BERITA PILIHAN

Sebuah Paradoks Kebangsaan

OPINI | Identitas bangsa Indonesia seolah sedang diludahi oleh bangsanya sendiri, mereka sibuk mempersoalkan mitos dan imajinasi yang tak kunjung tuntas, mereka tidak melihat kenyataan bahwa negeri ini masih banyak menyimpan sejuta kemelaratan.

Lihatlah kepulan asap hitam yang keluar dari bilik sebuah gubuk kecil, tungkunya sudah tak mampu membakar apa-apa, bukan karena tetesan air hujan yang membasahinya, tapi memang tidak ada sepotong umbi sama-sekali untuk dimasak.

Itu hanya tungku imajinasi seorang perempuan tua, yang menyendiri menjauh dari gaduhnya negeri ini mempersoalkan hal-hal yang tak pasti, tungkunya hanya berfungsi sebagai penghangat tubuh di tengah kelaparan yang menggerogoti.

Seandainya perempuan tua itu bisa mempengaruhi orang banyak, dia akan berbisik, “Semua persoalan yang kalian ributkan, berkedok urusan kenegaraan dan kebangsaan, tidak mengubah kebodohanku menjadi pintar, aku tetap saja bodoh dan miskin, sementara engkau tetap saja dengan kepintaranmu yang membodohkan.”

Semua instrumen negeri ini bersepakat untuk meperbincangkan halusinasinya masing-masing, mulai dari Pers, Partai Politik, Organisasi Masa, Pengusaha dan orang-orang cerdas lainnya, hanya perempuan tua yang hidup teralienasi dari bangsanya sendiri yang tidak berminat memperbincangkan hal tersebut, dia lebih suka menghangatkan tubuhnya dari rasa dingin dan lapar.

Orang-orang yang bersepakat, lupa bahwa dia adalah bangsa Indonesia, mereka lebih memilih menikmati kilauan kemegahan dan kemewahan daripada melihat realitas kemelaratan, negeri ini bukan negeri miskin, tapi negeri ini adalah negeri yang dimiskinkan, negeri ini adalah negeri berkebudayaan, tapi kenapa tetes keringat sekalipun tak kunjung membuahkan penghasilan.

Apakah benar asumsi Karl Marx bahwa kekayaan dan kekuasaan dapat memabukan? Bahkan di sisi lain, kekayaan dan kekuasaan dijadikan berhala yang mereka sembah. Kalau saja tuhan uang dan kekuasaan mempunyai sifat bijak, tentu dia akan berfirman kepada hambanya untuk selalu mengasihi sesama manusia.

Sialnya selain berhala ini hanya imajinasi, berhala ini muncul dari hasrat orang-orang yang haus akan darah manusia, akibatnya manusia-manusia lemah dan bodohlah yang menjadi korbannya.

Revolusi merupakan keharusan dari carut-marut persoalan kebangsaan, tidak dipungkiri bahwa Pemilu 2014 merupakan revolusi, tepatnya revolusi ketidak-warasan, bukan kesadaran yang menjadi pijakan, tapi kegilaan mental yang di propagandakan.

Mbah Joko sudah mulai lelah dengan perubahan, tapi dengan agenda revolusi pembodohan yang berhasil, beliau santai-santai saja menikmati pemandangan kebodohan yang menyejukkan hati dan pikirannya sendiri.

Apabila bukan pembodohan, kenapa bukan bidang pendidikan yang menjadi prioritas utama, apakah para pengusa takut dengan sejumlah kritikan dan gerakan rakyat yang mulai sadar akan eksistensinya, atau pembodohan ini merupakan modal utama untuk mensukseskan sebuah propaganda? Lalu langgenglah kekuasaannya tepatnya Pemilu 2019.

Sejumlah anggaran pendapatan negara pun, rela digelontorkan untuk agenda pembodohan ini, dibandingkan memberi makan rakyat-rakyat miskin dan perempuan tua yang hampir terlupakan.

Dari mana datangnya sifat ketamakan yang berkuasa dalam tubuh bangsa ini, dari warisan kebiasaan nenek moyang kah, atau datang jauh dari seberang barat sana, sembari membawa sejumlah ilusi-ilusi yang memabukan mata dan pikiran.

Faktanya ketidaksadaran dan godaan setan telah berhasil menguasai bangsa ini, nusantara sudah tidak diliriknya sebagai tubuh sendiri, padahal nusantara jauh lebih kaya dan berbudaya dibanding nusa-nusa yang lain.

Ingatlah perjuangan para pahlawan bangsa, bahwa negeri ini berdiri bukan terlahir dari lelucon di warung kopi, ingatlah bahwa ibu pertiwi sudah menjadi perempuan tua, bukan harta dan kekuasaan yang membuatnya lapar, tapi nilai-nilai pancasila yang tak kunjung konkrit di negeri ini, sehingga seribu persoalan mulai berdatangan.

Mari kita kembali ke jalan yang benar, jangan buang-buang tenaga, waktu dan harta hanya untuk menjawab persoalan yang tidak ada jawabannya. Lihatlah realitas materil dan hiduplah dengan penuh kesadaran.

 

Oleh: Deden Muhammad Rojani

Sumber: Qureta.com

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top