BERITA PILIHAN

MK Putuskan Komisioner KPUD Harus 5 Orang

LAGALIGOPOS.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi beberapa pasal dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 52 ayat (1), Pasal 468 ayat (2).

Dalam pengujian pasal-pasal itu, MK memutuskan bahwa anggota atau komisioner KPU kabupaten/kota (KPUD) harus 5 orang dan frasa “hari” dalam Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu diubah menjadi “hari kerja” dalam proses pemeriksaan hingga keputusan di Bawaslu.

”Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan frasa ‘3 (tiga) atau 5 (lima) orang’ dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c dan frasa‘3 (tiga) orang’ dalam Pasal 52 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘5 (lima) orang’. Kata ‘hari’ dalam Pasal 468 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘hari kerja’,” kata Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan No. 31/PUU-XVI/2018 di Gedung MK Jakarta (23/7/2018).

”Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b bertentangan dengan UUD 1945 dan Pasal 21 ayat (1) huruf k, Pasal 117 ayat (1) huruf b sepanjang frasa ‘30 (tiga puluh) tahun’, Pasal 117 ayat (1) huruf m, Pasal 117 ayat (1) huruf o, dan Pasal 557 ayat (1) huruf b tidak dapat diterima,” ujar Anwar Usman.

Seperti diketahui, permohonan ini diajukan oleh Erik Fitriadi, Miftah Farid yang merupakan anggota KPU Kab/Kota dan Wahab Suneth, Iwan Setiyono, Akbar Khadafi, Turki, Mu’ammar, Habloel Mawadi merupakan calon anggota KPU Kab/Kota.

Para pemohon berdalih adanya pengurangan jumlah anggota KPU Kabupaten/kota menjadi 3 atau 5 orang menimbulkan ketidakadilan dan sekaligus ketidakpastian hukum.

Hal itu akan berimplikasi terhadap penentuan syarat sahnya Keputusan Pleno dari KPU Kabupaten/Kota yang harus disetujui 3 (tiga) orang Komisioner dari oleh seluruh anggota KPU.

Menurutnya, penetapan jumlah 3 atau 5 orang anggota KPU Kabupaten/kota serta jumlah 3 (tiga) orang anggota PPK tidak mempertimbangkan faktor perbedaan dan keragaman alam geografis Indonesia. Khususnya wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur, yang terdiri dari ribuan pulau dan pegunungan dengan tingkat kesulitan daya jangkau yang beragam, ada daerah pemilihan yang bergantung pada cuaca, ada yang tidak dapat ditempuh melalui jalan darat, dan masih ada daerah pemilihan yang hanya bisa ditempuh melalui jalan kaki.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Suhartoyo disebutkan berdasarkan pengalaman Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014, penyelenggaraan pemilu tetap berjalan baik dan tidak terkendala meski jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota berjumlah kurang dari lima orang.

Namun, kata Suhartoyo, beban kerja penyelenggara pemilu tingkat daerah pada Pemilu 2019 yang akan digelar serentak bertambah.

“Penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden yang dilaksanakan serentak tentu saja memberikan beban lebih besar bagi penyelenggara di kabupaten/kota,” ujarnya.

Menurut Mahkamah, tidak rasional jika mengurangi anggota KPU Kabupaten/Kota dengan alasan demi mengurangi beban anggaran dalam Pemilu Serentak 2019.

”Mengurangi jumlah anggota KPU kabupaten/kota di beberapa kabupaten dan kota menjadi berjumlah 3 orang di tengah bertambahnya beban kerja penyelenggaraan pemilu legisatif dan pemilu presiden dan wakil presiden serentak tahun 2019 adalah sesuatu yang irasional,” kata Suhartoyo.

Mengenai Pasal 468 ayat (2) UU Pemliu, para pemohon berdalih ketentuan yang menyatakan “Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa proses Pemilu paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya permohonan….” tidak memiliki penjelasan lebih lanjut terhadap frasa “hari”. Karenanya, sangat membuka peluang kata tersebut memiliki makna multitafsir dan jauh dari nilai kepastian.

Bagi Mahkamah Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu tidak bisa dipisahkan keputusan KPU terhadap adanya sengketa proses Pemilu yang meliputi sengketa yang terjadi antar Peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.

Hal ini juga tidak dapat dipisahkan upaya hukum terhadap para pihak yang tidak dapat menerima hasil penyelesaian sengketa proses Pemilu yang diputuskan oleh Bawaslu.

Bila ditelaah lebih jauh ada perbedaan waktu penyelesaian sengketa pemilu di KPU, Bawaslu dan PTUN. Baik tenggang waktu mengajukan permohonan atas adanya keputusan KPU Provinsi/Kab/Kota kepada Bawaslu maupun ke PTUN termasuk tenggang waktu proses persidangan yang secara tegas diberikan dengan hitungan hari kerja. Namun, berbeda dengan tenggang waktu yang diberikan kepada Bawaslu tanpa ditegaskan dengan hari kerja.

Bahkan, Mahkamah tidak menemukan alasan adanya perbedaan tersebut. Sebab, menurut Mahkamah, adanya perbedaan waktu yang cukup signifikan antara tenggang waktu hari kalender dengan tenggang waktu hari kerja, tidak dihitung termasuk hari libur. Hal ini berbeda dengan tengang waktu hari kalender yang lebih sedikit, karena hari libur termasuk bagian yang dihitung.

”Maka, pemaknaan ‘hari’ dalam Pasal 468 ayat (2) menjadi ‘hari kerja’ semakin menambah tenggang waktu secara akumulatif dan semakin menambah kesempatan bagi Bawaslu untuk dapat menyelesaikan sengketa proses pelanggaran paemilu yang diajukan secara komprehensif dan optimal,” lanjutnya.

Hal ini, dapat memberikan kepastian hukum dan memahami secara substansial proses penyelesaian sengketa pemilu di Bawaslu. Mulai dari tahapan menerima permohonan, melakukan pengkajian, mempertemukan para pihak, proses mediasi, proses adjudikasi, hingga pertimbangan, dan keputusan yang berkualitas.(**)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top