OPINI

DEMOKRASI MILIK SIAPA?

OPINI | Baru sebulan berjalan rezim kekuasaan baru, aneka ucapan, kebijakan, tindakan dan perilaku penguasa telah menunjukkan gejala perkembangan ke arah semacam “kamar gelap demokrasi”—sebuah sistem kekuasaan demokratis yang dijalankan oleh orang-orang yang under-capacity, tak-terpercaya, tak kompeten, tak-amanah, tak-terukur dan bahkan ‘tak-tampak’ oleh publik. Kita seperti berhadapan dengan “bola liar kekuasaan”, yang tak jelas siapa pemiliknya, tapi efek-efeknya dapat kita rasakan. 

Orang ‘awam’ politik sekalipun akan segera merasakan, bahwa di tubuh rezim ini ada ‘dua kekuasaan’ yang beroperasi. Pertama, kekuasaan para elit penguasa yang sehari-hari kita lihat ucapan, kebijakan dan tindakannya: menaikkan harga BBM, mengancam kapal asing, menyerang para pendemo, mengusulkan penghapusan kolom agama di KTP, meminta rakyat makan singkong, dst. Kedua, ‘kekuasaan’ pihak-pihak yang tak tampak, tapi efek kekuasaan mereka dapat dengan mudah dirasakan. Inilah ‘kekuatan tak-tampak’ (invisible power) yang mengendalikan bangsa ini.

Ironisnya, pemimpin tertinggi dari rezim ini—yang memiliki kekuasaan formal atau otoritas—tidak memiliki kapasitas yang diperlukan untuk memimpin sebuah negara besar seperti Indonesia. Presiden, sebagai pemimpin tertinggi negara, semestinya adalah pemimpin yang ‘paripurna’ (comprehensive): pemimpin politik, ekonomi, sosial, kultural, mental bahkan ‘spiritual’, meskipun tak perlu mendalami semuanya. Melalui kekuatan intelek, kecakapan, kecerdasan dan pengalamannya yang kaya, ia dapat memainkan ‘peran diplomatis’ yang cerdas dan cantik di kancah internasional, sebagai jalan untuk menunjukkan ‘kekuatan’ sebagai bangsa.

Pemimpin yang under-capacity segera menjelma menjadi pemimpin yang under-power: pemimpin yang tak memiliki ‘wibawa otoritatif’, baik secara nasional maupun internasional. Ucapan pemimpin macam ini yang seringkali di luar bingkai hukum, bersifat ‘a-politis’, tak-terukur implikasinya, tak-konsisten, tak-taat azas, tak menunjukkan otoritas, tak-berwibawa, tanpa konsep besar, dan tanpa visi yang jelas kian memperlemah wibawa-otoritatifnya. Ia menjadi ‘pemimpin lemah’, yang membawa negara-bangsa menjadi ‘negara lemah’ (weak state).

Lantas, siapa yang ‘kuat’? Yang kuat bukan rakyat. Weak state tak serta merta menciptakan strong society. Yang kuat justru ‘kekuatan tak-tampak’ dan aparatus-aparatus negara yang telah dikendalikan oleh mereka. Ketika rakyat tewas oleh keganasan aparat, dan pemimpin tertinggi negara mengatakan, bahwa itu adalah urusan aparat keamanan, pernyataan ini menciptakan ‘kekuasaan’ aparat negara yang ‘sempurna’. Di sini, Totalitarianisme tak tumbuh dari penguasa tiran, tetapi dari aparat negara dengan ‘kekuasaan sempurna’ (perfect power), yaitu kekuasaan penuh untuk bertindak sendiri.

Karena otoritas kekuasaan dijalankan oleh rezim yang under-capacity, ada satu fondasi penting lain dari demokrasi yang juga terancam, yaitu ‘keterpercayaan’ (trust), dengan tumbuhnya iklim saling-tak percaya di antara lembaga-lembaga negara yang ada. Ini yang menciptakan wajah demokrasi kita kini seperti “kamar gelap demokrasi”, yang di dalamnya tak ada yang dapat dipercaya, karena rezim yang memegang ‘kekuasaan formal’ tak mampu membangun ‘keterpercayaan’, sementara wajah pemilik ‘kekuasaan yang sesungguhnya’ kabur atau tak-tampak. Mana mungkin saling percaya dalam ‘kegelapan’!

Pasar gelap politik tumbuh ketika kekuatan politik yang dilandasi sistem norma, konsensus dan kontrak politik formal (contractual power) tak bekerja, sehingga yang tumbuh adalah bola-bola liar kekuatan ilegal (illegal power), yaitu kekuatan-kekuatan yang melanggar, tanpa landasan, atau di luar bingkai hukum formal. Ucapan, kebijakan, tindakan dan perilaku para pemilik kekuatan ilegal ini mengabaikan segala bentuk kesepakatan, kompromi dan konsensus politik yang legitimated. Ini karena otoritas digunakan oleh seorang pemimpin yang dalam banyak kasus ‘tuna-hukum’, ‘tuna-politik’ bahkan ‘tuna-etika’.

Di dalam pasar gelap politik macam ini, keputusan politik tak lagi diambil berdasarkan diskursus politik rasional, komunikasi politik sehat dan nalar politik waras, akan tetapi berdasarkan metode ‘kekerasan simbolik’ (symbolic violence): saling sandera, saling tuduh, saling ancam dan saling boikot, yang menghancurkan nalar politik demokratis. Pasar gelap politik macam ini mengancam masa depan demokrasi, karena ia seperti bola liar yang melabrak segala norma, aturan dan etika politik, dalam kondisi, di satu pihak, lemahnya negara (weak state); dan di pihak lain, dibungkamnya suara rakyat (weak society).

Berlanjutnya kultur penyanderaan dan ancaman politik, kian kokohnya kekuatan tak tampak, pelanggaran janji-janji politik, pengkhianatan terhadap kontrak kekuasaan, pembelotan terhadap koalisi di dalam pasar gelap politik, telah mengancam tidak saja keutuhan koalisi, tetapi juga roda kepemerintahan, penegakan hukum dan masa depan demokrasi itu sendiri. Demokrasi kini dibangun oleh sederetan ‘penanda kosong’ (empty signifier), yaitu janji, konsensus, dan kontrak politik sebagai jargon hampa tanpa makna, karena tak pernah dipraktikkan dan dilaksanakan.

Lantas, siapa yang menjadi korban dari ‘janji palsu’ dan pepesan kosong ‘kontrak politik’ di dalam sebuah pasar gelap politik dan weak state macam ini? Siapa lagi kalau bukan rakyat! Weak state, ironisnya, menciptakan pula weak society, yaitu ‘ketakberdayaan total’ rakyat, di hadapan aparat negara represif. Padahal, ketakberdayaan adalah ‘musuh’ terbesar demokrasi, karena tujuan demokrasi adalah pemberdayaan dan emansipasi. Demokrasi adalah pemberdayaan—bukan ‘pembungkaman’ suara rakyat—untuk membangun ‘keberanian’ menyatakan kebenaran.

Keberanian adalah kekuatan mengatasi kecemasan, ketakutan dan skeptisisme, untuk membangun strong society. Di dalamnya, rakyat memiliki ‘keberanian’ menyuarakan kekuatannya—kekuatan rakyat. Akan tetapi, demokrasi juga menuntut ‘keberanian penguasa’, yaitu kekuatan “mendengarkan suara rakyat” secara bijak, untuk membangun strong state. Demokrasi ‘para pengecut’ adalah demokrasi yang membungkam suara rakyat, karena tak memiliki kapasitas argumentatif, strategis dan diplomatis untuk melawan suara-suara kritis itu. Inilah demokrasi, di mana suara-suara kebenaran diberangus arogansi kekuasaan.

Oleh: Yasraf Amir Piliang, FSRD ITB
Sumber: Catatan Facebook Yasraf Amir Piliang
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top