OPINI | Berton-ton kata makian kau lemparkan ke dia, dia tetap tersenyum. Desingan suara protes melengking dari moncong megaphone kau tembakkan kepadanya, dia tetap mengagap mu anak. “Jangan di tangkap itu anak-anak demo, itu karena mereka ingin daerah ini baik,” hanya itu yang terlontar dari mulutnya.
Pernah suatu waktu datang paket tawaran branding politik kepadanya. “Kalian mau apakan saya? saya tidak bisa tampil dengan citra-citra seperti itu. Biar mi saja begini.”
Selama kurang lebih lima tahun pemerintahannya, Arjuna meracik sebuah komposisi pemerintahan yang plural. Didalamnya semua golongan terakomodasi secara proporsional. Luwu Utara sebagai sebuah daerah yang multi etnis memang harus seperti itu. Ia berhasil memperhitungkan (to count) mereka yang minoritas dan menempatkan mereka dalam komposisi pembangunan.
Kelapangan hatinya menerima kritikan sama seperti kelapangannnya mengakomodasi perbedaan. Kerendahan hatinya merespon demonstrasi sama seperti kesediaannya mengevaluasi kinerja pembangunannya. Kerendahan hati seorang pemimpin merupakan instrumen paling ampuh dalam melakukan koreksi sistemik kedalam internal kemanusiaanya.
Arifin Junaidi memang bukan pemimpin yang sempurna, banyak kekurangan terlihat dimana-mana. Tapi kan memang tidak ada yang sempurna dikolong langit ini. Justru ketidak-cukupan itulah yang membuatnya terus bergerak.
Demokrasi memang adalah sesuatu yang “tidak pernah cukup”, tapi kendati ia tidak mencukupi, kita tetapi membutuhkannya. Artinya, ketakcukupan itulah yang berperan menimbulkan gairah dan antusiasme dalam mendorong perbaikan kearah yang lebih baik.
Demokrasi adalah alat untuk menemukan sesuatu yang “termungkin”. Sebagai pemimpin, Arjuna memang bukan ideal “terbaik”, tetapi ia yang “termungkin” jika kita melihat kondisi sosial kebudayaan masyarakat Luwu Utara. Setidaknya dalam kepemimpinannya lima tahun ini, ia berhasil meletakkan jaminan kebebasan bereskpresi dan membuka peluang sirkulasi diskursus ditengah-tengah masyarakat.
Dalam perkembangan sejarahnya, demokrasi di Luwu Utara selalu berdasar pada kondisi sosial dan kesejarahan manusianya. Karena dari kondisi itulah demokrasi mampu menyelenggarakan toleransi dan pluralisme. Demokrasi yang tumbuh dalam toleransi akan menetap dalam laku kebudayaan, dan menjadi etika politik yang otentik.
Masyarakat Luwu Utara mesti dilihat Sebagai l’imaginaire social, himpunan nilai dan tujuan “kolektif” yang mesti menjadi pertimbangan primer dalam momentum Pilkada. Jangan pernah memaksakan sesuatu yang tidak “memadai” untuk dijadikan “sasaran bersama” (colective objectives) karena akan melahirkan fatalitas sosial dan budaya.
Inilah yang dipertaruhkan dalam Pilkada Luwu Utara kali ini. Democratie a venir, kata Deridda. Demokrasi selalu berbicara “sesuatu yang akan datang”. “Pilihan yang salah” dan “salah pilih” dapat mendegradasi toleransi dan pluralisme yang telah lama menetap dalam kebudayaan masyarakat Luwu Utara.
Oleh: Rival Pasau, Mantan Ketua Umum PP PEMILAR
