Palopo, Lagaligopos.com – Berawal dari kebijakan negara konsumen kayu di Eropa tidak mau membeli kayu ilegal dari negara produsen, termasuk Indonesia, akhirnya Indonesia melakukan perbaikan tata kelola kehutanan dengan menetapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kebijakan ini juga berdasar dari maraaknya praktek illegal logging di dalam negeri dan trading logging di negara tetangga.
Dari investigasi TELAPAK bersama jaringan, menemukan peredaran dan perdagangan kayu kayu terjadi di negara tetangga, Malaysia. Dimana, kayu-kayu dari Indonesia dilabel negara lain sebelum dijual ke Cina dan negara Eropa, karena Indonesia tidak memiliki sistem verifikasi legalitas kayu. Kerugian negara cukup besar karena prakek ini.
Menurut Direktur JURnaL Celebes, Mustam Arif, lahirnya Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk memastikan bahwa seluruh kayu yang diproduksi di Indonesia berasal dari sumber-sumber yang sah. SVLK berisi syarat-syarat legal yang terkait dengan asal kayu, produksi, pengolahan dan perdagangannya.
‘’Dengan demikian, standar ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha dan penegak hukum. Pada sisi lain, standar ini juga diharapkan bisa mempromosikan perdagangan kayu secara legal dan untuk mencegah maraknya perdagangan atas kayu illegal,’’ kata Mustam Arif.
Hal itu disampaikan Mustam Arif saat membuka ‘’Pelatihan Untuk Masyarakat di sekitar Hutan Sebagai Upaya Perluasan Pemantauan SVLK di Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan‘’ yang berlangsung selama 20-25 Juni 2014 di Hotel Mulia Kota Palopo. Pelatihan difasilitasi oleh Abu Meridian dari JPIK/FWI, Ahmad SJA dari JPIK Kaltim, dan Asmar Exwar dari JPIK Sulsel.
Menurut Focal Point Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Kaltim, Ahmad SJA, sudah beberapa kali sistem verifikasi legalitas kayu sudah diperbaiki. Awalnya, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 jo P.68 /Menhut-II/2009 dan kemudian direvisi pada P.45/Menhut-II/2012 tentang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. SVLK melakukan penilaian dan verifikasi yang meliputi penilaian kinerja dan verifikasi legalitas kayu atas pemegang IUPHHK berdasarkan standar penilaian PHPL (Pengelolaan Hutan Produksi Lestari) yang diperuntukkan bagi pemilik IUPHHK, dan verifikasi legalitas kayu atas pemegang IUIPHHK, IPK dan IUI Lanjutan serta pemilik Hutan Hak (Hutan Rakyat) berdasarkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu.
‘’Dalam sistem sertifikasi SVLK telah mengakui dan mengakomodir penempatan pemantau independen sebagai bagian utuh dari sistem. Artinya, keberadaan pemantau yang selama ini tidak terakomodir menjadi bagian utuh dari SVLK. Malah berdasarkan Perdirjen Nomor P.8/2012 menyebutkan bahwa pemantau independen merupakan lembaga atau individu termasuk masyarakat yang tinggal di lokasi industri kehutanan dan kawasan hutan,’’ kata Ahmad yang lebih akrab dipanggil Among ini.
Posisi pemantau independen ini dikenal dengan namanya Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) merupakan jaringan LSM dan individu yang terbentuk sejak tahun 2010 berada di 23 provinsi (focal point) dengan anggota sebanyak 380 individu dan 64 lembaga di seluruh Indonesia.
Sementara itu, Focal Point JPIK Sulsel Asmar Exwar menilai tantangan yang harus dihadapi terkait dengan penyebarluasan peran dan kemampuan masyarakat dalam melakukan pemantauan SVLK, pelatihan pemantauan dengan menyesuaikan pada kondisi setempat dan tingkat pemahaman masyarakat sekitar, sehingga penting meningkatkan pengetahuan pemantauan kayu bagi masyarakat baik yang ada di sekitar hutan maupun industri pengolahan kayu.
‘’JPIK menyadari bahwa pemantauan terhadap pelaksanaan SVLK merupakan hal penting. Semakin banyak kegiatan pemantauan akan semakin berkontribusi terhadap upaya memastikan pencapaian tujuan SVLK. Kelompok potensial yang dinilai penting adalah masyarakat yang tinggal di sekitar konsesi. Keberadaan masyarakat dan kepentingannya atas lingkungan di sekitarnya dinilai akan memberikan jaminan atas pemantauan yang intensif dan berkelankatjutan,’’ tegas Eksekutif Daerah WALHI Sulsel ini.
Reporter: Basri Andang Editor: AS