EDITORIAL, Lagaligopos – Jalan buntu penanganan konflik antar kampung di Kabupaten Luwu Utara sebentar lagi membawa daerah itu menuju “pasar kekerasan” tanpa ujung. Konflik yang telah terjadi puluhan tahun silam itu seakan tak berkesudahan, menjadi keseharian, merusak tatanan sosial budaya, dan menghambat laju pembangunan daerah.
Padahal menurut Abrahan Maslow dalam hierarchy of needs, salah satu kebutuhan dasar manusia adalah “Rasa Aman”, yang jika itu tidak terpenuhi maka akan terjadi penyimpangan dalam perilaku. Penyimpangan perilaku karena tidak terpenuhinya rasa aman tersebut menciptakan kondisi personal dan sosial yang menganggu. Tiap konflik terjadi, tiap itu pula berdesir kabar korban luka atau merenggang nyawa.
Tampaknya Pemda Luwu Utara sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam hal ini seperti mengalami jalan buntu. Entah karena tidak paham atau sudah kehabisan akal, yang pastinya, Luwu Utara telah kehilangan “generasi emas” dalam jumlah yang banyak dan akan berlangsung sampai entah.
Jika Pemda Luwu Utara paham terhadap kondisi dan kebutuhan manusia, mestinya terlihat upaya yang tidak kenal lelah menuntaskan persoalan tersebut. Pemerintah mesti menjadi “Pasak” bagi terselenggaranya rasa aman.
Apa Penyebabnya
Sejauh ini, belum ada penelitian ilmiah yang melacak akar persoalan konflik itu. Dari penelusuran yang dilakukan Lagaligopos, tidak ditemukan selembar dokumen pun yang secara konfrehensif memberikan pemetaan gamblang dan mendasar apa gerangan penyebab konflik laten itu?
“Belum ada penelitian ilmiah tentang itu. Tapi menurut saya konflik ini bisa diselesaikan dengan cara persuasif saja,” ucap Andi Eviana, Kepala Badan Peanggulangan Bencana Daerah saat ditemui kawan-lawan dari Pusat Studi Manajemen Bencana Lagaligo Institute beberapa bulan lalu.
Mantan camat Baebunta itu mencontohkan saat dia menjabat sebagai Camat di Kecamatan Baebunta, daerah yang juga rawan konflik, bahwa ia senantiasa melakukan persuasif kepada anak muda didaerah itu. “Dan selama saya menjadi camat disana, tidak pernah terjadi konflik,” ucapnya enteng.
Upaya pemerintah selama ini dalam meredam konflik juga terlihat aksidentil. Pemotongan kerbau dan pemberlakuan Perda Miras serta razia senjata tajam yang telah dilakukan tidak membuahkan hasil, tetap saja kita saksikan keterperosotan ke lumpur yang sama.
Memandang enteng konflik berkepanjangan itu membuat Generasi muda daerah kini berada diujung tanduk persoalan. Berbagai resolusi penanganan konflik terpental gagal, karena mungkin resolusi itu tidak nyambung dengan akar persoalan, dan semoga kekerasan ini tidak mejadi kebudayaan.
Solusi konflik yang objektif dan menyeluruh harus segera ditemukan. Hentikanlah menduga-duga atau memandang enteng persoalan, jika kita ingin generasi mendatang Luwu Utara terselamatkan.
Oleh: Rival Pasau, Ketua Umum PP Pemilar