CITIZEN REPORT

Masyarakat Seko Berkomitmen Tolak PLTA

MASAMBA, LAGALIGOPOS.COM – Perjuangan Penolakan pembangunan PLTA Seko oleh masyarakat Seko Tengah terus berlanjut di Desa Tanamakaleang, Hoyane, dan Embonnatana.

Tiga desa ini merupakan wilayah terkena dampak langsung dari pembangunan PLTA. Wilayah tersebut juga merupakan wilayah adat Pohoneang, Amballong dan Hoyane, seperti yang terterah dalam Surat Keputusan Bupati Luwu Utara Nomor 300 Tahun 2004 tentang pengakuan masyarak adat Seko.

Pada tanggal 24 Januari 2018 lalu, masyarakat adat seko melakukan pertemuan akbar secara adat yang dinamakan Mokobu atau musyawarah adat pengambilan keputusan tertinggi dalam tradisi mereka.

Pertemua itu dihadiri langsung oleh tokoh adat dari masing masing komunitas adat seko serta para kepala Dusun dari tiga desa yang tersebut.

Pokok utama pembahasan dalam pertemuan itu adalah mempertegas komitmen mereka menolak pembangunan PLTA SEKO di wilayah adat dan tidak ada tawar menawar dari keputusan tersebut.

Lanjutan dari hasil pertemuan Mokobu adat Seko yang dihadiri oleh ratusan warga tersebut, turut pula terjadi penolakan keras dari warga seko yang berdomisili di kota Masamba.

Dengan menggelar konfrensi pers pada beberapa awak media kemarin Jumat (2/2/2018) sore, mereka mengecam keras kegiatan pertemuan akbar mengatas namakan warga seko di Hotel Meli Kecamatqan Baebunta.

Kegiatan tersebut di motori oleh salah satu anggota DPRD Luwu Utara dari dapil Seko atas nama Tahir Bethony selaku ketua panitia.

Kami menduga pertemuan tersebut merupakan salah satu bentuk tindakan provokatif agar seolah olah bahwa warga seko menerima pembangunan PLTA seko padahal itu tidak benar adanya.

Kami tetap berkomitmen menolak PLTA sebab kami tidak butuh PLTA. Kegiatan tersebut juga kedepannya bisa saja melahirkan benih benih konflik diantara masyarakat Seko itu sendiri yang sewaktu waktu meluap kapan saja.

“Orang tua kami ditangkap dan dipenjara tanpa jelas pelanggaran hukum apa yang telah diperbuat belum lagi enam orang perempuan seko mengalami kekerasan Fisik dan Gangguan Psikis yang sampai saat ini belum juga ada kelasan proses hukumnya,” tutur aktivis Perempuan Seko Betasari Tuppu.

Di konfrensi Pers tersebut turut pula hadir Aktivis Lingkungan Hidup Muhammad Husain Adam mantan ketua Umum PP-PEMILAR selaku Aktivis yang selama ini menjadi pendamping Masyarakat Seko dalam menolak PLTA.

Adam menyampaikan bahwa pemerintah daerah beserta Anggota DPRD Luwu Utara harus membuka mata dan  mendengarkan aspirasi rakyat seko selama ini.

“Kita ketahui bersama bahwa pada tahun 90-an masyarakat seko pernah mengalami krisis pangan sementara wilayah seko tengah lah yang merupakan lumbung pangan tersebut, apabila wilayah ini ditenggelamkan maka sumber penghidupan warga seko akan habis dan bisa saja terjadi kelaparan massal,” ujarnya.

Perlu juga kita ketahui bersama bahwa izin pembangunan PLTA Seko telah melanggar aturan Perda No.02 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten Luwu Utara dan Melanggar UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Pembanguan PLTA tersebut sudah sangat jelas melanggar aturan yang berlaku. “Mengapa tetap harus dilanjutkan, semakin lama potret tentang penegakan hukum bangsa ini semakin suram buat mereka yang miskin,” tuturnya.

Bahkan dalam Konfrensi Pers tersebut warga seko berjanji apabila pembangunan PLTA terus dilanjutkan maka kami akan tumpah ruah turun kejalan Ibu Kota Kabupaten Luwu Utara mencari Keadilan. (rilis/Adam).

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top