OPINI | Lagaligopos.com – Jika kita mencermati fenomena korupsi di negeri ini, terdapat pemandangan unik yang bisa mengusik emosi keagamaan. Kedekatan ”simbol” agama dengan korupsi ternyata begitu erat. (Baca: KPK Tetapkan Menteri Agama Sebagai Tersangka).
Keeratan simbol agama dengan korupsi ini semakin kentara jika merujuk survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir 2011 lalu. Hasil survei menempatkan kaum ”agamis” terpuruk dalam ”budaya” korupsi.
Dalam survei yang dilakukan di 22 instansi pemerintah pusat itu, Kementerian Agama (Kemenag) justru keluar sebagai yang terjelek dalam indeks integritas, disusul Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Temuan ini tentu cukup memprihatinkan karena Kemenag dianggap sebagai lambang moral dan akhlak bangsa.
Juga, dalam dua tahun belakangan ini (2013-2014), sederetan kasus-kasus korupsi menyeret para petinggi partai politik berlabel agama. Belum hilang dari ingatan kita bagaimana Ketua PKS Luthfi Hasan bermain-main dengan “danging sapi”, juga masih segar dalam benak publik bagaimana petinggi MUI menggunakan otoritas halal-haram sebagai bisnis terhadap sejumlah perusahaan asing.
Catatan sejarah korupsi di negeri ini harus diakui secara jujur bahwa kalangan ”agamis” justru sebagai ”pelopornya”. Seperti ada lubang hitam (black hole) pada tata keberagamaan di negeri ini.
Lubang Hitam Moralitas
Bangsa Indonesia tampaknya tengah terjerumus ke dalam satu situasi di mana batas-batas benar-salah, baik-jahat, moral-amoral menjadi kabur dan simpang siur. Kita berada pada keadaan ketidak pastian moral (indeterminancy of moral) pada satu garis abu-abu, suatu titik ambiguitas moral. Padahal, sejarah peradaban manusia adalah sejarah tentang “batas-batas”. Selalu saja ada batas-batas pemisah yang tegas antara unsur-unsur dunia kehidupan. Sangat jelas batas antara Uztad dan Pencuri, baik dan buruk, benar dan salah, hitam dan putih.
Batas-batas itu kini telah lenyap, lihatlah bagaimana guru agama memperkosa santrinya, dengarlah bagaimana kiyai besar berprilaku cabul kepada gadis di puncak Bogor, dan saksikanlah seorang menteri agama merampok uang para peziarah Rumah Tuhan. Telah terjadi peleburan antara kezuhudan dan ketamakan, bercampurnya keimanan dengan kegilaan, dan tumpang tindihnya kesederhanaan dengan kemewahan.
Fenomena seperti ini perlahan tapi pasti menggiring masyarakat kearah krisis legitimasi moral, yang oleh Habermas dia sebut sebagai Legitimation Crisis (1988), yaitu sebuah kondisi masyarakat yang tidak lagi mendengar imbauan moral dari para penganjur moral karena mereka yang dianggap sebagai pemberi contoh justru melakukan tindakan melangar moral.
Terjadinya Delegitimasi para penganjur moral ini menghapuskan teladan, panutan, dan model prilaku moral dalam kehidupan dan kebudayaan. Terhapusnya segala contoh-contoh baik akan menenggelamkan individu dan masyarakat kedalam jurang moralitas yang paling rendah, yaitu sebuah kondisi paling gelap dalam peradaban, dimana ketika moral itu sendiri lenyap.
Lenyapnya moralitas itu ditandai ketika para penganjur moral justru menggunakan tameng moralitas hanya sebagai topeng dan permainan kata-kata. Organisasi keagamaan hanya dijadikan sebagai panggung ilusi dalam mempertontonkan kepalsuan, dan tokoh agama hanya sebagai topeng yang penuh absurditas dan ironi.
Sabda Umberto Eco dalam novel semotiknya yang berjudul The Name Of Rose secara mencolok mengambarkan pertentangan seperti ini. “Engkau mencoba sekuat tenaga meyakinkan orang-orang bahwa seluruh kejadian ini berlangsung sesuai dengan rencana Tuhan, dalam rangka menyembunyikan fakta bahwa engkau adalah seorang pembunuh”.
Kegilaan dan kerakusan terhadap dunia (materi) membuat tokoh-tokoh agama berhasil mempertahankan priode kejahatannya dalam waktu yang lama, sembari mempertontonkan keimanan, kekhusyukan dan kezuhudan kepada publik. Pada keadaan seperti ini benarlah celoteh para pemikir postmoderen bahwa “kepalsuan adalah masa depan kebenaran”.
Oleh: Aswan, Dosen Komunikasi UIN Alauddin Makassar