LAGALIGOPOS.COM – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melaporkan adanya 199 bakal calon anggota legislatif (bacaleg) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mantan narapidana korupsi di dalam daftar bakal calon yang diajukan oleh partai politik peserta Pemilu 2019.
Jumlah Bacaleg ini tersebar di 11 provinsi, 93 kabupaten, dan 12 kota.
Di tingkat DPRD provinsi, sembilan bacaleg mantan narapidana korupsi diajukan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jambi, empat bacaleg ke KPU Bengkulu, tiga bacaleg ke KPU Sulawesi Tengara dan KPU Kepulauan Riau, masing-masing dua bacaleg ke KPU Riau, Banten, Jawa Tengah, Nusa tenggara Timur (NTT), dan satu bacaleg ke KPU DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.
“Total bacaleg terpidana korupsi di provinsi ada 30. Jumlah terbanyak di provinsi Jambi, yakni sembilan orang,” sebagaimana tercantum di dalam laporan Bawaslu yang dikutip dari rumahpemilu.org (26/7/2018).
Di tingkat DPRD kabupaten, Bawaslu menemukan 148 bacaleg mantan narapidana korupsi yang dicalonkan. 6 bacaleg di Kabupaten Buol dan Kabupaten Katingan. 5 bacaleg di Kabupaten Kapuas. 4 bacaleg di Kabupaten Belitung, Kabupaten Trenggalek, dan Kabupaten Kutai Kartanegara.
3 Bacaleg di Kabupaten Seruyan, Kabupaten Alor, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Natuna, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. 2 bacaleg di Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Banggai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Barito Selatan, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Kampar, Kabupaten Karawang, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Mukomuko, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Sumba Barat Daya, Sumbawa dan Rokan.
63 bacaleg mantan narapidana korupsi lainnya dicalonkan di 63 kabupaten lainnya.
Kemudian, di tingkat DPRD kota, 4 mantan narapidana korupsi terdapat di Kota Lamongan, 3 bacaleg mantan koruptor di Kota Pagar Alam, 2 di Kota Cilegon, Kota Gorontalo, Kota Kupang dan Kota Sukabumi, serta masing-masing 1 orang di Kota Madiun, Kota Sabang, Kota Tual, Kota Manado, Kota Pramulih dan Kota Tebing Tinggi.
Jika dilihat dari partai politik yang mencalonkan, seluruh partai politik yang memiliki kursi DPR RI saat ini mencalonkan mantan narapidana korupsi. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Golongan Karya (Golkar) paling banyak mengajukan bacaleg mantan koruptor. Partai Gerindra mengajukan 28 bacaleg dan Partai Golkar 26 bacaleg.
Sementara dua partai yang mengajukan mantan narapidana korupsi paling sedikit adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 5 bacaleg dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan 7 bacaleg.
Tak hanya partai politik lama, partai politik baru juga turut mengajukan bacaleg mantan narapidana korupsi. Terbanyak, Partai Beringin Karya (Berkarya) 15 bacaleg dan Partai Indonesia Raya (Perindo) 12 bacaleg. Di Kabupaten Buol, lima Bacaleg yang diajukan oleh Partai Berkarya merupakan mantan narapidana korupsi.
Adanya bacaleg mantan narapidana korupsi dalam daftar bacaleg Perindo dipertanyakan, sebab Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo, pada saat mengadakan konferensi pers di gedung KPU RI pada 17 Juli 2018 mengatakan bahwa Perindo tak mencalonkan bacaleg mantan narapidana korupsi.
“Kami tidak mencalonkan orang yang punya rekam jejak tidak baik, apalagi mantan narapidana korupsi,” kata Hary.
8 bacaleg mantan narapidana korupsi berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 11 dari Partai Amanat Nasional (PAN), 11 dari Partai Demokrat, 11 dari Partai Bulan Bintang (PBB), 17 dari Partai NasDem, 13 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), 15 dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), 6 dari Partai Gerakan Perubahan Rakyat (Garuda), 7 dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan 1 dari Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA).
Adapun 6 nama bacaleg mantan narapidana korupsi lainnya yang dilaporkan Bawaslu tak tertulis asal partainya.
Sebagaimana dilaporkan oleh Tim Hubungan Masyarakat (Humas) Bawaslu RI, hasil rekapitulasi jumlah mantan narapidana korupsi di daftar bacaleg DPRD didapatkan dari pengawasan melekat dengan memeriksa informasi Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dan Surat Keterangan Pengadilan. Data bersifat potensial, yakni dapat berkembang sebelum dinyatakan Memenuhi Syarat (MS) atau Tidak Memenuhi Syarat (TMS). (**)