OPINI

Suara TV Suara Tuhan: Saat Manusia Diukur Dari Apa Yang Dia Konsumsi

Sepanjang perjalanan modernisasi, konsumsi telah mengalami pergesaran fungsional yang terlampau jauh. Jika dahulu konsumsi hanyalah sebuah proses pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat natural, kini konsumsi merupakan proses pemenuhan hasrat manusia yang bisa didesain (tidak natural). Dengan kata lain, kini kebutuhan manusia bisa diciptakan. Dan ia lalu menjadi bagian dari strategi korporasi-korporasi besar dalam mengumpulkan pundi-pundi keuntungannya.

Inilah imbas utama dari modernisme. Teori Pembangunan Linear W.W Rostow yang sangat popular di pertengahan abad ke-20 adalah salah satu yang harus bertanggung jawab pada fenomena ini. Teori ini mengatakan bahwa kehidupan manusia modern paling tinggi akan ditandai dengan hadirnya “High Mass Consumption”. Hal tersebut kini mulai tampak dan menjalar dalam kehidupan masyarakat. Dan bukannya membawa kebaikan, ia justru menghadirkan persoalan baru yang makin kompleks.

Modernisme dengan orientasinya yang terlalu berlebihan pada pertumbuhan ekonomi (tanpa memperhatikan persoalan dampak lingkungan, kebebasan manusia, dampak sosial, ketimpangan kekayaan) telah menjadi pemicu aktivitas produksi yang mungkin sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh manusia.

Bergandengan erat dengan dengan kapitalisme, modernisme kemudian menjadi alasan manusia untuk terus berinovasi dan mengaktualisasikan diri. Ia menuntut pengakumulasian keuntungan sebanyak mungkin. Tak berhenti sampai disana, ia juga kemudian menghadirkan homogenisasi kelayakan, dan menganggap bahwa seseorang dapat dikatakan modern apabila ia mengkonsumsi segala sesuatu yang “baru”. Dan karena dunia barat (atau kini negara maju, agar lebih relevan) adalah tempat lahirnya modernisme sekaligus tempat yang paling kaya akan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi, maka secara tak langsung semua yang “baru” dan datang dari barat/negara maju akan dianggap yang paling “modern” di mata masyarakat. Dan parahnya lagi, manusia yang tidak menjalankan ritme “kebaruan” ini akan di cap “primitif” oleh manusia lainnya.

Di dalam tulisannya yang berjudul Consumerism and Peace : Using Postmodernism Thinking to Understand Consumerism From a Peace Perspective Sue McGregore mengatakan:

“Cunsumerism is a serious threat peace during the postmodernism era because it has become a process of self-identification, a process that has to be continually fed by buying more things to define who we are. We now use the products and service to define ourselves. It is all about images and illusions. Our reality is recrested on a daily basis by buying things. We do this at the expense of those who make our products and the natural environment- creating injustice and ecological destruction. That is, we create a lack of positive peace, eco peace and inner peace (hal.13).”

Kehidupan masyarakat akhirnya kini menjadi baku dan memiliki plot-plot utama yang seolah bersifat “pasti”. Manusia dengan mudahnya mengidentifikasi manusia lain hanya melalui pakaian, makanannya, atau kendaraannya. Inilah yang menjadi kekerasan struktural sekaligus kultural. Setelah manusia menetapkan standar “kelayakan hidup”, mereka kemudian mengidentifikasi manusia lain dan menentukan apakah manusia tersebut termasuk dalam kategori “layak” atau tidak.

Suara TV Suara Tuhan

Di dalam “membangun” masyarakat yang konsumtif ini, para perusahaan-perusahaan besar berhutang budi pada kekuatan media massa. Menurut Antonio Gramsci, dominasi kekuasaan diperjuangkan, disamping lewat kekuatan senjata, juga lewat penerimaan public (public consent), yang diterimanya ide kelas berkuasa oleh masyarakat luas, yang diekspresikan melalui apa yang disebut sebagai mekanisme opini publik (public opinion)-khususnya lewat media massa (Koran, televisi, dan sebagainya). Dan hari ini kita akan sedikit kesulitan menemukan manusia yang di rumahnya tidak ada perangkat televisi (terutama di perkotaan, altar utama bagi konsumerisme).

Pembahasan mengenai televisi ini menjadi menarik, karena dengan ragam acaranya seperti film, reality show, iklan, siraman rohani, debat politik, serta news, ia menjelma menjadi rujukan baru bagi manusia dalam menjalani hidup. Di dalam bukunya yang berjudul Post-Realitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Post-Metafisika, Yasraf Amir Piliang menjelaskan sesuatu yang sangat menarik mengenai televisi:

“Di dalam wacana kebudayaan abad 21, televisi menjelma menjadi sebuah kotak jiwa, yang melaluinya manusia bad ke-21 mengisi kehampaan spiritualnya dengan jutaan citra semu, rayuan palsu (iklan), simulakrum realitas; nabi-nabi virtual, Tuhan-tuhan digital, dan surge-surga cyber. Televisi menjadi semacam ruang fantasmagoria, yaitu ruang dimana citraan muncul dan menghilang dengan kecepatan tinggi, yang merayu manusia untuk memasuki jaringan ekstasi kecepatan dan kegilaan serta histeria gaya hidup yang diciptakannya(hal.54).”

Kini televisi kerap dituduh sebagai alasan utama mengapa seseorang membeli dan memakai sebuah produk. Sebenarnya tidak masalah televisi dijadikan acuan, asalkan dalam menonton televisi yang serba instant itu kita juga menggunakan pertimbangan pribadi. Semua ini baru akan menjadi masalah apabila kita mengabaikan pertimbangan pribadi dan menyerahkan segalanya pada apa yang ada di televisi. Contoh paling sederhana, misalkan ketika kita menyuruh anak-anak untuk mengkonsumsi makanan atau minuman suplemen tertentu, alasan kita hanya karena tagline iklannya mengatakan bahwa “setelah makan produk ini anak-anak akan menjadi pintar”. Ini sebuah kesalahan, karena pada pemikiran awam sekalipun manusia tidak akan menjadi pintar hanya dengan mengkonsumsi makanan atau minuman tertentu. Ia mengabaikan pertimbangan peran belajar dan guru yang baik.

Kesalahan manusia kebanyakan adalah ia sangat percaya pada Televisi. Televisi mendadak menjadi seorang mahaguru paling sempurna, atau bahkan Tuhan, yang pada akhirnya menggiring manusia kedalam sebuah lubang ketidaksadaran dimana ia cenderung menganggap bahwa apa yang di katakan oleh “publik figur” di televisi adalah sebuah kebenaran yang “hakiki”, yang kemudian patut ditiru tanpa ada proses kritisi terlebih dahulu.

Maka wajarlah jika saat ini banyak sekali manusia-manusia yang teralienasi dari apa yang ia konsumsi. Ia tidak mengerti mengapa ia membeli sebuah produk, ia juga tidak mengerti apakah sebenarnya ia benar-benar butuh produk tersebut atau tidak. Alih-alih ingin mengejar kebahagiaan yang nyata, kini justru banyak manusia yang justru semakin ketergantungan pada obat penenang di tengah tumpukan hartanya (pakaian yang betumpuk, sepatu, mobil, rumah, tanah, dan lain sebagainya).

Penutup

Persoalan konsumerisme ini sebenarnya tak akan menjadi masalah serius jika kemudian manusia menanggung konsekuensi pola hidup konsumtif itu sendiri-sendiri. Namun fakta berbicara lain, pola hidup konsumtif sebagian orang ini kemudian menjadi common tragedy. Garret Hardin menjelaskan mengenai hal ini dalam sebuah artikel yang sangat berpengaruh, The Tragedy of The Commons (1968). Ia menjelaskan, masyarakat rasional yang dalam setiap tindakannya selalu dilandaskan pada kepentingan pribadi cenderung akan mengeksploitasi sumber daya milik bersama secara membabi buta, yang pada gilirannya akan mengancam kelangsungan kehidupan bersama.

Konsumerisme adalah “sindikat kejahatan” yang tak hanya melibatkan konsumen, melainkan juga produsen (terutama perusahaan-perusahaan besar). Produsen membuat produk-produk secara massal dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama. Konsumen membeli produk tersebut dan secara langsung menghadirkan permintaan baru agar prosuden terus membuat produk lainnya. Ketika siklus ini meningkat, maka akan ada beberapa orang yang tidak kebagian sumber daya alam karunia Tuhan milik bersama tersebut. Ia kemudian juga menghadirkan limbah dan mencemari lingkungan yang akibatnya juga akan ditangung bersama-sama.

Selain itu, Produk-produk “modern” yang kini datang dari negara-negara maju melalui korporasi-korporasi multinasionalnya menegasikan adanya ketimpangan kekayaan pada masyarakat negara-negara berkembang. Ia abai pada kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada masyarakat yang menjadi target pasarnya. Masyarakat akhirnya masuk ke dalam sebuah jebakan modernisme. Ia berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa dirinya sudah memenuhi standar “kelayakan”. Dan pada proses menjadi “layak” ini kekerasan seringkali terjadi. Misalkan Banyak remaja yang mencuri handphone, perempuan-perempuan dituntut untuk berkulit putih dan berambut hitam panjang, laki-laki dituntut untuk berperut sixpack, pegawai bergaji rendah melakukan praktek korupsi, anak memaksa orangtua untuk membelikan sepeda motor, dan lain sebagainya.

Homogenisasi kelayakan inilah yang kemudian menjadi kritik utama orang-orang PostModernisme. Mereka lebih mendukung hadirnya narasi-narasi kecil dan standar kelayakan lokal, dan menolak proyek-proyek besar dalam kehidupan. Dan ini memang terlihat lebih efektif. Karena memang seharusnya diri kita sendiri yang menentukan apa yang layak bagi kita, dan bukan dari apa yang di propagandakan oleh korporasi-korporasi besar yang hanya berorintasi pada keuntungan.

 

Sumber: efekrumahkaca.net

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top