OPINI | Bahwa negeri ini terus membangun dan kemajuan terjadi di banyak sektor, tak seorang pun membantah. Tidak hanya di era pemerintahan yang bersemboyan “kerja, kerja, kerja”, di era pemerintahan sebelum-sebelumnya, pembangunan dan kemajuan terjadi juga.
Tidak hanya di tingkat nasional pembangunan dan kemajuan itu terjadi. Di tingkat provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, dan pelosok perdesaan, mudah sekali untuk menunjuk pembangunan dan kemajuan itu.
Banyak jalan, stasiun, pelabuhan, bandar udara telah mengantar dan menghubungkan mereka yang sebelumnya terisolasi. Banyak bangunan telah berdiri untuk tempat tinggal dan tempat kerja. Banyak lembaga pendidikan didedikasikan untuk mencerdaskan anak bangsa.
Masih banyak lagi hasil pembangunan dan kemajuan jika hendak dirinci satu per satu di sini. Dusta kita jika tidak melihat hal-hal itu sebagai bukti pembangunan dan kemajuan negeri.
Namun, untuk apa pembangunan dan kemajuan itu diwujudkan? Kerap dengan menyingkirkan mereka yang tidak sepaham, untuk apa semua itu dilakukan?
Pertanyaan ini mudah mendapatkan jawabannya. Untuk pembangunan ekonomi demi peningkatan kesejahtaraan sosial, pembangunan dan kemajuan itu diwujudkan.
Pertanyaan yang lebih sulit adalah, untuk siapa pembangunan dan kemajuan itu diwujudkan?
Pertanyaan yang lebih sulit ini juga relatif mudah ditemukan jawabannya. Dalam janji-janji kampanye, jawaban untuk pertanyaan sulit ini pun mudah ditemukan.
Ketika debat calon presiden (Juni 2014), Joko Widodo menyebut nama-nama konkret untuk pertanyaan di atas. Pembangunan dan kemajuan didedikasikan untuk Ibu Heli, tukang cuci di Manado, Bapak Abdul, nelayan di Belawan, Ibu Satinah, buruh tani di Banyumas, dan Bapak Asep, guru di Jawa Barat.
Pilihan tepat menyebut nama-nama konkret rakyat yang hendak disasar oleh “kerja, kerja, kerja” pemerintah. Kepada Bu Heli, Pak Abdul, Bu Sutinah, dan Pak Asep, pemerintahan ini akan bercermin. Melalui Bu Heli, Pak Abdul, Bu Sutinah, dan Pak Asep, rakyat akan dimudahkan untuk membuat penilaian.
Tentu tidak sekarang, saat janji baru diucapkan sekitar dua tahun dan pemerintahan yang terpilih karena janji itu belum genap dua tahun berjalan. Satu periode pemerintahan mungkin cukup memadai dan realtif adil untuk membuat penilaian.
Masih ada waktu sekitar tiga tahun untuk “kerja, kerja, kerja”. Dengan cita-cita memerintah dua periode yang sudah mulai dinyatakan dan mendapat dukungan, perbaikan kesejahteraan Bu Heli, Pak Abdul, Bu Sutinah, dan Pak Asep akan dijadikan ukuran.
Namun, apakah pembangunan dan kemuajuan yang gigih diupayakan pemerintah itu serta merta mewujud dalam kehidupan nyata Bu Heli, Pak Abdul, Bu Sutinah, dan Pak Asep?
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Namun, apa yang dirilis Badan Pusat Statistik tentang indeks koefisien gini Indonesia pada September 2015 setidaknya memberi gambaran tentang tidak terjadinya pemerataan kesejahteraan sosial.
Pada September 2015, koefisien gini Indonesia berada di posisi 0,40. Meskipun turun 0,01 dibandingkan Maret 2015, angka ini masih mengkhawatirkan. Sebagai gambaran, koefisien gini Indonesia tahun 2000 ada di posisi 0,30.
Data ini secara sederhana dapat diartikan begini: sekitar 1 persen orang Indonesia menguasai 40 persen kekayaan nasional pada 2015. Kondisi ini meningkat tajam karena tahun 2000, sekitar 1 persen orang Indonesia itu hanya menguasai 30 persen kekayaan nasional.
Lantaran tidak kuasa atas 40 persen kekayaan nasional di tangah 1 persen orang Indonesia, tentu kita berharap, 60 persen kekayaan nasional sejak 2015 dinikmati secara merata di antara 99 persen penduduk Indonesia.
Namun, apa harapan itu nyata? Faktanya tidak demikian. Di antara 99 persen orang Indonesia itu ada tingkatan akumulasi kekayaan yang ketimpangannya justru kerap lebih dirasakan. Orang superkaya yang masuk 1 persen jarang menunjuk-nunjukkan tingkat kesuperkayaannya.
Keteguhan Pak Mayar
Soal ketimpangan dan bagaimana rakyat selalu dijadikan bahan “jualan” di setiap kampanye, saya selalu ingat Pak Mayar.
Pak Mayar mungkin seperti Bu Sutinah, buruh tani. Bedanya, sosok Pak Mayar nyata dan kerap saya jumpai baik saat janji kampanye dinyatakan maupun setelah dua periode pemerintahan berupaya dengan segenap upaya mewujudkan janji-janji kampanyenya.
Bagi saya, Pak Mayar adalah cermin untuk melihat bagaimana janji perubahan dengan semboyan “bersama kita bisa” diwujudkan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama dua periode.
Seperti dilakukan Jokowi, Pak Mayar disebut SBY ketika masa kampanye Pemilu Presiden 2004. Pak Mayar yang tinggal di Cikeas Udik, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, dimunculkan ke media setelah di Jakarta ada kesepakatan partai-partai besar membentuk “Koalisi Kebangsaan”.
Hanya didukung tiga partai kecil yang pas-pasan untuk maju sebagai calon presiden, SBY lantas menggalang dukungan langsung dari rakyat. Representasi dukungan rakyat itu dihadirkan dalam sosok Pak Mayar, buruh tani yang hidupnya serba pas-pasan.
Kedekatan SBY yang disebut Pak Mayar sebagai “Pak Beye” dengan rakyat secara langsung mengantar SBY yang saat itu berpasangan dengan Jusuf Kalla menang di putaran kedua Pilpres 2004. Megawati Soekarnoputri yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi dan didukung partai-partai besar dalam koalisi kebangsaan dikalahkan.
Setelah dilantik dan memerintah, SBY mewujudkan janji-janjinya kepada rakyat. Khusus kepada Pak Mayar, SBY berjanji mengaspal jalan tanah, membuat irigasi, dan mendirikan sekolah menengah atas negeri (SMAN) di Kecamatan Gunung Putri.
Tahun demi tahun, janji-janji itu mewujud. Jalan tanah yang becek dan tidak bisa dilalui kendaraan saat hujan sudah diaspal. SMAN pertama di Gunung Putri juga didirikan tepat di seberang rumah Pak Mayar. Hanya irigasi yang tidak mewujud dengan catatan.
Pak Mayar senang sekaligus sedih mendapati perubahan di desanya. Jalan-jalan yang diaspal tidak memudahkannya menjual lengkuas atau serai hasil tanamnya. Jalan-jalan yang diaspal mengurangi lahan garapannya untuk menanam lengkuas dan serai karena dijadikan perumahan-perumahan.
Jalan-jalan yang diaspal memuka isolasi Desa Wana Herang yang ditinggali Pak Mayar dan keluarganya. Terbukanya isolasi desa sekaligus mengantar datangnya para pendatang yang ingin menguasai lahan-lahan.
Karena desakan kebutuhan ekonomi, lahan yang dimiliki Pak Mayar dijual.
Tidak hanya itu, rumah tempatnya didatangi SBY berikut pekarangannya dijual karena panen lengkuas dan serai tidak mencukupi kebutuhan harian.
Untuk hadirnya SMAN di Gunung Putri, Pak Mayar juga senang karena warga desanya tidak harus pergi jauh untuk mengenyam pendidikan “tinggi”. Namun, karena alasan biaya yang tidak terjangkau, tidak satu pun cucu Pak Mayar bisa sekolah di SMAN itu.
SMAN itu jadi “pelengkap fasilitas” sejumlah perumahan yang didirikan di sekitar kampung Pak Mayar. Pak Mayar bersama anak-anak dan cucu-cucunya, serta sejumlah warga asli Wana Herang hanya bisa menyaksikan perubahan di kampungnya tanpa bisa ikut “merasakan”.
Kemajuan untuk siapa?
Setelah mendapati kondisi ini, saya datang beberapa kali ke rumah Pak Mayar. Kepada Pak Mayar dan keluarga serta warga di kampungnya, saya bertanya apakah menyesal memberi dukungan kepada SBY? Jawabannya mengharukan.
Pak Mayar dan warga kampungnya tidak merasa menyesal. Bahwa yang menikmati perubahan hasil pembangunan dan kemajuan adalan orang lain, Pak Mayar dan warga kampungnya bisa memaklumi. Pak Mayar merasa, banyak orang lebih butuh pemerintah daripada dirinya.
Karena itu, dukungan kepada pemerintah tidak pernah padam. Pak Mayar dan warga Wana Herang tidak banyak menyampaikan tuntutan. Pak Mayar teguh berharap suatu saat setelah orang lain mendapat perhatian, pemerintah akan memberi perhatian pada rakyat seperti dirinya.
Pak Mayar kemudian meninggal 29 Desember 2007 diikuti isterinya dengan keyakinan teguh bahwa pemerintah suatu saat akan memerhatikan rakyat kecil seperti dirinya, anak-anaknya, cucu-cucunya, dan tetangga-tetangganya.
Pilpres 2009, SBY kembali terpilih dalam satu putaran dengan suara meyakinkan. SBY yang perpasangan dengan Boediono meraih 73.874.562 atau sebesar 60,80 persen suara. Semangat melanjutkan pembangunan dan kemajuan digelorakan.
Menjelang periode kedua berakhir, Wana Herang berubah sebagai wujud dari pembangunan dan kemajuan. Bersamaan dengan datangnya perubahan ini, keluarga Pak Mayar dan warga Wana Herang makin terpinggirkan.
Gubuk kecil yang sebelumnya ditinggali Pak Mayar dirobohkan. Tanahnya sekitar 150 meter hendak dipakai salah satu anaknya untuk menanam serai lantaran makin sulitnya menggarap lahan yang sebagian besar telah jadi perumahan untuk para pendatang.
Kembali ke Jokowi. Pasti bukan tanpa tujuan ketika Jokowi menyebut Ibu Heli (tukang cuci di Manado), Bapak Abdul (nelayan di Belawan), Ibu Satinah (buruh tani di Banyumas), dan Bapak Asep (guru di Jawa Barat) yang katanya dijumpainya selama “blusukan” jelang Pilpres 2014.
Menjelang dua tahun pemerintahan dan mendekati peringatan kemerdekaan, wajah-wajah mereka perlu ditatap lagi untuk kemudian ditanya perubahan apa yang telah mereka rasakan. Apakah pembangunan dan kemajuan yang diupayakan sungguh-sungguh meningkatkan kesejahteraan sosial mereka?
Seperti dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945, pemerintah Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kesejahteraan yang diupayakan dan dimajukan adalah kesejahteraan umum.
Mendapati sejumlah warga negara yang tidak menikmati kesejahteraan umum yang harusnya diupayakan dan dimajukan pemeritah, saya jadi tersentak dengan gerakan sosial “Mereka Juga Merdeka” yang disiapkan untuk memperingati HUT ke-71 Republik Indonesia.
Salah satu ajakan gerakan sosial ini adalah untuk melihat anak-anak jalanan. Di DKI Jakarta, merujuk data yang dimiliki Dinas Sosial DKI Jakarta, jumlah anak jalanan terus meningkat seperti halnya angka nasional seperti dimuat di Harian Kompas.
Pada 2015, jumlah anak jalanan mencapai 7.300 anak. Angka ini melonjak hampir 30 persen dibanding tahun 2010 yang mencapai 5.650 orang. Anak-anak ini sehari-hari bekerja sebagai pengemis, pengamen, pengelap kaca mobil, pedagang asongan, joki 3 in 1, dan juru parkir liar.
Kepada mereka yang tidak atau belum juga menikmati kesejahteraan umum sebagai cita-cita kemerdekaan, pertanyaan mendasar ini tentu menganggu dan menggugah kita: “Jika Masa Depan Telah Hilang, Apa Masih Perlu Ikut Tarik Tambang?”
Jika pertanyaan ini diajukan kepada Pak Mayar dan warga serta anak-anak di Wana Herang, jawabannya pasti “masih perlu”. Jawaban ini adalah representasi karakter rakyat yang teguh dan setia karena masih menaruh harapan kepada pemerintah yang suatu saat memerhatikan mereka juga secara nyata.
Selamat menyambut dan merayakan kemerdekaan.
Oleh: Wisnu Nugroho
Sumber: Kompas.com