OPINI | Saya tak tahu apakah ada kondisi yang bisa berubah lebih cepat dibandingkan politik? Perubahan musim saja memiliki masa transisi yang tidak secepat sulap.
Ada musim pancaroba antara selisih musim. Perubahan budaya apalagi. Ada dimensi evolusi yang memerlukan fase tertentu sehingga sebuah kebudayaan dianggap berubah dari sebelumnya.
Revolusi negatif
Tidak ada yang menduga jika Joko Widodo, Presiden “harapan baru” Indonesia-seperti judul utama majalah Time, edisi 27 Oktober 2014-bisa berubah lebih cepat dari cuaca. Perubahan radikal luput dari hampir semua prediksi sebelumnya. Catatan ini menjadi penting melihat masa depan demokrasi di negeri ini. Padahal, harapan publik atas Jokowi cukup besar di awal 2014. Saat itu kita sedang menunggu pemimpin alternatif di tengah pemimpin politik senior konvensional berbasis partai politik. Harapan itu masih bernyala hingga ia dan Jusuf Kalla dinyatakan sebagai pemenang Pemilu Presiden-Wakil Presiden 9 Juli 2014.
Bahkan hingga detik-detik pelantikan sebagai presiden di sidang MPR pada 20 Oktober, Jokowi masih dielu-elukan sebagai sosok populis yang bisa menghentikan fase transisi demokrasi Indonesia. Ia diarak dalam sebuah kirab budaya dan pesta rakyat, menyatu dengan kulit dan keringat rakyat, menyalami mereka hingga larut malam.
Namun, perubahan besar terjadi setelah itu. Kurang dari sebulan memerintah, ia (dan tentu saja JK) mulai melakukan kebijakan tidak populer dengan menaikkan harga BBM. Kenaikan harga BBM di tengah kecenderungan harga minyak mentah dunia turun drastis dan jauh di bawah asumsi APBN Perubahan 2014 adalah keanehan dalam kacamata matematika ekonomi dan fiskal mana pun.
Serta-merta wajah bening dan semringah rakyat hilang, berganti pucat dan kecut. Mungkin lupa bahwa sebagian besar pemilih Jokowi adalah wajah rakyat kebanyakan: wong cilik, wong ndeso, dan wong prihatin.
Kampanye “pengurangan subsidi BBM” untuk kesejahteraan rakyat agar pemerintah memiliki ruang fiskal yang longgar juga tidak dipahami sebagian besar rakyat Indonesia. Istilah pengurangan subsidi pun sangat distortif dan manipulatif. Kebijakan itu semakin enigmatik karena diikuti pelbagai kebijakan turunan yang tidak sehat bagi ketahanan ekonomi rakyat, seperti kenaikan tarif dasar listrik, gas, kereta api, dan lain-lain. Pemerintah juga tak kuasa mengendalikan inflasi dan kenaikan harga bahan pokok dan transportasi publik. Semua rencana terlihat rontok terlalu dini.
Yang paling diingat sebagai proses pendarahan harapan publik adalah fenomena konflik Komisi Pemberantasan Korupsi versus Polri, terkait kasus tersangka Bambang Gunawan. Kasus itu dengan cepat menjadi penanda negatif bagi proses pemberantasan korupsi satu dekade terakhir. Bukan hanya “kriminalisasi” Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dan suksesnya Budi Gunawan sebagai Wakil Kepala Polri, tetapi seluruh aura penegakan hukum yang benar dan bijaksana yang melindungi rasa keadilan publik tidak mampu tegak.
Publik melihat antagonisme pada fakta hukum nenek Asyani yang divonis satu tahun penjara karena mencuri beberapa lembar papan Perhutani, dan di sisi lain ada parade praperadilan oleh para tersangka korupsi setelah “efek Sarpin”. Hukum seharusnya tidak mencari-cari kesalahan dan menganggapnya kejahatan, sementara yang sebenarnya kejahatan menjadi seolah-olah kesalahan karena justifikasi legal dan etis dari kuasa dan modal yang mendukungnya.
Fenomena ini tentu menjadi ironi ketika Jokowi seolah tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Ia dibelit kuasa di luar dirinya yang selama ini dikenal populis. Ia bukan lagi sosok wali kota Solo yang sabar bernegosiasi dengan pedagang kecil ketika proses relokasi pasar atau gubernur Jakarta yang teguh dengan ide-ide kesejahteraan sosial melalui kartu sehat dan pintar.
Idealisme perubahan yang diusungnya saat itu tidak mencederai realitas rakyat. Saat ini idealisme “Nawacita”-nya tidak nyambung dengan kebijakan-kebijakan pragmatisnya. Ini tentu bukan revolusi mental. Revolusi telah mental-terpental oleh pelbagai realitas politik-ekonomi yang tak mampu diurai dengan sabar dan konsisten.
Erosi harapan
Saat ini Jokowi semakin sulit dilihat sebagai harapan- istilah Ivan Pavlov, pakar behaviorisme peraih Nobel asal Rusia: salivasi (salivate), selera menggiurkan- yang meneguhkan semangat perubahan. Yang dilakukan Jokowi malah merusak refleks-refleks yang dikondisikan (conditioned reflexes) masyarakat untuk tetap menjadikannya impian bagi Indonesia baru. Ia belum mampu menjadi gairah bagi seluruh tumpah-darah Indonesia.
Harapan seharusnya dijaga melalui kebijakan yang merefleksikan selera publik atau paling tidak, tidak bertentangan. Kini publik semakin hilang keyakinan pada Jokowi. Beberapa survei sudah menunjukkan pemerintahan Jokowi-JK tidak bisa diandalkan menyelesaikan krisis ekonomi- politik saat ini. Sulit baginya memperbaiki kekecewaan publik terkait kebijakan yang sudah membekas dalam kehidupan luas. Deringan bel yang memancing salivasi publik agar tetap menjaga harapan, tidak menarik perhatian. Pidato Jokowi saat pembukaan Konferensi Asia Afrika agar bangsa-bangsa Selatan tidak menggantungkan diri pada institusi ekonomi global, seperti Bank Dunia, IMF, dan ADB yang terbukti gagal hanya terdengar seperti retorika plastis.
Sikap teguhnya menjalankan kebijakan hukuman mati atas kasus narkoba malah memercikkan problem keadilan, seperti pada kasus Mary Jane, seorang buruh migran Filipina yang diperalat membawa heroin. Ketegasan menolak semua permohonan ampun malah memperlihatkan watak kekakuan politik yang tidak pada tempatnya.
Desain ekonominya semakin sulit untuk tidak dikatakan bernapaskan neoliberalisme, terkesan teknokratis, tetapi tidak matang. Desain politiknya masih belum deliberalif dan demokratis. Desain hukum semakin menegaskan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Desain kebudayaan, dan tidak cukup terlihat kecuali minatnya pada industri kreatif, belum berangkat dari akar-akar kebudayaan nasional.
Inilah anomali demokrasi yang lahir oleh citra media, dan bukan terbentuk oleh karakter ideologi-politik yang kuat dan inspiratif. Sulit mencari sosok seperti Soekarno dan Gus Dur yang kuat dalam pemikiran demokrasi dan mantap dalam tindakan. Jokowi menjadi contoh anomali demokrasi berbasiskan pencitraan. Penamaan Kabinet Kerja bisa menjadi fakta sublim atas gagalnya membentuk kabinet visioner dengan kebijakan-kebijakan fundamental yang menyejahterakan dan membahagiakan.
Anomali demokrasi adalah katastrofi politik-ekonomi, yang membuat semangat nasional untuk perubahan menjadi kuyu dan hanya bisa menepuk dada.
Oleh: Teuku Kemal Fasya; Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh dan Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh
Sumber: KompasCetak, 02/515