OPINI | LAGALIGOPOS.COM – Dua fenomena yang menjadi permasalahan substansial ummat dan bangsa Indonesia saat ini. Fenomena tersebut adalah fenomena politik, fenomena sosial-ekonomi.
Fenomena yang pertama memengaruhi fenomena yang kedua. Oleh karena itu, untuk mengetahui peran strategis HMI untuk perbaikan ummat dan bangsa, kader HMI harus mengetahui dua persoalan tersebut.
Pertama, fenomena politik. Fenomena ini mengatarkan kita pada tiga permasalahan yaitu perilaku elit partai politik yang mengarah pada politik kartel, isu politik yang mengarah pada politik identitas, dan keterlibatan oligarki pada perebutan kekuasaan antar elit politik. (Ambardi: 2009).
Politik kartel memiliki 5 karakteristik utama yaitu (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4) hasil-hasil pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.
Dengan perilaku partai politik yang membetuk pola kartel tersebut mengindikasikan “partisipasi demos (rakyat) dalam demokrasi elektoral telah direduksi menjadi voters (pemilih) dan demos dalam politik praktis bukanlah rakyat, melainkan kelompok tertentu yang memiliki akses ke dalam kratos (pemerintahan), entah itu elit pada umumnya atau, pada khususnya, para oligark yang memiliki pengaruh politis lewat kekayaan material” (Hardiman, 2013).
Agama sebagai suatu identitas digunakan oleh elit politik sebagai isu untuk mendapatkan kekuasaan. Contoh kasus dari fenomena ini telah kita saksikan pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur 2015 di DKI Jakarta.
Munculnya gerakan 212 yang dimotori oleh ormas Islam, dengan isu penistaan agama yang dilakukan oleh petahana (Ahok). Kondisi ini memberi gambaran berkembangnya politik identitas di Indonesia. Politik identitas dengan isu seperti suku, agama, ras, dan antar golongan, sangat berbahaya untuk kemajemukan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Keterlibatan para oligark pada perebutan kekuasaan antar elit politik menghasilkan kekuasaan pemerintah yang dikontrol oleh oligark. Dengan demikian, elit yang menjadi penguasa tidak menjadikan kepentingan publik sebagai agenda utama, melainkan memprioritaskan kepentingan oligark.
Motif oligark terlibat dalam perebutan kekuasaan antar elit politik, untuk mempertahankan dan menambah kekayaan. Pertanyaannya siapa yang dimaksud dengan oligark, mengacu pada winter (2011) oligark adalah pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosialnya.
Umumnya, oligark merupakan para pengusaha yang memberikan bantuan finansial kepada elit politik untuk mendapatkan kekuasaan. Dari penjelasan tersebut, kita mengetahui adanya relasi antara pengusaha dan penguasa.
Pemerintahan yang telah tersandera oleh oligark sangat sulit untuk mencapai sasaran reformasi birokrasi yaitu birokrasi yang bersih dari KKN dan akuntabel, birokrasi yang efektif dan efisien, dan birokrasi yang memiliki pelayanan publik berkualitas.
Pertanyaan selanjutnya apa dampak yang ditimbulkan oleh fenomena politik kartel dan oligarki tersebut? Fenomena politik tersebut berdampak pada kesenjangan ekonomi, yang juga berimplikasi pada kondisi sosial masyarakat yaitu kemiskinan struktural.
Menurut Suyanto (2013) kemiskinan struktural yakni kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata.
Kemiskinan struktural, biasanya terjadi dalam suatu masyarakat dimana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya.
Deskripsi singkat dampak fenomena politik tersebut mengantarkan kita pada permasalahan kedua yaitu fenomena sosial-ekonomi. Konsentrasi kekayaan pada segelintir orang kaya (oligark) menimbulkan dampak kesenjangan sosial-ekonomi. Dimana terdapat sebagian kecil orang memiliki kekayaan yang sangat luar biasa banyaknya, dan sebagian besar orang memiliki sedikit kekayaan dan bahkan tidak memiliki kekayaan.
Salah satu dasar negara Indonesia yang tertuang dalam sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, negara seakan absen untuk mensejahterakan dan mengantarkan rakyat kearah kehidupan yang lebih baik. Kehadiran oligark, dan rent seeking yang mengendalikan negara dan sumberdaya materil merupakan salah satu bukti absennya negara.
Setelah memahami relasi antara permasalahan politik dan sosial-ekonomi, mengantarkan kita pada pertanyaan quo vadis, HMI? Pertanyaan tersebut muncul dari keadaan disorientasi yang dialami ummat dan bangsa Indonesia saat ini.
Kader HMI yang diharapakan hadir untuk memperbaiki kondisi ummat dan bangsa, justru lalai dari perannya. Sehingga, tujuan yang ingin diwujudkan oleh HMI yaitu terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT, hanya menjadi konsumsi di forum-forum basic training.
Di usia 71 tahun, setidaknya ada dua peran substantif kader HMI untuk ummat dan bangsa. Pertama, membina insan akademis yang bernafaskan Islam dengan cara mengoptimalkan pengkaderan dan follow up pasca basic training. Output yang diharapkan yaitu adanya kesadaran kritis kader HMI sebagai modal sosial untuk merespon kondisi ummat.
Kedua, untuk merespon kondisi bangsa yang telah mengalami disorientasi sebagai akibat dari permasalahan politik yang berdampak pada kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat. Kader HMI harus berperan aktif mewujudkan masyarakat adil makmur dengan cara membentuk jaringan solidaritas organik dan gerakan generasi muda transformatif progresif, karena menurut Hardiman (2013) di dalam hukum yang dikendalikan oleh para oligark tidak ada fairness (keadilan).
Untuk melakukan dua peran tersebut kader HMI harus segera membenahi kondisi internal yang dihadapinya seperti meningkatkan minat baca, mengintensifkan follow up pasca basic training, membentuk forum-forum diskusi yang terkait dengan keummatan, kebangsaan, dan keadilan. Menjadi kader HMI tidaklah berat, mewujudkan tujuan HMI itu yang berat.
Oleh: Surahman, Akademisi STISIP Veteran Palopo dan Direktur Sawerigading Research Center