OPINI | Kita terlalu naif mengira bahwa dengan teori ekonomi Barat akan berhasil keluar dari sistem ekonomi agraris ke sistem ekonomi industrial seperti yang kita kenal dewasa ini. Mari kita lihat sejarah bagaimana Barat berkembang in real term, dan bukan in artificial theory.
Sejak teknologi pelayaran berkembang pesat dan didukung oleh teknologi perang (mulai di jaman Columbus), Barat berhasil menguasai lautan dan dunia. Jejak VOC dapat kita pakai sebagai contoh yang realistis mengenai apa yang dilakukan Barat di mancanegara. VOC, yang sering disebut sebagai perusahaan dagang itu, sesungguhnya adalah perampok yang dilengkapi dengan kapal perang dan tentara partikelir. Jadi, ia bukanlah armada dagang yang dikelola oleh manajer bisnis. Tentara VOC itulah yang menaklukkan Mataram pada tahun 1645, bukan tentara Pemerintah Belanda.
Orang Barat tidak pernah mengakui bahwa mereka menjajah, karena mereka cuma menemukan daerah baru. Begitulah Columbus menemukan Benua Amerika, dan Benua Amerika itu diaku sebagai miliknya, milik bangsanya. Tetapi Columbus cuma mendarat di salah satu pulau kecil, sehingga orang Barat lainnya masih mempunyai peluang untuk menemukan bagian benua Ameria lainnya. Begitulah orang Barat berlomba-lomba menemukan daerah baru.
Itulah persis yang juga terjadi di wilayah Nusantara. Karena wilayah Nusantara itu luas, maka orang Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris berlomba-lomba menemukan bagian-bagian yang berlainan dari kepulauan kita. Dan berperanglah mereka selama ratusan tahun memperebutkan wilayah-wilayah yang diketemukannya.
Perkembangan teknologi dan terkumpulnya dana dari wilayah jajahan dan jarahan, membuka peluang baru untuk mengeksploitir wilayah jajahan secara lebih intensif lagi, seperti “Land Reform” pada tahun 1870, yang isinya adalah sebentuk Proklamasi bahwa seluruh wilayah Indonesia kini adalah milik Belanda, dan bisa disewakan kepada investor yang ingin membuka perkebunan. Sistem sewa itu disebut erfpacht yang berarti sewa pekarangan! Begitulah wilayah Indonesia yang “1000 kali wilayah Belanda” dipandang cuma pekarangan dari negeri kincir angin tadi.
Bagaimana nasib penduduk di wilayah-wilayah yang mereka ketemukan? Tentu, mereka memberlakukan asas hukum di atas segala-galanya, hukum formal yang mereka bawa dari negerinya. Berdasarkan hukum itu terbukti bahwa penduduk lokal tidak memiliki sertifikat tanah, sehingga mereka dipandang sebagai penghuni liar.
Meskipun demikian Pemerintah Belanda bertindak adil, tidak mengusir mereka, sejauh mereka tidak mengganggu kepentingan Pemerintah Belanda, atau Pemerintah Belanda belum memerlukan tanah yang digunakan oleh penduduk asli.
Ajaib, itulah persis yang dilakukan pemerintah Republik dengan menyewakan hutan dalam bentuk HPH. Bahkan, apa yang dilakukan oleh pemerintah Republik mungkin lebih sadis lagi, karena pengusaha hutan itu tidak nanam apa-apa kecuali nebang kayu tanpa ada yang mengawasi, sehingga menimbulkan dampak yang sangat memprihatinkan terhadap kelestarian lingkungan dan nasib penduduk yang bermukim di wilayah HPH, yang kemudian dituduh sebagai penebang liar yang perlu dikolonikan seperti pemukiman kembali orang Indian di daerah reservasi.
Penjarahan dan perampokan di negara jajahan itulah yang berhasil mendorong Barat berkembang dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial. Mereka merampok lebih dahulu untuk mengumpulkan modal. Sesudah modal terkumpul baru mereka menggunakan hukum-hukum ekonomi dan HAM, supaya hasil rampokan itu tidak dirampok kembali oleh orang lain.
Ingat pula, bahwa lebih dari separuh penduduk Eropa Barat hijrah ke mancanegara, menimbulkan berkurangnya persaingan dalam negeri dan tren meningkatnya lahan pertanian per petani. Kondisi seperti itulah yang memungkinkan terjadinya Revolusi Agraris yang ditunjung oleh modal yang mereka kumpulkan dari negara jajahan.
Itulah persis yang dilakukan oleh konglomerat nasional. Karena semula mereka tidak punya modal, maka mereka ya harus maling dulu, misalnya melalui BLBI, HPH, BPPC, Proyek Pembangunan Pemerintah, dan berbagai Surat Sakti atau ketebelece. Karena mereka tidak bisa maling di luar negeri, maka tidak ada alternatif lain kecuali mereka harus maling di negeri sendiri. Baru sesudah mereka punya modal, maka mereka bisa menjalankan hukum-hukum ekonomi untuk menjalankan bisnis mereka. Sayang, cuma bisnis ASPAL, sehingga ekonomi nasional pada 1997 bangkrut terbawa arus maling. Ya, formalnya bisnis, tetapi realitanya maling.
Orang Barat juga sebenarnya tidak tahu bagaimana dari masyarakat agraris-kerajaan mereka bisa membangun masyarakat demokratis industrial. Yang jelas, demokrasi dalam masyarakat Barat baru bisa berjalan cukup baik sesudah mereka punya cukup banyak duit dan tercapainya tingkat pendidikan masyarakat yang memadai! Karena itu, untuk menegakkan demokrasi versi Barat tidak sulit, asalkan saja bangsa kita punya GNP sekitar US$ 7.000/kapita/tahun, seperti yang dimiliki bangsa Amerika pada akhir Perang Dunia Kedua. Lebih mudah lagi kalau GNP kita sama seperti GNP bangsa Amerika sekarang.
Semoga Anda menyadari bahwa mustahil bangsa-bangsa yang sedang berkembang bisa mengikuti keteladanan Barat untuk berkembang seandainya bangsa-bangsa itu hanya menjadi peniru dan penjiplak. Bahwa perkembangan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan mirip dengan perkembangan pasca-Revolusi Perancis, merupakan peringatan mengenai konsekuensi peniruan dan penjiplakan seperti itu.
Kita tahu, tokoh Revolusi Perancis, Mirabeau, berhasil menggulingkan Raja Perancis, dan membawa masyarakat Perancis ke dunia anarki, sehingga akhirnya Pelopor Revolusi Perancis itu mati di bawah guillotine. Tokoh Revolusi Indonesia, Bung Karno, juga berhasil menggulingkan Pemerintah Belanda, dan membawa masyarakat Indonesia ke dunia anarki, sehingga akhirnya Pelopor Revolusi Indonesia itu meninggal dalam tahanan rumah. “Penyelamat Revolusi Perancis” adalah Jenderal Napoleon Bonaparte, anak nelayan dari Corsica, yang berhasil membangun kembali Kerajaan Perancis. Sementara, “Penyelamat Revolusi Indonesia” adalah Jenderal Soeharto, anak petani dari Kemukus, yang berhasil membangun kembali Kerajaan Mataram Jilid 3.
Kini, Barat dengan rela melepaskan wilayah-wilayah jajahan, kecuali benua Amerika, yang mereka duduki secara permanen. Bukan, pelepasan wilayah jajahan itu bukan karena mereka sudah menjadi manusia bermoral, melainkan karena penguasaan teknologi tinggi dan modal menjadikan teknologi penjajahan jadi kadaluwarsa! Ya, kini mereka tidak lagi memerlukan tenaga murah, karena tenaga mesin sudah jauh lebih murah! Mereka juga tidak lagi memerlukan teknik penjajahan politik, karena teknik penjajahan ekonomi dan moneter jauh lebih efektif lagi!
Apalagi, orang yang secara politis dijajah cenderung akan melawan atau menjadi teroris, sehingga bisa menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Hal sebaliknya tak terjadi pada penjajahan ekonomi. Orang yang secara ekonomis dijajah, secara ironis justru sangat berterimakasih kepada sang penjajah, sehingga mereka tak segan berdoa mohon keridhaan IMF dan G-7 untuk mengucurkan modal penjajahan mereka lebih banyak lagi. Sungguh celaka!
Oleh: Hidajat Nataatmadja Dicuplik dari buku Hidajat Nataatmadja, “Inteligensi Spiritual” (Jakarta: Perenial Press, 2002)
