dengan peradaban pakaian perkotaan yang membuat mereka menjadi tersiksa.
Mereka ingin hidup sederhana seperti Nini, pake baju cukup kutang wungkul sehingga diadakan pesta sebagai wujud kebahagiaan tamatnya mereka sekolah. Padahal kalau uang untuk biaya sekolah mereka itu diberikan kepada Nini, Nini bisa beli kutang baru karena kutang lama kancingnya sudah copot sebelah,” ujar Ma Icih menutup pembicaraan.
Oleh: Dedi Mulyadi ; Bupati Purwakarta
Sumber: KoranSindo, 27/4/15