MALILI, LAGALIGOPOS.COM – Perlindungan Kompleks Danau Malili terhambat karena tumpang tindihnya kebijakan. Bagaimana tidak, sedikitnya ada tujuh level kebijakan yang saling bertabrakan.
Tujuh level kebijakan itu adalah, Pertama: Taman Wisata Alam dan Cagar Alam (TWA) berada dibawah kewenangan BKSDA, Kedua: Hutan lindung berada dalam kewenagan Menteri Kehutanan, Ketiga: sebagian wilayah kompleks dana malili juga masuk area konsesi PT Vale, Keempat: kepentingan pengembangan Kawasan Strategis Nasional (KSN), Kelima: Pemerintah Daerah Luwu Timur, Keenam: kepentingan NGO lokal dan internasional, dan ketujuh: kepentingan pemerintah desa dalam hal ini Perdes dan masyarakat adat lokal.
Banyaknya kepentingan yang mengepung Kompleks Danau Malili mengakibatkan terjadinya konflik kebijakan dan konflik fisik dilapangan. Akibatnya, upaya perlindungan tidak pernah terkonsolidasi secara apik dan berkelanjutan.
Bayangkan, ditingkat Nasional saja ada sembilang kementerian yang harus berembuk membahas hal tersebut.
Sesuai kesepakatan sembilan menteri, (menteri lingkungan hidup, menteri dalam negeri, menteri pekerjaan umum, menteri energi dan sumber daya mineral, menteri kehutanan, menteri kelautan dan perikanan, menteri pertanian, menteri budaya dan pariwisata, dan menristek), pada konferensi pertama danau di Indonesia yang dilaksanakan di Bali Agustus 2009, melahirkan tujuh kesepakan penting untuk mempertahankan, melestarikan dan memulihkan fungsi danau berdasarkan prisip keseimbangan ekosistem.
Tujuh kesepakatan yang dimaksud adalah, pertama: pengelolan ekosistem danau, kedua, pemanfaatan sumber daya air danau, Ketiga: pengembangan sistem monitoring evaluasi dan informasi danau, Keempat: menyiapkan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terhadap danau, Kelima: pengembangan kapasitas kelembagaan dan koordinasi, Keenam: peningkatan peran masyarakat, dan Ketujuh: Pendanaan berkelanjutan.
Dalam konferensi itu danau Matano berada dalam daftar prioritas pertama dari 15 danau di seluruh Indonesia. Sementara Danau Mahalona dan Towuti masuk dalam daftar prioritas kedua. Hal ini karena kondisi ketiga danau mengalami degradasi dari segi kualitas air, dan kondisi lingkungan disekitar danau.
Kondisi degradasi ini mengancam keanekaragaman endemik di tiga danau itu. Menurut penelitian LIPI yang dirilis pada tahun 2014, terdapat 29 jenis ikan endemik dan 15 jenis udang air tawar, 12 moluska endemik, dan 7 jenis tanaman endemik.
Menurut penuturan warga disekitar danau Matano, terdapat beberapa jenis udang yang sudah sangat sulit ditemukan. Padahal dalam beberapa tahun sebelumnya keberadaan udang itu melimpah dan menjadi konsumsi masyarakat.
Beberapa waktu lalu, Farida Clara dari Bappeda Luwu Timur dalam sosialisasi program pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dan perancanaan tata ruang di kompleks Danau Malili, pelibatan masyarakat dalam usaha pelestarian ekosistem danau sangat penting Karena termuat dalam kesepakatan Sembilan menteri dan hal ini bisa masukkan dalam Perdes, pada desa-desa disekitar komples danau.
Namun dalam penerapannya dipalangan, kebijakan menteri bisa tidak berarti sama sekali. Contohnya, dalam SK No 434 MENHUT-II/2009 Wilayah pemukiman dusun Matano berada dalam kawasan hutan lindung dan wilayah kelola masyarakat juga berada dalam kawasan itu. Hal ini jelas memicu konflik antara pihak kehutanan dan masyarakat yang memiliki lahan.
Akibat tumpang tindihnya aturan berimbas kepada sulitnya program-program pemerintah masuk ke desa-desa yang berada disekitar danau. Menurut penuturan salah satu warga Matano, Safruddin hampir semua usulan program dari masyarakat kepada pemerintah selalu ditolak dengan alasan berada dalam kawasa hutan lindung. Situasi ini mengakibatkan Matano sempat tertinggal dari desa disekiratnya.
Sebenarnya, untuk mengurai benang kusut pengelolaan kompleks danau Malili para pihak bisa menginisiasi sebuah gerakan perlindungan danau dengan memulainya dari masyarakat dan berada dalam satu payung hukum saja.
Oleh: Acep Crissandi
