EDITORIAL, LAGALIGOPOS.COM – Di pegunungan Latimojong, Kabupaten Luwu, perusahaan tambang emas PT Masmindo Dwi Area (MDA) sedang membangun ambisi besar, menambang puluhan ton emas dari perut bumi Sawerigading.
Namun, di balik narasi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan, terselip kenyataan pahit: satu-satunya akses utama tambang tersebut adalah jalan publik yang sebelumnya mulus beraspal, kini rusak parah dan hanya ditambal dengan kerikil.

Merusak Jalan Aspal, Hanya Timbun Kerikil
Baca Juga: PT Masmindo Dwi Area Berjanji, Jika Jalan Tidak Diperbaiki, Kendaraan Kami Tidak Akan Lewat
Apakah ini bentuk tanggung jawab sosial? Atau justru pengabaian terhadap hak dasar masyarakat atas infrastruktur yang aman?
Sebelum kegiatan tambang masif berlangsung, jalan menuju Latimojong dan sekitarnya merupakan jalan kabupaten yang telah diaspal dengan standar jalan menengah. Jalan ini dibangun menggunakan dana publik, dan berfungsi melayani mobilitas warga sipil, anak-anak sekolah, petani, pengunjung, hingga layanan kesehatan.
Baca Juga: Diprotes Warga Karena Merusak Jalan, Ini Jawaban PT Masmindo Dwi Area
Kini, hampir setiap hari, jalan tersebut dilalui oleh kendaraan tambang bertonase besar, truk-truk pengangkut material konstruksi, dan alat berat. Aspal terkelupas, permukaan bergelombang, dan debu pekat menjadi teman harian warga. Sebagai kompensasi, perusahaan hanya menambal titik-titik tertentu dengan kerikil, yang justru memperburuk keselamatan pengguna jalan. Perbaikan pun dilakukan bukan karena kesadaran, tetapi setelah mendapat protes keras dari warga.

Baca Juga: Warga Luwu Keluhkan Kendaraan PT. Masmindo, Berbahaya dan Ganggu Aktivitas Masyarakat
Penggunaan jalan umum oleh kendaraan tambang tidak hanya tidak etis, tetapi juga melanggar ketentuan hukum. Pasal 47 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara mewajibkan perusahaan tambang untuk membangun jalan khusus bagi pengangkutan hasil tambang. Hal ini ditegaskan juga dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan: kendaraan bertonase berat dilarang menggunakan jalan yang tidak sesuai kelas jalan.
Perbaikan dengan kerikil tidak mengembalikan fungsi jalan seperti semula. Justru dapat dikategorikan sebagai bentuk penurunan standar pelayanan publik akibat aktivitas privat. Ini adalah bentuk ekstraksi infrastruktur tanpa kompensasi adil.

Kendaraan PT Masmindo yang melintas di pemukiman Resahkan warga Bajo Barat
Baca Juga: PT Masmindo Sukses Rusak Jalan Masyarakat, Lebih 200 Titik Jalan Aspal Amblas
Di tengah kampanye keberlanjutan dan green mining yang sering digaungkan MDA, penggunaan jalan publik sebagai akses industri justru menunjukkan kegagalan memahami ekologi sosial. Jalan bukan sekadar beton dan aspal. Ia adalah urat nadi masyarakat, ruang interaksi sosial, dan hak kolektif yang dilindungi konstitusi.
Ketika perusahaan menambal jalan aspal dengan kerikil, ia bukan sedang memperbaiki, tapi sedang mengkomodifikasi ruang publik untuk kepentingan privat. Ini menciptakan apa yang disebut “invisible subsidy“, masyarakat tanpa sadar menyubsidi ongkos operasional tambang lewat rusaknya fasilitas publik (jalan).
Baca Juga: Bupati Luwu Tegaskan Jalan yang Dirusak PT Masmindo Wajid Diperbaiki
Di balik narasi investasi dan pembangunan, masyarakat lokal menghadapi kenyataan yang getir, kerusakan jalan publik yang hanya ditambal kerikil, pencemaran sungai sebagai titik akhir limbah tambang, dan yang lebih menyakitkan, perjanjian “sewa jalan” antara Pemda Luwu dan perusahaan yang ditandatangani diam-diam, tanpa transparansi dan akuntabilitas.

Tampak Air sungai dari arah Rante Balla tempat PT Masmindo Dwi Area beroperasi terlihat keruh seperti coklat
Ketika ruang hidup warga dinegosiasikan secara tertutup, maka yang terjadi bukanlah pembangunan, tetapi penggusuran hak secara halus.(Eng)