OPINI | Benarkah ruang peradilan hadir sebagai house of justice ? Ataukah benarkah struktur hukum menghadirkan keadilan bagi masyarakat. Lalu benarkah keadilan sebagai sesuatu yang memiliki daya abstraksi begitu tinggi mampu terwakili oleh serangkain teks-teks hukum yang di deklartifkan sebagai sebuah hukum positif. Juga benarkah polisi mesti mengenyampingkan ruang humanisme demi alasan penegakan nalar posistivisme hukum.
Lalu bagaimana hukum mampu hidup, dalam orde sosial yang berbeda. Jika serangkaian kepastian hukum menyasar semua orde sosial, dalam satu tafsir tunggal. Hali ini menjadi Suatu problematika hukum yang begitu sangat akut, jika dibentangkan pada aras keadilan dan moralitas berhukum.
Beberapa pertanyaan tersebut di atas, mungkin begitu pelik untuk menemukan jawaban ideal dalam paradigma berhukum kita. Menjawab hal tersebut, butuh memasuki ruang kebatinan hukum atau memasuki sukma hukum menurut Mahfud MD. Tentu hal tersebut dilakukan sebagai upaya reflektif sosio-kulural, atau gerak ikhtiar menjadikan hukum sebagai ilmu yang bergerak mendekati manusia.
Melihat bertumbuhnya hukum dari kehidupan masyarakat, sebagaimana tafsir Cicero dimana ada masyarakat, disitu ada hukum (ubi societas ibi ius). Maka hukum adalah serangkaian kehadiran dari objektifikasi kontrak sosial-kultural masyarakat. Hukum bertumbuh dari kristalisasi keadaban ruang sosial berkebangsaan. Pada titik itu, hukum lahir dari rahim kearifan-sosio-kultural yang mesti memayungi gerak perubahan sosial.
Tetapi, problem positivisme hukum, membuat hukum tertutup terhadap diskursus keadilan, bahkan terhadap tafsir sosiologis-kultural secara utuh. Karakter hukum modern pada sistem Civil Law membuat penegak hukum pada permaslahan sosial menyisir persoalan dari serangkain pasal yang tersisip dalam Undang-Undang. Termasuk pada hal-hal yang menyangkut hak-hak keberlangsungan untuk hidup. Pada sisi itu, hukum secara nyata tidak diberdirikan pada kaki kultural kebangsaan.
Dalam aliran positivisme hukum, hakim juga polisi ditakdirkan semata pelaksana undang-undang, atau trompet pasal per pasal. Penegak hukum ibarat sebuah mesin produksi atau Robot hukum dalam pandangan Satjipto Rahardjo, dimana nalarnya dihidupkan di tempat lain, moralitas diabsenkan, serta rasa kemanusiaan kerap di tanggalkan.
Paradigma berhukum seperti itu terus saja di adopsi oleh struktur hukum kita, tanpa upaya progresif keluar dari cengkaraman pandangan yang mengabsolutkan kepastian dan meninggalkan relasi sosial, bahkan atas nama kepastian hukum menggusur hak-hak dasar manusia. Pada persoalan-persoalan yang menyangkut keberlangsungan hidup, mayarakat di depan hukum menjadi tidak bermartabat, hukum dimetamorfosakan oleh strukur hukum bukan sebagai sarana munculnya pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat.
Adanya ketegangan penegakan hukum atas kepastian hukum, dan pemenuhan rasa keadilan pun kita jumpai dalam eksekusi lahan Purangi- Sampoddo dengan luas lahan 25,5 Hektar dan jumlah kepala keluaraga sekitar ± 50 Kepala Keluarga. Eksekusi seolah menjadi suatu hal yang mutlak tanpa melihat dalam ruang eksekusi itu ada Hak-hak hidup yang akan terampas dan hal tersebut sangat penting dinegosiasikan atas nama cita Pancasila, Konstitusi UUD 1945 atau atas nama culture masyarakat luwu yang kerap di agungkan.
Dalam berbagai penggusuran tanah-tanah rakyat, kadangkala polisi datang atas nama hukum, mengamankan dan masyarakat dianggap sebagai sahabat. Tetapi Ungkapan itu terlalu sumir bermakna retak, jika penegak hukum seperti polisi pada hakikatnya tidak berjiwa sipil, sebab tidak pernah memikirkan imbas sosial atas adanya penggusuran. Bahkan dalam berbagai konflik agraria justru “struktur hukum” sering memperlancar hilangnya hak-hak sosial rakyat.
Bagi Satjipto Rahadrjo dalam bukunya Membangun Polisi Sipil, Perspektif Hukum, Sosial Dan Kemsayarakatan, struktur hukum termasuk diantaranya kepolisian, dalam melaksanakan pekerjaannya tidak boleh menyebabkan manusia kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Satjipto secara sosiologis ingin melahirkan karakter polisi berjiwa sipil, baginya polisi mesti bersedia mendengarkan dan mencari tahu hakikat penderitaan rakyat bukan semata subjek dari paradigma kepastian hukum. Satjipto Rahardjo menduga jika kekakuan tersebut berlangsung tiada henti, maka yang terjadi adalah munculnya “robot-robot hukum” dan menjauhkan polisi dari jiwa sipil.
Putusan yang kelihatan tidak memuat paradigma perlindungan sosial. Menggusur keadilan dari hukum mestinya dijembatani oleh pihak kepolisian yang kerap berinteraksi langsung dengan rakyat. Posisi hakim memang sangat jauh dengan keploisian. Polisi dalam melaksanankan tugas berinteraksi dengan kultur sosial secara langsung, ada bermacam problem sosial yang akan mereka temukan dan hal tersebut tidak pernah dilihat oleh para hakim dalam memberi putusan dalam suatu perkara. Hakim adalah sosok yang hidup dalam ruangan mewah yang pandangan sosialnya dibatasi oleh mewahnya gedung serta sejuknya AC.
Polisi yang bejiwa sipil harus membangunkan ruang dialogis, atas beberapa hak dasar hidup masyarakat yang terancam terampas. Penegak hukum mesti jenih melihat bahwa dalam cita konstitusi sosial-ke indonesiaan sendiri ada tiga fungsi hadirnya negara terhadap rakyatnya. Pertama sesungguhnya negara memiliki fungsi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia. Kedua negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum serta yang ketiga negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Tiga fungsi negara tersebut sesungguhnya meletakkan rakyat pada posisi yang begitu bermartabat sebagai tujuan hadirnya negara hukum, bukan justru menghadirkan stuktur berbegara yang mencerabut rakyat dari hak-hak asasi manusianya. Lalu apakah Negara hukum mampu mebahagiakan rakyatnya?
Mungkin benar negara hukum telah menjelma menjadi negara kekuasaan yang akhirnya atas nama “hukum” negara hadir menciptakan yatim piatu secara sosial karena rakyat tak bisa bertahan di rumah-rumah mereka yang telah dibangun bertahun-tahun. Ataukah kita harus melihat potret masa lalu di era otoritarianisme orde baru dimana masyarakat ada yang menggantung dirinya, sebagai kritik betapa ujung kaki mereka begitu sulit berdiri tegak di kaki ibu pertiwi.
Banyaknya keluarga yang tergusur akan mempengaruhi keberlanjutan kehidupan mereka. Dimana ruang bertahan kehidupan selanjutnya. Berapa banyak rumah yang telah dibangun dari perjuangan yang begitu lama harus dimulai dengan kehidupan yang baru. Berapa lama mereka akan menciptakan kembali ruang harmoni ditempat yang lain. Mengapa atas nama penegakan hukum memory kebersamaan juga turut terampas. Pertanyaan itu mesti dijawab jika polisi memhami cita-cita Konstitusi serta harapan Satjipto Rahardjo penemu teori hukum Progresif, tentang pembaharuan wajah kepolisian menuju polisi yang berkarakter jiwa sipil.
Apa yang muncul jika struktur hukum ternyata mengeyampingkan semua permaslahan sosial tersebut. Kita mungkin akan kehilangan harapan terhadap arah penegakan hukum kita. Sebab segalanya dilihat dari kacamata kepastian hukum saja, bahwa telah ada putusan tetap dari MA itu benar, tetapi apakah disana tidak ada negosiasi kultural terhadap permaslahan sosial yang akan timbul dengan melibatkan kepolisian, eksekutif dan legislatif.
Prof. Satjipto Rahadjo lalu menjelaskan bahwa Polisi progresif harus tampil dalam wajah polisi Indonesia, dan tidak semata hidup dalam tawanan pasal demi pasal sebab polisi dalam kenyataannya bergemilang interaksi dengan problem sosial.
Oleh: Kaharuddin Anshar, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Musli Indonesia