OPINI

Produk Gagal Lembaga Ilmuwan

Puncak Gunung Es

Secara pasti, di bawah asuhan para pembimbingnya setiap tahun ribuan skripsi sarjana, ratusan tesis magister, dan puluhan disertasi doktor telah dihasilkan oleh perguruan tinggi Indonesia. Karena sudah dinyatakan lulus serta diberi hak menyandang gelar-gelar akademis yang diraihnya, tentunya karya-karya yang dihasilkan para mahasiswa mengandung sesuatu yang secara ilmiah layak untuk disumbangkan guna memajukan ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, dari kalangan perguruan tinggi saja seharusnya sudah bisa dihasilkan ribuan naskah artikel ilmiah yang dapat diterbitkan untuk menunjukkan bahwa kontribusi ilmiah bangsa Indonesia terhadap khazanah pengetahuan, ilmu, teknologi, dan seni dunia seharusnya berjumlah besar. Akan tetapi, angka-angka tahunan produk kecendekiaan ilmuwan Indonesia  yang berupa artikel dan karya ilmiah lainnya masih sangat jauh di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand, sehingga posisi harkat bangsa Indonesia di kancah ilmiah dunia masih diremehkan orang. Dengan demikian, tersimpulkan bahwa selama ini ribuan naskah skripsi sarjana, tesis magister, dan disertasi doktor (dan masih ditambah dengan ribuan lagi naskah laporan penelitian yang dihasilkan oleh ratusan lembaga litbang) hanya ditumpuk sebagai sampah tak berguna di ruang-ruang arsip dan perpustakaan. (Baca: Dosa kaum ilmuwan)

Alangkah sia-sianya tenaga, waktu, daya, dan dana yang telah dikeluarkan mahasiswa untuk menghasilkan skripsi, tesis, dan disertasi tadi, karena semuanya terbuang percuma. Kita rupanya memang pandai bersia-sia, memboroskan daya, dana dan waktu untuk mengerjakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, secara harfiah membuang kertas (dan dengan demikian ikut memercepat proses penggundulan hutan kita), serta melepaskan peluang untuk menaikkan harkat bangsa dengan terbitan ilmiah bermakna. Tanpa disadari kita rupanya telah mengajarkan hal-hal yang tidak ada gunanya sama sekali pada mahasiswa, dan bahkan menyiksa mereka dengan beban yang kemanfaatannya tidak ada.

Lihat saja, ketebalan skripsi S-1 di beberapa perguruan tinggi yang tebalnya sampai 100 halaman, tetapi lupa meminta penyusunnya untuk mengevaluasi diri kelayakan teknis ilmiah isinya untuk disumbangkan guna memajukan pengetahuan, ilmu, teknologi, dan seni. Karena tidak secara ketat dituntut adanya terbitan ilmiah terlaksana sebagai bentuk final pertanggungwajiban (accountability) dan pertanggungjawaban (responsibility) kegiatan penelitian, kewajiban moral untuk menerbitkan hasilnya sama sekali tidak membudaya di kalangan ilmuwan Indonesia. Padahal, banyak pendapat yang telah dilontarkan orang untuk menunjukkan bahwa jumlah publikasi ilmiah (dan terutama publikasi yang dibaca serta diacu atau disitasi dalam terbitan peneliti berikutnya) yang dihasilkan sesuatu bangsa berkorelasi positif dengan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa itu sendiri. 

Kenyataan ini merupakan secuil puncak gunung es yang mengindikasikan terjadinya kejanggalan (kalau tidak mau mengatakan ‘kegagalan’) yang bersifat sangat mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan kader ilmuwan dan pandit  Indonesia. Sebenarnya dihasilkannya ribuan laporan akhir tugas penelitian calon sarjana, magister, dan doktor setiap tahunnya oleh perguruan tinggi menunjukkan bahwa mereka sudah pernah belajar (learned) menyusun laporan penelitian, karena teknik penulisan karya ilmiah memang telah terprogram untuk diajarkan (taught) atau dibelajarkan (instructed) pada mereka. Mereka pasti telah dilatih pula untuk mengikuti suatu pedoman penulisan yang selalu digariskan secara eksplisit dan dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan untuk diikuti dengan ketat sesuai dengan pembakuan yang diinginkan dan gaya selingkung yang diberlakukan. Memang amat disayangkan bahwa pedoman penulisan itu lebih sering mengatur hal-hal yang bersifat fisik seperti ukuran dan macam huruf, lebar spasi, dan jarak pengetikan dari pinggir halaman (pedoman yang cocok untuk melatih juru ketik), alih-alih berisikan petunjuk tentang substansi yang harus diisikan ke dalamnya (yang seharusnya dikuasai oleh seorang tamatan perguruan tinggi).

Pertanyaan Subtansial

Oleh karena itu, menyiapkan setiap naskah ilmiah untuk diterbitkan, merupakan kebiasaan yang baik untuk meniliki lagi apakah langkah-langkah penelitian ilmiah yang telah dilakukannya dalam menyusun skripsi, tesis, atau disertasi harunsya sudah merupakan upaya maksimum yang mungkin terkerahkan. Dengan demikian, baik juga untuk menanyakan lagi saat menyusun naskahnya, sudah terjagakah kemutakhiran peta state-of-the-art permasalahan yang ditangani ? Telah cukup unikkah perumusan masalahnya, dan terajukankah semua pertanyaan penelitian yang harus dipecahkan ? Terjaminkah keorisinalan sudut pandangnya dalam menyusun strategi pemecahan masalahnya ?

Memadaikah pendekatan yang dicoba dilakukannya sehingga kegiatan penelitiannya menghasilkan simpulan yang pasti diminati para mitra bebestari dan ilmuwan lain yang terkait ? Cukup menukikkah kedalaman pendekatan dan ketepatan metodologi yang sudah dipakainya ? Terpenuhikah persyaratan minimum untuk mencapai ketepatan, kecanggihan, dan kemutakhiran pendekatan atau metodologi yang dipakai ? Terverifikasikah kesesuaian dan keterandalan informan, terterakah peralatan dan perlengkapan penelitian, terbenarkankah kuesioner penelitian yang dipergunakan ? Telah tersediakah informasi perkembangan terakhir sehingga kesahihan data yang sudah terhimpun tidak menimbulkan keraguan atau kontroversi ? Sudah dibaca dan terkuasaikah hasil dan simpulan penelitian lain yang berkaitan sehingga penyimpulan dapat maksimum untuk menghasilkan perampatan melebar dan teori baru yang menyeluruh ?

Jawaban positif atas semua butir pertanyan tersebut pasti ikut memberi corak keberjayaan kontribusi ilmiah yang akan diterbitkan, karena menjamin ketuntasan penggarapan yang sudah dilakukan. Kalau ada kekurangan yang bernada negatif, maka tindakan remedial harus dilakukan untuk memerbaikinya. Selanjutnya, mendapatkan jawaban positif terhadap semua pertanyaan tadi memang dianggap perlu untuk memungkinkan diketahui dan diyakininya besar delta atau makna temuan dan simpulan yang dicapai kegiatan kecendekiaannya. Untuk lebih memantapkan pengevaluasian makna ilmiah suatu hasil penelitian atau pemikiran yang akan ditulis untuk disumbangkan dalam suatu berkala ilmiah dapat pula dicoba untuk memahami ‘posisi’ hasil penelitian dan telahan yang baru dirampungkan. Dalam bidang-bidang tertentu, makna temuan dapat ditentukan posisinya dengan menempatkannya dalam skema peringkat capaian ilmu dan teknologi yang dimulai dari pengalihan (transfer of technology), penyesuaian (adaptation), pembaruan (innovation), rekacipta (invention), dan berakhir pada pengungkapan (discovery).

Pengajian dan evaluasi makna temuan yang dihasilkan dapat pula dilakukan dengan jalan membandingkannya secara menyeluruh hasil dan simpulan yang dicapai dalam kegiatan yang sudah dirampungkan dengan hasil yang dibuat ilmuwan terkait lain yang baru saja diterbitkan. Perbandingan semacam itu akan menunjukkan kekuatan dan kelemahan, ataupun kekurangan dan kelebihan makna sumbangan yang akan disampaikan. Dengan berpegangan pada tradisi ilmuwan yang merasa lebih baik untuk selalu ragu-ragu (the benefit of doubts), pertanyaan menelisik beruntun yang diajukan akan memungkinkan seseorang menempatkan capaian barunya dalam peta pengetahuan, ilmu, dan teknologi.

Jadi mengapa tidak dipertanyakan lagi, sudah pernahkah hasil serupa diterbitkan orang ? Jika sudah, apa persamaan dan apa pula perbedaannya ? Masih tersisakah selisih perbedaan yang cukup bermakna untuk terus diungkapkan ? Apakah hasil yang diperoleh hanya mengisi rumpang kecil ketidaktahuan yang tidak mengganggu kalau dibiarkan ? Dengan perkataan lain, apakah hasil tadi hanya mengukuhkan pendapat yang ada sekalipun bukti yang disajikan terungkap dari pendekatan atau pandangan berbeda ? Kalau begitu, seberapa jauh simpulan yang dihasilkan merambah terra incognita ilmu ? Apakah temuan ‘kecil’ yang dianggap orisinal itu betul-betul merupakan sesuatu yang baru ? Bermaknakah nilai ilmiah keorisinalan yang baru diungkapkan itu untuk memajukan ilmu ? Apakah ilmuwan terkait akan menghargai temuan yang dihasilkan ? Siapa kira-kira yang akan menantang simpulan dengan jalan menindaklanjuti atau melaksanakan penelitian atau telaahan baru ? Akan banyakkah ilmuwan yang melakukan pengacuan langsung pada hasil, dan siapa saja yang secara tidak langsung akan diuntungkan dengan penerbitannya ?

Sekalipun demikian ada baiknya untuk tidak cepat puas dengan hasil penilaian diri. Sebab, akan jauh lebih baik lagi untuk dapat memeroleh pendapat objektif dari rekan sejawat dalam lingkungan kerja, yang dapat dilakukan melalui diskusi intensif secara informal. Jika, dan hanya jika, segala sesuatunya sudah dirasa atau diyakini bahwa semua upaya maksimum telah terkerahkan untuk menyempurnakan simpulan yang dicapai hasil penelitian atau telaahan yang baru dilakukan, maka menjadi kewajiban mulia untuk segera memilih berkala ilmiah yang paling sesuai untuk tempat menerbitkannya. Agaknya, tidak ada pilihan lain bagi perguruan tinggi untuk menyediakan berbagai pembelajaran penulisan karya ilmiah yang diorientasikan pada penerbitan hasil kegiatannya, sehingga, kita mengajari mahasiswa kita melakukan sesuatu secara efektif, efisien, dan tidak sia-sia.

“Radikalisasi” Tugas Akhir

Sudah tiba saatnya untuk membakukan agar skripsi sarjana panjangnya tidaklah lebih dari 5000 kata (atau sekitar 15 halaman ketik). Di Indonesia, ide dan gagasan ini dianggap radikal. Padahal, di luar negeri hal ini sudah membudaya. Tulisan sepanjang sebuah artikel dalam berkala ilmiah itu hendaklah disusun dengan berpedoman langsung pada petunjuk buat calon penulis yang dikeluarkan oleh berkala ilmiah yang ditujunya sebagai sarana tempat menerbitkan karyanya nanti. Agar, skripsi tadi bisa diterima untuk diterbitkan, dengan sendirinya diharapkan bahwa topik yang dikerjakan betul-betul mengandung suatu masalah yang bakal menelorkan sesuatu yang baru untuk ilmu. Untuk itu menjadi kewajiban sang dosen pembimbing buat menyediakan topik penelitian tersebut, karena pada umumnya para mahasiswa masih belum mampu membaca peta buta ketidaktahuan ilmu dan teknologi. Sesuai dengan corak kedalaman penguasaan pengetahuan dan ilmu serta teknologi yang dikuasai mahasiswa S-1, maka topik penelitian skripsi minimum hendaklah setara dengan pengalihan teknologi (technology transfer), seperti pemindahan teknik produksi atau penerapan suatu teori yang telah diketahui ke situasi dan lokasi lain, dengan tujuan untuk meluaskan pemanfaatan atau lebih meningkatan pemahaman dengan sedikit penyesuaian. Pelaksanaan kegiatannya diawasi langsung oleh sang pembimbing, penerbitan skripsi berupa artikel itu hendaklah dilakukan bersama oleh mahasiswa dan dosennya.

Adapun tesis magister seyogianya juga dibatasi maksimum 8000-10000 kata untuk menampung satu atau dua artikel tentang sebuah topik aktual yang siap terbit. Tesis tersebut seyogianya berisikan hasil kegiatan untuk menyesuaikan metode ilmiah atau  penggunaan teknologi atau mengadaptasi (adaptation) suatu teori pada objek atau masalah lain, atau pelaksanaan penelitian dan telaahan yang sama dengan pendekatan dan metodologi berbeda, sehingga memberikan sumbangan yang nyata dalam melebarkan horizon ilmu dan teknologi. Disertasi doktor dengan sendirinya perlu lebih berbobot lagi, dan didasarkan pada penelitian yang ditujukan untuk menghasilkan naskah artikel siap terbit di forum internasional. Temuan, simpulan, dan perampatannya umumnya terungkap dari  hasil yang diperoleh dari penelitian atau telaahan yang direncanakan dengan komprehensif atas permasalahan yang kompleks. Kegiatannya dapat pula dilakukan dengan menerapkan pemodifikasian metode dan pendekatan terhadap persoalan baru yang belum terpecahkan, sehingga secara nyata bakal menyumbangkan sesuatu dalam upaya universal untuk memajukan ilmu dan teknologi. Pembaruan (innovation) yang dilakukan dalam kegiatan ini dapat menghasilkan paten, sebab disertasi doktor secara umum memang harus menghadirkan hasil dan pemikiran serba inovatif untuk memenuhi kebutuhan audiensi internasional. 

Untuk menghindari tuduhan miring pada dosen pembimbing dalam menerbitkan artikel ilmiah yang didasarkan pada hasil skripsi, tesis, dan disertasi, diperlukan pemahaman tentang hak kepengarangan bersama antara mahasiswa dan dosen pembimbingnya. Untuk itu semua pihak yang berkepentingan harus menyadari bahwa setiap artikel yang terbit dalam berkala ilmiah selalu memiliki tiga pemilik, yang terlihat dari baris kepengarangan (byline) yang sengaja selalu dicantumkan secara tegas. Baris kepemilikan merupakan bagian integral suatu artikel, dan merujuk pada hak kepengarangannya (authorship – berada di tangan penulisnya), dan hak kepemilikannya (ownership – kepunyaan lembaga tempat dilakukannya kegiatan yang dilaporkan). Dalam kaitan ini, mohon disadari bahwa pemegang hak cipta (copyright holder) atau hak memerbanyak dan menyebarluaskan suatu artikel ilmiah adalah berkala tempat diterbitkannya artikel termaksud.

Defini kamus ‘pengarang’ adalah orang yang menulis, menggubah, mencipta, atau menyusun sebuah karya. Dalam konteks ilmiah, seorang ‘pengarang’ adalah orang(-orang) yang secara nyata dianggap mencetuskan gagasan, memformulasi masalah, melakukan perencanaan pendekatan, melaksanakan dan merampungkan kegiatan, menyiapkan pelaporan, dan/atau ikut memberikan sumbangan atau saham kecendekiaan berarti terhadap substansi isi suatu artikel ilmiah terkait yang diterbitkan. Kepengarangan mempunyai implikasi akademik, sosial, dan finansial, karenanya konvensi dan pertimbangan etika harus dikembangkan orang untuk memandu menjelaskan perihal yang agak rumit dan sensitif ini. Konvensi Vancouver 1996 mensyaratkan bahwa kredit kepengarangan sesuatu artikel hendaklah diberikan pada orang yang mengerjakan (sehingga memunyai saham dalam) semua kegiatan berikut:

·    sumbangan substantif yang bermakna dan nyata pada konsepsi, rancangan, pemerolehan data, analisis dan interpretasi data dan informasi (sehingga meliputi sintesis, penyimpulan, dan perampatan yang dihasilkan kegiatan penelitian)
·    penulisan buram naskah, perevisian kritis, dan penyempurnaan kecendekiaan penting pada substansi isinya
·    penyuntingan akhir dan persetujuan final pada versi yang akan diterbitkan.

Oleh karena itu, orang yang hanya menyediakan bantuan teknis semata (misalnya memelihara makhluk percobaan selama berlangsungnya penelitian, menyiapkan foto, membuatkan gambar), bantuan penulisan atau penyuntingan, atau ketua jurusan serta kepala laboratorium yang menyediakan dukungan umum, tidaklah berkualifikasi untuk mendapatkan hak kepengarangan. Termasuk, dengan pakar peneliti peserta yang walaupun menyumbang secara nyata tetapi hanya berfungsi sebagai penasihat ilmiah atau melakukan ulasan kritis terhadap usulan penelitiannya.

Inilah yang harusnya dipahami dan disadari oleh pendidikan tinggi. Terutama para pejabat di tingkat kampus hingga di level jurusan dan prodi agar tidak menyulitkan mahasiswanya dengan tanda tangan urusan administratif publikasi artikel ilmiah yang akan diterbitkannya. Semoga semua pihak “insaf” bahwa kerja-kerja intelektual tak bisa direcoki ataupun diintervensi terlalu kaku dengan kepentingan birokrasi dan ego kekuasaan administratif di masing-masing kampus.

 

Oleh: Mien. A. Rifai
Sumber: KoranOpini.com
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top