OPINI | Pekan ini orang-orang kembali memperdebatkan pengurangan subsidi bahan bakar. Banyak suara pro dan kontra kenaikan harga bensin dan solar. Namun, jarang disadari mengapa kita harus berulang-ulang memperdebatkannya.
Pro-kontra subsidi bahan bakar selama ini tidak menyentuh akar persoalan yang fundamental. Bengkaknya subsidi bensin dan solar sebenarnya hanya pucuk gunung es dari masalah yang lebih besar: kegagalan pemerintah dalam tata kelola energi.
Problem energi di Indonesia bukan pada kurang dan mahalnya ketersediaan energi, melainkan pada strategi energi yang salah arah.
Indonesia memang bukan negeri yang amat kaya cadangan energi. Cadangan batu bara, gas, dan minyak Indonesia rata-rata kurang dari 1% cadangan dunia. Namun, sumber energi kita cukup beragam: selain energi fosil itu, Indonesia kaya potensi energi air, panas bumi, angin, matahari, dan bioenergi.
Tak mengherankan jika Dewan Energi Dunia menempatkan Indonesia pada peringkat keamanan pasokan energi cukup bagus. Pada 2013 peringkat ketahanan energi (energy security) Indonesia 17, lebih tinggi dari negeri ASEAN mana pun.
Ironisnya, keberlanjutan pasokan energi Indonesia sangat rapuh, atau terlalu mahal. Indonesia ada di papan bawah dalam Indeks Keberlanjutan Energi (Energy Sustainability Index-ESI), yakni pada peringkat 73.
Indeks Keberlanjutan Energi mengukur kemampuan sebuah negara dalam menyelenggarakan kebijakan energi berkelanjutan kepada rakyat melalui tiga faktor: keamanan pasokan energi, pemerataan energi dan tingkat efisiensi energi, serta upaya menyediakan energi yang ramah lingkungan.
Negara dengan peringkat ESI tertinggi adalah Swiss, yang ketahanan energinya dua poin di bawah Indonesia. Peringkat ESI Indonesia di bawah Malaysia, Singapura, dan Filipina, negeri-negeri yang sumber energinya lebih terbatas.
Apa soal mendasarnya? Ketergantungan Indonesia pada minyak cukup besar, yakni 55% dari kebutuhan energi nasional. Dan makin tergantung. Padahal, harga minyak dunia terus naik, sehingga pemerintah harus mengeluarkan devisa serta subsidi cukup banyak. Dan akan kian banyak.
Solusinya cukup jelas: meminimalkan pemakaian minyak dan beralih ke sumber energi lain. Energi apa?
Potensi Indonesia akan energi terbarukan –seperti air, panas bumi, matahari, dan bioenergi– memang cukup besar. Namun, pemanfaatan energi ini masih terlalu mewah bagi negeri kita saat ini, karena biaya pengembangannya cenderung mahal.
Tanpa subsidi besar-besaran, energi terbarukan tidak akan terjangkau oleh sebagian besar rakyat Indonesia yang masih tergolong miskin energi.
Lebih strategis jika Indonesia memanfaatkan cadangan gas dengan lebih bijaksana. Cadangan gas kita masih bisa dimanfaatkan satu abad lagi dengan tingkat konsumsi dalam negeri sekarang.
Produksi gas kita meningkat tajam dalam satu dasawarsa terakhir. Namun, lebih dari separonya justru kita ekspor. Indonesia adalah pengekspor gas terbesar keempat setelah Qatar, Malaysia, dan Australia.
Padahal, gas adalah jenis energi yang lebih murah, lebih bersih, dan ramah lingkungan. Sangat ironis jika Indonesia dan rakyatnya justru memberi subsidi gas negeri lain, seperti Jepang, sementara mengimpor minyak yang lebih mahal dan lebih kotor.
Program konversi gas memang telah lama didengungkan, dan berkali-kali dibicarakan ketika memperdebatkan subsidi minyak, namun boleh dikata jalan di tempat.
Konversi ke gas menuntut perubahan aturan energi, antara lain memperkecil ekspor dan memperbesar pemakaian dalam negeri. Juga menuntut pemerintah membangun jaringan distribusi, seperti pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas untuk transportasi dan jaringan pipa gas ke pabrik-pabrik dan rumah-rumah.
Presiden (terpilih) Joko Widodo dituntut melakukan reorientasi radikal untuk bisa memecahkan masalah energi ini, dengan antara lain memastikan progran konversi energi itu berjalan baik.
Itu menuntut tak hanya perubahan aturan, tetapi juga filosofi dasar. Undang-undang minyak dan gas sekarang dinilai terlalu liberal dan memberikan peran terlalu besar pada sektor swasta multinasional. Di banyak negara, bahkan di “negara kapitalis” Eropa, soal energi dipandang sangat penting, terlalu penting untuk diserahkan pada mekanisme pasar belaka.
Oleh: Farid Gaban Sumber: GeoTime.com
