Lagaligopos.com – Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi. Pembelajaran mengandung arti adanya proses belajar-mengajar antara guru dan siswa (pelajar).
Pembelajaran adalah suatu proses yang sistematik di mana setiap komponen harus saling sinergi, seperti: siswa, guru, kurikulum, dan fasilitas belajar. Dalam proses tersebut, terdapat kegiatan memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan, di mana kedudukan guru sebagai pengajar dan siswa sebagai sasaran atau obyek sekaligus subjek yang diajar harus saling berinteraksi demi optimalnya kegiatan pembelajaran.
Interaksi antara guru dan siswa atau anak didik dalam bingkai pembelajaran guna terjadinya trasformasi pengetahuan dan sikap, membutuhkan sebuah metode pembelajaran yang tentunya sesuai dengan kondisi siswa atau anak didik sehingga tidak terjadi sebuah kejenuhan, bosan dalam belajar.
Ketika kita melihat pendekatan dalam pembelajaran yang digunakan selama ini dalam kelas hinga sekarang ini sepertinya belum keluar dari metode pembelajarankonvesional yakni kebanyakan guru dalam mengajar lebih banyak mendiktekan kepada siswa atau anak didik.
Kecenderungan guru menjadikan siswa atau anak didik sebagai objek masih terjadi. Kebanyakan guru masih melihat bahwa anak didik sebagai botol kosong yang harus di isi dan kepatuhan anak didik sangat dibutuhkan dalam mengisinya.
Membuka cakrawala dan melihat perkembangan dalam pembelajaran sangat dibutuhkan bagi seorang guru untuk meningkantkan kwalitas pendidikan. Dalam dunia pendidikan sekarang ini dengan kemajuan dunia yang sangat pesat serta munculnya berbagai macam pendekatan baru dalam pembelajaran perlu untuk ditelisisik oleh seorang guru pada khususnya atau semua elemen yang memiliki peran dalam dunia pendidikan.
Dalam pembelajaran perlu untuk di pahami bahwa setiap individu (anak didik) memiliki gaya belajar dan gaya bekerja yang unik, maka guru dan sekolah sebagai institusi pelaksana pendidikan semestinya dapat melayani setiap gaya belajar individu sehingga dengan demikian perlunya berbagai ragam model pembelajaran yang harus digunakan.
Guru, sadar atau tidak, sering kali beranggapan bahwa kelas yang baik itu tenang dan serius. Dengan asumsi demikian, guru akan merasa telah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik jika sanggup membuat kelas menjadi tenang dan siswa serius belajar. Sebaliknya, mereka akan sedih dan merasa tertekan jika kelas gaduh dan siswa tampak kurang serius. Dalam suasana kelas seperti ini, guru terkadang lupa menghitung berapa banyak anak yang terkantuk-kantuk dan ‘terpaksa’ tertidur pulas dalam kelas.
Konon, salah satu tanda kehidupan adalah pergerakan. Kelas akan hidup jika siswa banyak melakukan pergerakan. Kelas berubah menjadi kuburan jika siswa tidak lagi hidup, tidak belajar melakukan sesuatu dengan menyenangkan. Sekolah kemudian terasa seperti penjara yang menyesakkan. Dalam iklim pembelajaran seperti ini, energi psikis siswa lebih banyak tersedot untuk membuat mata tetap terjaga, atau melawan kebosanan, daripada untuk mempelajari materi pelajaran. Sementara suasana kelas yang menyenangkan (fun) akan memberikan daya dorong bagi kegairahan siswa untuk mengembangkan diri secara lebih optimal.
Pembelajaran yang menyenangkan disebut Edutainment, perpaduan antara education (pendidikan) dan entertainment (hiburan). Sebuah proses pembelajaran yang didesain sedemikian rupa sehingga muatan pendidikan dan hiburan dapat dikombinasikan dengan harmonis. Pembelajaran, oleh karenanya, terasa lebih menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan dapat dilakukan dengan humor, permainan (game), bermain peran (role play), kuis, berselancar di internet mencari informasi baru tentang topik yang sedang dipelajari (webquest), dan sebagainya. Sebuah proses pembelajaran interaktif yang lebih memberi ruang kepada siswa untuk mengalami, mencoba, merasakan, dan menemukan sendiri.
Dave Meier (2000) dalam bukunya The Accelerated Learning Handbookmenyatakan, sudah saatnya pembelajaran pola lama diganti dengan pendekatan SAVI, agar pembelajaran berlangsung lebih efektif. Guru, dalam mengelola kelas, sebaiknya menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan intellectual (SAVI).
Somatic didefinisikan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing(belajar dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
Selain pendekatan pembelajaran, maka prinsip-prinsip pembelajaran juga perlu untuk diketehui. Dave Meier menguraikan ada beberapa prinsip-prinsip terebut. Prinsip yang pertama adalah Learning involves the whole mind and body yakni sebuah prinsip Pembelajaran melibatkan keseluruhan jiwa dan raga. Pembelajaran tidak boleh hanya sekadar menyentuh ‘kepala’ (kesadaran, berpikir rasional, ‘otak kiri’, dan verbal) akan tetapi melibatkan keseluruhan tubuh dan pikiran dengan emosi, rasa, dan intuisinya.
Kedua, Learning is creation, not consumption. Pembelajaran adalah kreasi, bukan konsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang dikonsumsi, namun sesuatu yang diciptakan siswa. Ketiga, Collaboration aids learning. Kerjasama membantu pembelajaran. Seluruh pembelajaran yang baik memiliki basis sosial. Kita sering kali belajar lebih baik ketika berinteraksi dengan teman. Kolaborasi antar siswa mempercepat pembelajaran. Masyarakat pembelajar selalu lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar daripada sekadar kumpulan individu-individu yang terisolasi.
Selanjutnya atau yang keempat adalah Learning takes place on may levels simultaniously. Pembelajaran berlangsung simultan pada berbagai tingkatan Pembelajaran bukanlah persoalan menyerap satu hal kecil pada suatu ketika secara linear, akan tetapi menyerap berbagai hal sekaligus. Oleh karena itu pembelajaran yang baik mendorong siswa untuk menyerap berbagai hal itu secara simultan (kesadaran dan parakesadaran, mental dan fisik). Otak akan lebih terangsang untuk bekerja optimal jika menerima stimulus tidak hanya satu level.
Pembelajaran sebagaimana diuraikan di atas adalah pendekatan baru yang perlu untuk ditelisisk dan mungkin lebih cocok dengan dinamika masa depan. Setelah mencermati kecenderungan masa depan yang semakin rumit dan kompleks, Dryden dan Vos (2001) dalam bukunya The Learning Revolution (Revolusi Cara Belajar) sampai pada kesimpulan, ‘pendidikan adalah kunci utama untuk membuka masa depan alternatif’. Sudah barang tentu bukan sembarang pendidikan, akan tetapi pendidikan yang mampu ‘menyiapkan siswa untuk menghadapi dunia nyata’.
Di sekolah siswa perlu disadarkan tentang harapan yang mereka pikul, tantangan yang mereka hadapi, dan kemampuan yang perlu mereka kuasai. Sekolah yang baik, di mata Dryden dan Vos, adalah sebuah sekolah tanpa kegagalan. Semua murid teridentifikasi bakat, keterampilan, dan kecerdasannya sehingga memungkinkan mereka menjadi apa saja yang mereka inginkan.
Di masa depan, proses belajar akan semakin mandiri: diarahkan sendiri dan dipenuhi sendiri. Ini berarti siswa perlu diberi cukup ruang untuk mengeksplorasi, bereksperimen dan mengajari dirinya sendiri. Model pendidikan tradisional yang ‘serius’ dan over regulasi perlu diganti dengan belajar ‘mandiri’, berdasarkan prinsip-prinsip ilmu kognitif modern-termasuk penemuan, pemaknaan, keterlibatan penuh, dan pengujian. Dengan model ini kecintaan belajar secara alami akan tumbuh dalam diri setiap orang. Semangat autodidak dapat berkembang subur.
Kedepan sekiranya semua elemen pendidikan seperti penentu kebijakan dalam hal ini pemerintah hingga elemen yang pelaksana pendidikan seperti guru dapat mempertimbangkan pendekatan-pendekatan pembelajaran tersebut agar kitranya dapat digunakan dan dipatenkan dalam institusi pendidikan agar supaya pendidikan negeri kita di masa mendatang mampu menjawab tantangan global.
Oleh: Asran Salam
