OPINI | Menurut Cicero pemikir besar Romawi, pembelaan keadilan merupakan sebuah atribut universal dari akal, ia dapat di akses oleh semua makhluk rasional, cicero lebih lanjut mengatakan bahwa pembelaan keadilan ini berhubungan dengan kesetiaan para pemimpin dalam membawa negara dan rakyatnya pada kesejahteraan, namun dalam kenyataannya ketidaksetiaan pemimpinlah dalam merawat janjinya yang sering merusak keadilan, sebab gerak berdemokrasinya tidak di sepuh moralitas berdemokrasi, dengan demikian pemimpin harus lahir dari kualitas pengetahuan yang utuh bukan semata dari kamar kekuasaan minus kualitas pengetahuan kemudian membentuk kontrak sosial yang berbasis moralitas agar kontrak sosial (janji politik) tidak di lapukkan di kemudian hari.
Dalam demokrasi ke-indonesia-an pemimpin lahir dari proses pemilihan langsung oleh rakyat, pemimpin menawarkan diri untuk dipilih, mereka kemudian mencap dirinya layak membimbing kekuasaan menuju gerbang keadilan dan menghantar rakyat kedalam rumah perwujudan kesejahteraan. Anggapan kelayakan diri ini kemudian melahirkan asumsi harapan akan munculnya kesukarelaan rakyat untuk memilih mereka setelah menawarkan segedung gagasan atau kontrak sosial dengan rakyat tentang apa yang mereka bisa lakukan ketika berada di posisi kuasa yang dicita-citakannya.
Kesukarelaan rakyat memilih dalam gerak demokrasi yang berjalan secara subtantif bukan sekedar prosedural memang akan mudah ditemukan sebab demokrasi yang telah memasuki ruang subatasial tentunya mampu memobilisasi kesadaran rakyat, akan tetapi pasca reformasi 1998 demokrasi yang dipahami akan mengantar pada ruang pencerahan, keadilan serta kesejahteraan ternyata lebih banyak dipandu oleh kegelapan, keserakahan, bahkan kebebalan tentang apa itu demokrasi, demokrasi pada akhirnya melahirkan musuh yang bernama demokrasi kegelapan, tanpa kebijaksanaan, tanpa kesejahteraan dan tanpa sekumpulan cita-cita luhur demokrasi deliberatif bangsa ini yang berujung pada suburnya dosa berdemokrasi, isu keadilan-pun sebatas kepetingan yang menguntungkan pihak penguasa atau yang terkuat sebagaimana argumentasi Thrasymachus sahabat berdialog plato dalam buku populernya Republik.
“Mayoritas” dosa dalam demokrasi pun sepertinya bukan menjadi hal yang menakutkan, ia bahkan tumbuh subur memenuhi kamar jiwa para hamba politik, tujuan berdemokrasi dan cara mencapai tujuan menjadi sebuah bentuk yang saling bertentangan, semua pemimpin selalu mendewakan kebaikan sebagai tujuan berdemokrasi, namun cara mencapai apa yang dianggap baik justru merupakan hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu sendiri, padahal dalam berbagai teori tentang demokrasi deliberatif-subtantif bukan politik ala machivelian, cara mencapai dan tujuan berdemokrasi harus sama-sama baiknya, sebab untuk mencapai kebenaran harus pula melawati jalan yang benar. Tidak mungkin menuju kebenaran menggunakan segala macam dosa untuk menemukan apa yang disebut sebagai kebenaran.
Pemimpin Tuna-Kesadaran
Tanpa memahami baik dan buruk mana mungkin pemimpin berbicara tentang moral demokrasi, tanpa memahami kebenaran dalam bedemokrasi tidak mungkin konsep-konsep berdemokrasi akan berada pada rute kebenaran. Tanpa semua itu bagaimana mungkin kita akan mampu melihat pemimpin yang benar-benar berbuat sungguh-sungguh pada bangsanya, tanpa semua itu bangsa dan harapan rakyat akan dikelola atas kepentingan pribadi, berburu harta, berburu status sosial dan berburu atas nama kesenagan pribadi, sebagaiamana Abraham Maslow mengatakan bahwa gerak manusia selalu didominasi hasrat untuk memenuhi kesenangan-kesenangan pribadinya.
Banyak orang yang ingin menjadi pemimpin namun gagal meletakkan moralitas berdemokrasi, gagal meletkakan tujuan berdemokrasi sebagai hal yang harus dicapai secara sungguh-sungguh, mereka mengetahui bahwa melupakan janji terhadap rakyat akan menciptakan dosa, tetapi mayoritas tetap melakukannya, mereka menjadi pemimpin tuna-kesadaran, mengetahui bahwa urusan dosa bukan hanya karena tidak mengerjakan hal-hal yang sifatnya ibadah khusus terhadap Tuhan, tapi ada juga dosa sosial yang muncul pada ruang pengabaian masyarakat karena melupakan janji, menciptkan pengabaian nyata setelah berkuasa, namun pada kenyataannya mereka tetap melakukannya, mereka pemimpin tuna-kesadaran terus melakukan dosa besar karena telah menjadi makhluk ekonomi dan makhluk politik semata, mereka hanya berbicara keuntungannya apa serta cara mendapatkan kemenangan dengan cra apa saja, mereka yang tuna-kesadaran melupakan pendapat para agamawan yang mengatakan jika ingin mengetahui jalan keyakinan seseorang diterima Tuhannya maka cukup melihat bagaimana kelakuan-kelakuan sosialnya, bukankah tidak melaksakan apa yang telah diketahui adalah sebuah tirani nyata terhadap diri manusia.
Dosa Sosial Para Pemimpin
Down brown dalam karya infernonya (Neraka) mengatakan tempat terpanas dineraka dicadangkan bagi mereka yang berdiam disaat krisis moral, argumentasi ini memiliki relevansi dengan tugas para pemimpin, sebab dalam konteks demokrasi tugas para elit politik, para pemimpin kuasalah yang paling berperan besar dalam konteks lapuknya moralitas (krisis moral) berdemokrasi yang berujung pada pengabaian masyarakat, mereka berdiam diri dan justru terlibat menjadi penganjur yang lupa tujuan berpolitik sebagai seni mengelola kesejahteraan rakyat, di Yunani Kuno hukum sebagai alat menata dan mendistribusikan keadilan ditaati masyarakatnya sebab para penganjurnya adalah orang-orang bijaksana, maka mestinya juga demikian dalam ruang politik berkebangsaan Indonesia, disetiap Negara, dan daerah para pemimpin yang lahir dari rahim harapan rakyat harus menjadi penganjur yang harus benar-benar melaksanakan apa yang telah mereka janjikan, kewajiban ini patut dilakukan sebab manusia bukan menghamba pada politik.
Neraka memang bagi hamba politik yang melupakan ber politik dalam ruang ideologisasi pancasila, melupakan Tuhan, kemanusiaan, persatuan, khidmat kebijaksanaan, serta keadilan bagi seluruh rakyat, mereka membunuh Tuhan dalam kamar politik, menghilangkan humanisme menjadi dehumanisme, menciptkan konflik demi jalan meraih kekuasaan, mereka yang sibuk berbicara kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan namun mengelola kekuasaan dan partai diatas kepentingan pribadi, mereka yang disetiap momentum menuju kuasa bicara keadilan sosial bagi rakyat namun kenyataannya setelah berkuasa meninggalkan harapan yang mereka ciptakan di masyarakat.
Menjauhnya pemimpin dari lingkaran masyarakat menjadi gejala pembuktikan atas realitas tersebut, posisi rakyat yang memiliki ruang urgensitas dalam demokrasi disisihkan dan ditempati oleh kelompok lain setelah berkuasa, kesukarelaan rakyat memilih tak mampu dijemput dan diterjemahkan sebagai modal kekuatan mengelola bangsa bersama rakyat, iya justru diabaikan, ruang kedaulatan rakyat tak lagi dijumpai dalam kamus bahasa kaum politik selain jika mereka memilik kepentingan pribadi untuk berkuasa, posisi massa rakyat di ganti posisi massa kepentingan ekonomi untuk memenuhi hajat individu, bagaimana kita bisa percaya, bagaimana kita bisa berharap membangunkan para pemilik kuasa tersebut, jika orang yang hendak kita bangunkan adalah manusia-manusia kuasa yang sedang tidak tertidur, mereka hanya manusia tuna-kesadaran, yang sibuk menyuburkan dosa-dosa sosial mereka. semoga mereka sadar lalu mengunjungi diri mereka yang sebenarnya, jika mereka tidak ingin nantinya menempati tempat terpanas dalam bahasa Down Brown.
Oleh: Kahar Al-Gifary
