EDITORIAL, LAGALIGOPOS.COM – Sebelum Rezim Soeharto runtuh, kepolitikan kita dimaknai sebagai sebuah ruang pasti. Tangan besi negara hadir dalam kehidupan masyarakat memberi standar absolut. Dalam kondisi semacam ini, pemerintah menyelundupkan hegemoninya dalam ruang public.
Setelah Rezim Soeharto runtuh, perlahan-lahan kebebasan publik tumbuh. Geliat kepolitikan kita sepertinya memperlihatkan optimisme.
Ternyata, kondisi kepolitikan itu tidak bertahan lama. Benih otoritarianisme kembali disemai rezim Joko Widodo. Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) secara dramatis menginterupsi gairah demokrasi kita. Sejak itu, gairah kepolitikan kembali menghadap kemasa lalu. Pada titik ini, Perppu Ormas adalah Nostalgia Politik Otoritarian.
Politik sebagai peristiwa (yang dialami) berakhir menjadi politik sebagai kebiasaan (persaingan rutin mengejar kekuasaan). Tangan besi pemerintah kembali hadir memaksakan sebuah standar etik dalam kehidupan publik. Yang tidak masuk dalam standar etik itu pasti salah.
Pemerintah selalu mengira bahwa konsensus adalah cara kerja terbaik demokrasi. Justru, konsensus itu melemahkan, karena menyelundup dalam struktur kehidupan publik. Melalui konsensus, pemerintah “membeli” lahan oposisi untuk menambah “tabungan” hegemoninya.
Dissensus justru cara kerja terbaik demokrasi. Dissensus hadir memelihara dialektika untuk mengimbangi antagonisme negara dalam menghakimi nalar publik. Dari nalar publiklah sebuah rezim mengambil bahan untuk merefleksi keadaan hari ini menuju keadaan yang lebih baik.
Demokrasi terbaik adalah ketika kondisi mental publik bisa mengekspresikan kebebasan secara optimum melalui peristiwa-peristiwa. Demokrasi memiliki auto koreksi untuk hadirnya ruang yang “serba mungkin”, membuka diri untuk alternatif-alternatif.
Kata Max Weber, politik adalah pengeboran kayu keras yang sulit dan lama” (Politics is a strong and slow boring of hard boards). Melalui metafora Weber ini kita masuk melihat intervensi pemerintah (Perppu), terhadap HTI.
HTI dan Ormas intoleran lainnya seperti “kayu keras yang sulit dan lama”. Dalam proses pengeboran itu banyak kesempatan, tetapi sekaligus sarat dengan kendala. Disini, kecanggihan politik merumuskan kebijakan-kebijakan menjadi penentu terpeliharanya situasi kepolitikan bangsa agar terhindar dari segala finalitas dan absolutisme.
Penulis: Rima Tumbo