OPINI | Hidup di ”negeri bencana”, ada elemen masyarakat yang cerdas ”membaca” tanda-tanda alam (natural signs) sehingga mampu terhindar dari bahaya: masyarakat Simeulue (Aceh) yang menggunakan sandi smong; sebagian masyarakat sekitar Gunung Merapi yang membaca tanda-tanda mendung, anomali awan, suara gemuruh, kepanikan binatang, bahkan tanda mistis titen; masyarakat kota Padang yang mengikuti peta, rute dan jalur evakuasi; sebagian masyarakat Mentawai yang menghayati perilaku guncangan tanah.
Akan tetapi, amat disayangkan, sebagian besar masyarakat justru gagal ”membaca” tanda-tanda alam itu karena aneka alasan sehingga menjadi korban bencana memilukan: masyarakat yang tak peka lagi bahasa pasir laut, sinyal pasang surut, pesan gelombang, tanda awan atau gestur binatang; alat mitigasi tsunami tak bekerja, pelampung mitigasi dicuri, sirene bahaya tak berbunyi, peta, rute, dan jalur evakuasi tak jelas; informasi simpang siur, ucapan pejabat tidak karuan, dan arahan aparat membingungkan.
Ironisnya, rentetan bencana yang datang silih berganti nyatanya tak mampu memberikan pelajaran kepada anak bangsa dalam menghadapinya. Setiap bencana datang, setiap itu pula jatuh korban sia-sia. Anak bangsa ini tak mampu mengembangkan semacam ”semiotika bencana”, yaitu sistem-sistem tanda yang komprehensif, yang meliputi sistem-sistem tanda sebelum (tanda prediksi), sewaktu (tanda peringatan dini, tanda evakuasi), dan setelah bencana (tanda komunikasi dan koordinasi)—the semiotics of disaster.
Kecerdasan semiotik
Bencana alam—seperti gempa, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, longsor, semburan lumpur, atau angin puting beliung—adalah fenomena alam yang bukannya tanpa tanda-tanda alam. Seperti setiap penyakit mesti ada obatnya, setiap fenomena alam mesti ada tanda-tanda kehadirannya. Alam sebenarnya ”berbicara” kepada manusia, hanya saja manusia tak mampu membacanya, karena keterbatasan kognitif, afektif, dan pengindraan yang dimilikinya.
Seperti dikatakan Wendy Wheeler, di dalam The Whole Creature: Complexity, Biosemiotics and the Evolution of Culture (2006), alam sarat ”informasi” untuk diproses dan dimaknai oleh indra manusia: suara, bunyi, bau, pergerakan, warna, bentuk, medan listrik, getaran, gelombang, sinyal kimiawi, sentuhan, yang semuanya adalah tanda-tanda semiotik. Perubahan atau anomali pada tanda-tanda alam menandai perubahan atau anomali pada perilaku alam sendiri: awan, angin, sungai, laut, lempengan, dapur magma.
Akan tetapi, tanda-tanda alam hanya bermakna jika dapat ”ditranslasi” ke dalam bahasa manusia (semiotic translation). ”Dunia dalam diri” manusia (Innenwelt) harus mampu menjalin ”dialog” secara konstan dan intensif dengan ”dunia luar” (Umwelt), baik yang bersifat sosial maupun natural. Tanda-tanda di dalam diri manusia ”bertemu” dengan tanda-tanda alam sehingga pesan-pesan alam dapat dipahami dan dimaknai.
Umwelt sangat sentral dalam relasi informasi binatang, sebagai cara membangun ”komunikasi” dengan alam melalui aneka sistem tanda (sign systems): dengan spesies yang sama, pemangsa, mangsa, atau manusia; dengan tempat berlindung, cuaca, hutan dan padang; dengan bau, suara dan diamnya alam. Pesan-pesan dari lingkungan alam, seperti getaran, suara, bau, bentuk, dan cahaya, memberi tanda pada Umwelt di kalangan binatang, yang membangun kepekaan bertindak.
Binatang memiliki semacam ”kecerdasan semiotik”, yang memampukannya mengidentifikasi, mengenal, mengklasifikasikan, memolakan, mengingat tanda-tanda alam untuk memutuskan tindakan. Tubuh binatang ”mengingat” sesuatu yang pernah dilakukannya, sebagai informasi tindakan mendatang. Manusia modern tak bisa lagi menghadapi bencana alam seperti binatang, tetapi mereka dapat belajar banyak dari bahasa semiotika mereka (zoosemiotics).
Seperti dikatakan Mary Douglas, di dalam Natural Symbols (2002), tanda alam dan binatang diatur oleh sistem kode (natural code). Kode-kode alam dipahami binatang melalui pola, habit, regularitas atau kemunculan kembali (recurring), yang memproduksi ”makna” (meaning) dalam regularitas perilaku alam. Akan tetapi, seperti dijelaskan Umberto Eco di dalam A Theory of Semiotics (1978), manusia memiliki kecerdasan merelasikan Innenwelt dan Umwelt untuk menciptakan sistem tanda dan kode baru (overcoding).
Ironisnya, kecerdasan membangun ”semiotika bencana” itu nyatanya tak dimiliki oleh komponen bangsa ini. Sejarah panjang bencana gempa, tsunami, gunung meletus, banjir, longsor di negara cincin api ini nyatanya tak mampu menghasilkan ”inovasi” penanganan bencana. Kita tak mampu belajar dari tanda alam, tanda binatang, bahkan tanda-tanda di dalam diri kita sendiri. Bencana seakan-akan sudah menjadi sebuah ”rutinitas”, tanpa meninggalkan jejak pengetahuan.
Ironi bencana
Bencana alam tidak hanya perkara tanda (alam, binatang, manusia), tetapi juga perkara komunikasi. Di dalam setiap bencana diperlukan tidak saja tanda-tanda yang jelas, tetapi juga sistem komunikasi yang efektif, baik sebelum, sewaktu, maupun sesudah bencana. Sistem-sistem tanda bencana (mitigasi, informasi, peta, koordinasi) hanya dapat berfungsi apabila dipraktikkan di dalam sebuah medan komunikasi yang sehat.
Ironisnya, kegagalan komponen bangsa membangun sistem ”semiotika bencana” yang komprehensif diperparah oleh kegagalan membangun ”sistem komunikasi bencana” dan discourse tentang bencana. Situasi bencana seharusnya menghasilkan sebuah sistem komunikasi dan discourse yang sehat. Komunikasi tidak saja mempunyai fungsi kognitif: pengetahuan, informasi, dan kebenaran, tetapi juga fungsi afektif: persuasi, menghibur, menenangkan atau mendamaikan.
Di dalam situasi bencana diperlukan relasi timbal balik komunikasi (kognisi, afeksi), di mana korban tidak hanya diberi informasi, tetapi juga ditenteramkan. Di sinilah fungsi figur publik, yang mampu menjadi simbol, panutan, patron, dan rujukan. Akan tetapi, meminjam TJ Taylor, di dalam Mutual Misunderstanding (1992), figur publik di atas tubuh bangsa ini justru menciptakan ”ironi semiotik”: bicara tanpa kendali, arahan membingungkan, informasi salah, opini keliru—semiticos ironia.
Situasi pertandaan dan komunikasi bencana diperburuk oleh tumbuhnya bentuk-bentuk ”budaya populer” di seputar bencana. Dunia bencana kini bercampur aduk dengan dunia media, iklan, promosi, dan ”hiburan”. Kepedihan dan ratap tangis berbaur dengan promosi dan tepuk tangan. Dalam kegagalan anak bangsa membangun ”semiotika bencana”, yang tumbuh adalah ”estetisme bencana”: spanduk, poster, foto, dan umbul-umbul ucapan; panggung hiburan dan amal, lagu kepedihan, dan iklan-iklan ucapan di televisi.
Setiap datang bencana kita secara rutin mendendangkan lagu kepedihan, musik keperihan, iklan belasungkawa, dan spanduk-spanduk keprihatinan (meskipun ini tidak salah). Tanda-tanda bencana memang mampu melarutkan kita dalam suasana duka, membangun solidaritas sosial, memperhalus rasa kemanusiaan, bahkan memperteguh keimanan. Namun, bencana tak pernah memberi kita pelajaran tentang bagaimana ”melawan” bencana itu sendiri, karena kita tak mampu mengerahkan kecerdasan sebagai manusia.
Agar mampu ”melawan” bencana di masa depan, pemerintah—didukung seluruh elemen bangsa—harus mampu memimpin proyek besar riset dan pengembangan ”Sistem Semiotika Bencana Nasional” (SSBN), yang melibatkan aneka disiplin sains, teknologi, sosial, budaya, psikologi, komunikasi, bahasa, semiotika, dan seni. Melalui sistem semiotika komprehensif, diharapkan anak bangsa ke depan mampu ”membaca” aneka tanda alam dan pesan bencana, agar korban manusia tak lagi berjatuhan akibat kelalaian, kebodohan, dan ketidakpedulian manusia.
Oleh: Yasraf Amir Piliang, Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD-Institut Teknologi Bandung